Massa aksi yang mengatasnamakan alumni Universitas Indonesia melakukan unjuk rasa di kawasan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (14/6/2019). | ANTARA FOTO

Opini

Presidential Threshold dan Daulat Rakyat

Hulu persoalan adalah presidential threshold batas pencalonan presiden yang mengebiri daulat rakyat.

TAMSIL LINRUNG, Anggota DPD RI

Pesta demokrasi 2024 masih jauh, tapi kasak-kusuk politik telah memanas. Lembaga survei mulai bekerja, tim sukses bergerilya, dan para pengamat sibuk menganalisis alternatif pasangan calon.

Tentang siapa berpasangan dengan siapa atau siapa berhadapan dengan siapa. Pemilu adalah pranata yang berfungsi memenuhi tiga prinsip pokok demokrasi: kedaulatan rakyat, legitimasi pemerintahan, dan sirkulasi kepemimpinan secara wajar.

Di tengah kasak-kusuk yang mengemuka, kita mempertanyakan prinsip pertama, di manakah daulat rakyat? Apakah kedaulatan itu sebatas memilih calon yang dimunculkan partai? Lalu bagaimana jika calon partai tidak dikehendaki rakyat kebanyakan?

Pun pada prinsip kedua, tentang legitimasi pemerintahan. Bila rakyat dipaksa harus memilih salah satu sajian kandidat partai yang tidak sepenuhnya mereka kehendaki, lantas bagaimana dengan prinsip legitimasi pemerintahan? Apa yang akan terjadi jika hasil pemilu cukup absah secara prosedural hukum dan demokrasi, tapi "tidak legitimate" di hati rakyat kebanyakan? 

 
Di tengah kasak-kusuk yang mengemuka, kita mempertanyakan prinsip pertama, di manakah daulat rakyat? 
 
 

Faktanya, survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 baru-baru ini menemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen yang menginginkan calon presiden dari kader partai.

Melalui survei ARSC, kita mencium bau penolakan rakyat kepada kader partai. Musababnya tentu macam-macam. Bisa jadi karena perilaku koruptif yang dipertontonkan kader partai tertentu atau mungkin saja karena kejenuhan pada kandidat partai yang diisi tokoh itu-itu saja.

Menggugat presidential threshold

Hulu persoalan adalah presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden. Aturan itu mengebiri daulat rakyat. Membatasi calon-calon terbaik tampil di gelanggang.

UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan, untuk mengusung pasangan capres-cawapres, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Bagi partai yang tidak menggenapi persentase ini, jalan konstitusional satu-satunya adalah berkoalisi membentuk gabungan parpol.

Konon, alasan penerapan aturan itu adalah untuk memperkuat partai politik. Juga agar presiden dan wakil presiden terpilih punya kekuatan politik terutama di parlemen, sehingga presidential threshold memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab, parlemen yang kuat dikhawatirkan melemahkan sistem presidensial.

 
Konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, tetapi keseimbangan dan kesetimbangan peran. 
 
 

Sekilas masuk akal. Tapi bila dicermati, itu tak lebih akal-akalan politik semata. Konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, tetapi keseimbangan dan kesetimbangan peran. Menguatkan sistem presidensial tidak berbanding lurus dengan penguasaan eksekutif pada parlemen. 

Koalisi penguasa yang tambun dan minim oposisi pada akhirnya mengundang penyalahgunaan kekuasaan. Check and balances sulit berjalan maksimal. Yang ada, dewan bisa-bisa semata menjadi tukang stempel dari kebijakan yang diusulkan pemerintah. 

Dibanding manfaatnya, mudharat presidential threshold lebih dominan. Pertama, meski di atas kertas bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon, tapi tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, penerapan presidential threshold dalam pemilu sebelumnya hanya sanggup memunculkan dua pasang calon. 

Dampaknya, kita menyaksikan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. Dan itu masih kita rasakan hingga detik ini. 

Kedua, presidential threshold mengerdilkan potensi bangsa. Negeri ini tak kekurangan calon pemimpin kompeten. Namun, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus meminimalisasi pilihan rakyat menemukan pemimpin terbaiknya.

Ketiga, presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih. Peluang pemilih untuk golput menjadi tinggi karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket kontestasi. Daulat rakyat melemah digerus daulat partai yang kian menguat.

 
Keempat, partai kecil cenderung tak berdaya di hadapan partai besar terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama.
 
 

Keempat, partai kecil cenderung tak berdaya di hadapan partai besar terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama.

Sederet persoalan di atas membuat presidential threshold seolah menjadi problem lima tahunan.  Telah beberapa kali soal ambang batas pencalonan presiden diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyatakan persoalan ambang batas adalah masalah open legal policy (kebijakan hukum terbuka). 

Kini, momentum mengoreksi presidential threshold terbuka lebar. Kita tahu, wakil rakyat tengah menggodok RUU Pemilu. Media massa mengabarkan, Partai Nasdem mengusulkan penurunan presidential threshold menjadi 15 persen dari 20 persen. PKS mengusulkan angka 10 persen. Partai Demokrat dengan usulan 0 persen. Alasannya sangat logis agar semua parpol dapat mengajukan usulan calon. 

PPP dan PKB tidak mempermasalahkan bila ambang batas pencalonan presiden tetap 20 persen, tetapi juga tidak mempersoalkan bila wacana pengurangan presidential threshold dikurangi. 

 
Kita juga meminta political will presiden Joko Widodo mendorong tindakan korektif terhadap angka presidential threshold 20 persen, sebelum sistem ini merusak demokrasi lebih parah.
 
 

Entah bagaimana dengan partai-partai besar. Situasi ini memang menguntungkan mereka. Bila betul demikian, masa depan demokrasi agaknya suram. Biduk Indonesia selamanya akan sulit mengarungi lautan persaingan global, bila kemunculan nakhoda andal dihalang-halangi syahwat politik dan kekuasaan. 

Kita mengetuk pintu hati para elite partai untuk lebih memikirkan masa depan bangsa. Bila negeri ini maju, percayaah, semua kepentingan kelompok akan ikut maju, dari kelompok raksasa hingga kelompok terkecil di sudut-sudut Indonesia. 

Kita juga meminta political will presiden Joko Widodo mendorong tindakan korektif terhadap angka presidential threshold 20 persen, sebelum sistem ini merusak demokrasi lebih parah.

Dalam konteks presidential threshold, DPD RI ikut mewacanakan perubahan, termasuk sejalan dengan keinginan rakyat agar dalam amendemen kelima nanti presidential threshold ini menjadi 0 persen. Bila rakyat sungguh-sungguh menghendaki, maka DPD siap menjadi wadah yang menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat