Surah an-Nahl ayat 92 berisi perumpamaan tentang seorang perempuan yang memintal benang, tetapi kemudian menguraikannya lagi | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Perumpamaan dari Perempuan Pemintal Benang

Tiap kali ia memintal benang dan menjadikannya kuat, ia mengurainya lagi.

OLEH HASANUL RIZQA

Pada zaman Jahiliyah, terdapat seorang perempuan yang mencemaskan keadaan dirinya. Rithah, begitu nama sang wanita, telah menunggu jodoh bertahun-tahun lamanya. Harapannya, seorang laki-laki akan datang untuk meminangnya.

Ayahnya, Umar al-Mahzum, sudah berupaya maksimal untuk menemukan seorang lelaki yang bersedia menikah dengan putrinya itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pemuda pun yang datang ke rumah untuk melamar.

Sementara itu, istri Umar juga sama cemasnya. Suatu hari, ibunda Rithah itu menemui semua ahli nujum di Makkah. Akhirnya, tibalah ia di kediaman seorang dukun yang terkenal “ampuh” dalam meramal.

Maka lelaki tua itu dibujuk agar bersedia membaca masa depan putrinya. Kepadanya, ia menyerahkan belasan batang emas. Akhirnya, si tukang nujum berkata, dalam waktu dekat Rithah akan menikah dengan seorang pemuda. Si calon suami disebutnya akan datang pada malam bulan purnama.

Kabar itu tentu menggembirakan seisi rumah. Namun, purnama demi purnama datang dan pergi. Si pria yang dijanjikan kedatangannya oleh si peramal tidak kunjung datang. Keluarga itu pun kembali dirundung kesedihan.

Beberapa tahun berlalu sejak itu. Rithah kian menua. Sementara, kedua orang tuanya telah meninggal. Ia pun menjadi sangat kesepian.

 
Beberapa tahun berlalu sejak itu. Rithah kian menua. Sementara, kedua orang tuanya telah meninggal. Ia pun menjadi sangat kesepian.
 
 

Hingga pada suatu hari, seorang kerabatnya yang tinggal di perkampungan Bani Tamim datang berkunjung. Sanak familinya itu tidak datang sendiri, tetapi bersama dengan seorang pria muda yang bernama Sukhr.

Beberapa hari kemudian, Sukhr datang lagi dengan maksud untuk melamar Rithah. Betapa senangnya hati perempuan itu. Dengan segera, dirinya menyambangi Ka’bah untuk bersimpuh di kaki berhala-berhala. Tak lupa, beberapa ekor unta disembelih di hadapan benda mati itu sebagai bentuk rasa syukur.

Pernikahan berlangsung meriah. Rithah pun mulai menjalani hidup sebagai istri. Namun, ia kemudian kehilangan rasa bahagia. Sebab, kasih sayang yang ditunjukkan sang suami kepadanya kian pupus. Bahkan, beberapa kali pasangannya itu menyatakan rasa bosan.

Suatu hari, Sukhr berkata bahwa dirinya ingin pergi ke Syam untuk berniaga. Lelaki itu lantas meminta sejumlah uang dalam jumlah yang banyak kepada Rithah. Katanya, dana itu akan dipakai untuk mempersiapkan kafilah dagang.

Sukhr berjanji akan kembali ke Makkah dalam waktu dua bulan. Tanpa curiga sedikit pun, Rithah menyanggupi keinginan suaminya itu. Lantas, lima bulan berlalu. Sukhr tidak kunjung pulang.

Rithah bertanya kepada setiap penduduk Makkah yang baru saja datang dari Syam. Namun, jawaban mereka mengejutkannya. “Sukhr tidak pernah pergi dengan kafilah mana pun,” kata orang-orang.

Akhirnya, Rithah mengetahui, suaminya itu sejak awal pergi ke desa Bani Tamim tempatnya berasal. Betapa kecewa hati perempuan itu ketika berjumpa dengan Sukhr. Sebab, sang suami dengan terang-terangan menceraikannya. Sukhr berkata, pernikahan itu terjadi hanya karena terpaksa. Ibunya berambisi menguasai harta keluarga Umar al-Mahzum.

Rithah meratapi nasibnya. Dia menangis siang dan malam dan tidak mau keluar dari kamarnya. Suatu hari, tangannya meraih alat pemintal yang biasa digunakan oleh ibunya untuk memintal sutera.

 
Rithah meratapi nasibnya. Dia menangis siang dan malam dan tidak mau keluar dari kamarnya.
 
 

Esok pagi, Rithah membawa sekantung uang untuk membeli benang sebanyak-banyaknya. Dia juga menemui gadis-gadis yang lantas disuruhnya memintal. Mereka diberi upah satu dirham per harinya. Setiap pagi, para perempuan muda itu datang ke rumah. Rithah akan duduk di tengah-tengah mereka dan memintal bersama.

Pada malam hari, ketika gadis-gadis tersebut pulang, Rithah kembali kesepian. Dalam pikirannya, berkecamuk banyak pertanyaan. Untuk siapa memintal benang? Untuk dirinya agar dapat berhias diri? Namun, untuk siapa diri ini berdandan? Untuk suami, tetapi bukankah Sukhr telah menipunya?

Pertanyaan-pertanyaan itu seolah-olah petir yang memekakkan kedua telinganya. Tanpa disadari, ia menjulurkan kedua tangannya, meraih benang-benang yang telah dipintalnya sepanjang hari itu. Lantas, hasil pintalan itu diuraikannya lagi satu persatu.

 
Esoknya, Rithah menyuruh gadis-gadis itu memintal kembali. Malamnya, ia kembali menghancurkannya. Begitu terus setiap hari.
 
 

Esoknya, Rithah menyuruh gadis-gadis itu memintal kembali. Malamnya, ia kembali menghancurkannya. Begitu terus setiap hari. Hingga akhirnya Rithah meninggal. Kesepian ternyata telah membuat mentalnya terganggu.

Kisah Rithah tersebut dikisahkan dalam Alquran surah an-Nahl ayat 92. Artinya, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Kamu menjadikan sumpahmu (perjanjianmu) sebagai alat penipu di antaramu disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya, Allah hanya menguji kamu dengan hal itu.”

Abdullah bin Kathir berkata tentang perumpamaan dalam ayat tersebut, “Itu mengenai kisah seorang perempuan bodoh di Makkah. Tiap kali ia memintal benang dan menjadikannya kuat, ia mengurainya lagi.” Itulah mengapa Rithah kemudian dijuluki al-Hamqa, yang bodoh.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat