Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Yogyakarta menunjukan kerajinan produksinya yang dipasarkan secara online, di galeri Kana Shibori, Yogyakarta, Sabtu (15/8/2020). | Andreas Fitri Atmoko/Antara Foto

Dialektika

Usaha Ultra Mikro Perkotaan, Bertahan di Pusaran Wabah

Usaha ultra mikro membutuhkan dukungan permodalan untuk mengakses pasar dan pelanggan.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; ASKAR MUHAMMAD, Peneliti IDEAS; SITI NUR ROSIFAH, Peneliti IDEAS; FAJRI AZHARI, Peneliti IDEAS

Pandemi Covid-19 telah menciptakan kerusakan ekonomi skala besar, memukul hampir seluruh sektor ekonomi secara keras dan mengempaskan jutaan pelaku ekonomi dalam waktu singkat, terutama pelaku ekonomi kecil. Berbeda dengan krisis sebelumnya yang disebabkan oleh krisis keuangan dan perbankan, krisis saat ini yang disebabkan pandemi telah membuat usaha mikro ikut mengalami kejatuhan yang dalam.

Dari sekitar 64,2 juta pelaku usaha di Indonesia, sekitar 98,7 persen di antaranya adalah pelaku usaha mikro dengan aset maksimum Rp 50 juta. Dan dari 63,4 juta usaha mikro ini, sekitar 48 juta di antaranya diperkirakan adalah usaha ultra mikro, pelaku ekonomi terkecil yang selama ini tidak pernah bisa mengakses kredit mikro perbankan sekalipun karena ketiadaan agunan. 

Dengan karakter usaha bersifat harian (daily basis), menjual produk yang langsung dikonsumsi masyarakat, dan bertransaksi tatap muka secara langsung dengan uang tunai (cash basis), usaha ultra mikro banyak mengalami disrupsi di era pandemi ini. Kebijakan containment dan jatuhnya mobilitas masyarakat memukul usaha ultra mikro secara signifikan melalui jatuhnya permintaan, terhambatnya operasional usaha, sulitnya memperoleh bahan baku, terhambatnya produksi hingga ketiadaan permodalan.

photo
Bertahan di tengah badai. Pandemi memukul keras usaha ultra mikro Jabodetabek - (IDEAS/Dialektika Republika)

Usaha Ultra Mikro Metropolitan

Untuk memahami kondisi dan respons usaha ultra mikro perkotaan di masa pandemi, pada Juli 2020, IDEAS melakukan survei nonprobabilitas dengan teknik purposive sampling terhadap 200 usaha ultra mikro di Jabodetabek. Responden usaha ultra mikro dalam riset ini adalah usaha di sektor perdagangan dengan kriteria usaha tanpa pegawai, tanpa lokasi usaha, tanpa kendaraan bermotor, dan bukan merupakan distributor usaha besar.

Usaha ultra mikro dalam riset ini umumnya bergerak di penjualan makanan dan minuman jadi (87,5 persen), sayur mayur dan buah-buahan (8,0 persen), dan mainan anak (3,0 persen).

Sektor informal secara umum adalah tidak terkait dengan sektor formal. Usaha mikro bukanlah transisi menuju usaha besar yang formal dan berkelanjutan. Ia adalah subsisten, terus kecil dalam waktu yang panjang.

Sekitar 57 persen responden usaha ultra mikro telah menjalankan usaha lebih dari 5 tahun, dan sekitar 26 persen di antaranya telah menjalankan usaha lebih dari 15 tahun. Usaha ultra mikro telah menjadi profesi permanen bagi warga miskin kota.

Ketergantungan warga miskin kota pada profesi usaha ultra mikro sebagai sumber penghasilan terpentingnya adalah sangat besar. Hampir seluruh responden (98,0 persen) menyatakan bahwa usaha ultra mikro adalah pekerjaan utama mereka. 

Sejalan dengan kondisi usaha yang subsisten, kesejahteraan keluarga usaha ultra mikro kota adalah rendah. Sebagian besar responden (81,5 persen) tinggal di rumah kontrakan, dan 58,0 persen di antaranya memiliki utang. Secara ironis, kerentanan hidup keluarga miskin kota ini luput dari bantuan pemerintah. Sebesar 47,5 persen responden mengaku sama sekali tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah. 

photo
Derita di atas derita. Jatuhnya bisnis gurem usaha ultra mikro Jabodetabek - (IDEAS/Dialektika Republika)

Bertahan di Tengah Badai

Pandemi memukul keras usaha ultra mikro membuat sebagian besar dari mereka mengalami disrupsi usaha, jatuhnya omset dan penerimaan, krisis likuiditas, hingga penutupan usaha secara permanen. Namun demikian, usaha ultra mikro secara umum tidak benar-benar menurunkan intensitas kerjanya, terlebih menutup usaha.

Temuan lapangan kami menunjukkan bahwa usaha ultra mikro tidak banyak menurunkan jam kerjanya selama pandemi. Rata-rata jam kerja responden usaha ultra mikro hanya sedikit menurun di era pandemi, yaitu rata-rata 11,67 jam per hari, dibandingkan sebelum pandemi rata-rata 12,07 jam per hari. Usaha ultra mikro memiliki jam kerja yang sangat panjang, jauh di atas jam kerja normal, yang bahkan tidak banyak menurun di era pandemi.

Tidak hanya jam kerja yang panjang, usaha ultra mikro juga harus bekerja nyaris setiap hari. Sebagaimana jam kerja, pandemi tidak banyak berpengaruh pada hari kerja usaha ultra mikro, yang hanya sedikit menurun dari rata-rata 6,65 hari per pekan menjadi rata-rata 6,28 hari per pekan.

Secara keseluruhan, jam kerja responden usaha ultra mikro menurun dari rata-rata 80,3 jam per pekan menjadi rata-rata 73,3 jam per pekan. Namun tetap jauh di atas jam kerja normal 40 jam per pekan. 

Kelompok ekonomi lemah tidak pernah memiliki kemewahan untuk tidak bekerja, bahkan ketika pandemi menghantui. Usaha mandiri dengan pekerja tunggal (solo self-employment) adalah status transisi antara bekerja dan menganggur.

Usaha ultra mikro adalah pengusaha yang didorong oleh motif untuk bertahan hidup, kebutuhan dasar mereka yang mengarahkan bentuk dan perilaku bisnis mereka. Menjadi usaha ultra mikro adalah pilihan ekonomi yang tak bisa dihindari untuk bertahan hidup, bukan jenjang karier menuju usaha besar-formal atau alternatif menunggu untuk pekerjaan di sektor formal dengan penghasilan tetap yang lebih tinggi.

photo
Terus kerja walau wabah melanda. Durasi kerja usaha ultra mirko Jabodetabek sebelum dan saat pandemi. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Jam kerja responden yang sangat panjang di satu sisi membuktikan bahwa usaha ultra mikro adalah pekerjaan utama bagi sebagian besar warga miskin kota di mana mereka menggantungkan pendapatan. Namun di saat yang sama hal ini juga menunjukkan rendahnya nilai tambah dan produktivitas usaha ultra mikro terkait rendahnya kesejahteraan responden.

Rendahnya nilai tambah usaha ultra mikro di masa pandemi ini diperburuk dengan jatuhnya permintaan pasar dan hilangnya pelanggan. Meski beroperasi dengan jam kerja yang relatif tidak jauh berbeda, tapi omset harian usaha ultra mikro mengalami kejatuhan drastis di masa pandemi. Usaha ultra mikro mengalami kejatuhan omset usaha dari sebelum pandemi rata-rata Rp 532 ribu per hari menjadi hanya Rp 320 ribu per hari atau turun hingga 40 persen. 

Bila sebelum pandemi hanya sekitar 32 persen responden usaha ultra mikro yang memiliki omset harian rata-rata di bawah Rp 300 ribu per hari, tapi saat pandemi angka ini meningkat hingga lebih dari 65 persen responden. Dengan kejatuhan permintaan pasar yang dalam, usaha ultra mikro melakukan penyesuaian dengan menurunkan produksi.

Seiring kejatuhan omset harian selama pandemi, modal kerja harian responden usaha ultra mikro juga turun dari rata-rata Rp 341 ribu menjadi rata-rata Rp 233 ribu.

Upaya pemerintah mendorong usaha ultra mikro beralih memasarkan produk secara digital, melalui pelatihan literasi digital dan pendampingan pemasaran digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas, adalah menjanjikan. Namun amat tidak mudah bagi usaha ultra mikro yang sangat bergantung pada transaksi konvensional.

Selain itu, jatuhnya penjualan usaha ultra mikro diduga kuat tidak hanya diakibatkan kebijakan containment dan jatuhnya mobilitas masyarakat, tapi juga dari jatuhnya daya beli masyarakat, terutama kelompok kelas bawah. 

Dengan usaha ultra mikro menjual produk yang umumnya dikonsumsi masyarakat kelas bawah, dan di saat yang sama tidak banyak menurunkan jam kerja dengan operasional bersifat tatap muka langsung dengan konsumen, maka jatuhnya omset harian responden mengindikasikan jatuhnya daya beli masyarakat kelas bawah.

Menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk mengintensifkan bantuan sosial kepada kelas ekonomi terbawah, yang terlalu sering tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran, dan bahkan dikorupsi. Temuan lapangan kami, dengan hampir setengah dari responden sama sekali tidak pernah menerima bantuan sosial pemerintah, menunjukkan tingginya masalah exclusion error dalam program penanggulangan kemiskinan pemerintah.

photo
Usaha ultra mikro Jabodetabek. Profil pelaku ekonomi rakyat informal metropolitan. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Derita di Atas Derita

Usaha ultra mikro terkonsentrasi di sektor perdagangan serta akomodasi dan penyediaan makanan-minuman. Seiring restriksi pergerakan manusia dan jatuhnya permintaan pasar, usaha ultra mikro mengalami kejatuhan penjualan dan hilangnya pelanggan.

Pada masa normal, lebih dari 76 persen responden usaha ultra mikro mengaku tidak pernah mengalami kerugian setiap pekannya saat hasil penjualan harian selalu lebih besar dari modal kerja harian. Namun di masa pandemi, angka ini hanya tersisa 44 persen saja. Bila sebelum pandemi responden mengaku mengalami kerugian rata-rata hanya 0,4 hari per pekan, maka di masa pandemi angka ini melejit menjadi rata-rata 2,1 hari per pekan.

Seiring hari-hari merugi yang semakin sering dialami, keuntungan yang menjadi sandaran hidup usaha ultra mikro meredup. Bila sebelum pandemi keuntungan harian, yaitu selisih omset harian dan modal kerja harian, responden usaha ultra mikro rata-rata mencapai Rp 212 ribu per hari, di masa pandemi angka ini menciut menjadi rata-rata hanya Rp 96 ribu per hari atau anjlok hingga 55 persen.

Bila sebelum pandemi hanya 24,5 persen responden yang keuntungan hariannya di bawah Rp 100 ribu, maka di masa pandemi angka ini melonjak menjadi 77,1 persen responden. Temuan-temuan ini menunjukkan betapa keras pandemi menghantam usaha ultra mikro. 

 

photo
Jalan terjal ekonomi rakyat miskin. Hambatan usaha dan bantuan yang diharapkan usaha ultra mikro Jabodetabek. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Kebijakan relaksasi kepada 1,6 juta debitur program kredit ultra mikro (UMi) berupa penundaan pokok utang maupun pemberian masa tenggang adalah tepat. Begitu pula kebijakan banpres produktif untuk 9,3 juta pelaku usaha mikro sebesar Rp 2,4 juta adalah positif.

Di tengah kejatuhan usaha ultra mikro, dukungan pemerintah tersebut tentu patut diapresiasi. Namun itu tidak mencukupi dan tidak berkelanjutan dengan pandemi yang berkepanjangan. Seiring pandemi yang melanda, permasalahan dan hambatan usaha yang dihadapi usaha ultra mikro mengalami perubahan signifikan.

Sebelum pandemi, hambatan terbesar dari responden usaha ultra mikro perkotaan berturut-turut adalah tidak memiliki lokasi usaha (60,5 persen), produk yang sering tidak laku dan minimnya pembeli (16,0 persen), dan tidak adanya tambahan modal (10,5 persen). Selama pandemi, hambatan terbesar responden bergeser berturut-turut menjadi produk yang sering tidak laku dan minimnya pembeli (45,5 persen), tidak memiliki lokasi usaha (36,0 persen), razia atau penertiban (8,0 persen) dan larangan berdagang (6,0 persen).

Faktor-faktor yang menghambat usaha ultra mikro terentang panjang mulai dari regulasi yang tidak berpihak, akses pasar yang lemah, persaingan yang ketat, lemahnya akses ke pembiayaan, keterbatasan alat dan teknologi, hingga kualitas produk yang inferior. Di masa pandemi, seluruh hambatan usaha terfokus pada jatuhnya permintaan pasar dan hilangnya pelanggan.

 
Dalam jangka pendek, usaha ultra mikro membutuhkan bantuan sosial yang intensif untuk bertahan. Ironisnya, hampir setengah dari responden mengaku tidak menerima bantuan sosial sama sekali.
 
 

Dalam jangka pendek, usaha ultra mikro membutuhkan bantuan sosial yang intensif untuk bertahan. Ironisnya, hampir setengah dari responden mengaku tidak menerima bantuan sosial sama sekali. Dalam jangka panjang, usaha ultra mikro membutuhkan dukungan permodalan untuk mengakses pasar dan pelanggan dalam jumlah yang memadai secara berkelanjutan. 

Pemerintah harus memfokuskan intervensi pada dukungan pemasaran yang memberikan hasil secara cepat bagi usaha ultra mikro. Klastering digital untuk usaha ultra mikro, misalnya, dapat meningkatkan eksposur usaha ultra mikro ke konsumen.

Selain itu, menjadi asistensi pemasaran digital yang efektif agar dapat terus menjual produk di tengah restriksi pandemi sekaligus memastikan keselamatan mereka. Berikutnya, sekaligus meningkatkan interaksi antar sesama usaha ultra mikro dan mempertahankan rantai pasok.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat