Internasional
2020, Tahun Terpanas Kedua Setelah 2016
WMO mengatakan, 2020 menjadi satu dari tiga tahun terpanas dalam catatan global
JENEWA -- Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengumumkan, 2020 merupakan tahun terpanas kedua dalam catatan setelah 2016. Lima set data menempatkan 2020 yang dipenuhi gelombang panas, kebakaran hutan, dan badai sebagai tahun terhangat sejak pencatatan suhu udara dunia dimulai tahun 1854.
"Tampaknya, 2020 menjadi satu dari tiga tahun terpanas dalam catatan global," kata WMO, lembaga di bawah naungan PBB yang bermarkas di Jenewa, Swiss.
Hal ini disampaikan dalam laporan State of the Global Climate in 2020 yang dirilis Rabu (2/12). Dipicu suhu panas yang ekstrem, kebakaran hutan di Australia, Siberia, dan Amerika Serikat tahun ini menyebarkan asap ke seluruh dunia.
Dalam laporannya, WMO mengatakan, panas air laut yang mencapai rekornya menjadi salah satu tanda yang kurang disadari. Padahal, lebih dari 80 persen laut di seluruh dunia mengalami gelombang panas maritim.
"Pada 2020, sayangnya telah menjadi tahun yang luar biasa bagi iklim kita," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
Taalas mendesak pemerintah di seluruh dunia berusaha lebih keras dalam upaya mengurangi emisi karbon. Bulan lalu, WMO mengatakan, konsentrasi gas rumah kaca merangkak naik pada 2019 dan makin tinggi pada tahun ini, walaupun emisi turun karena karantina nasional Covid-19.
Dalam laporan terbarunya, WMO mengatakan, pada Januari hingga Oktober tahun ini suhu udara dunia lebih tinggi 1,2 derajat celcius. Ini kenaikan tertinggi dibandingkan suhu udara pada 1850 hingga 1900.
Tahun yang panas biasanya diasosiasikan dengan El Nino, gelombang panas dari Samudra Pasifik. Namun, tahun ini bertepatan dengan La Nina yang seharusnya mendinginkan suhu udara. WMO akan mengonfirmasi data ini pada Maret 2021.
Pada Januari hingga Oktober tahun ini suhu udara dunia lebih tinggi 1,2 derajat celcius.
Lima tahun yang lalu pemerintah di seluruh dunia menyepakati Perjanjian Paris yang bertujuan untuk membatasi suhu udara global di angka 1,5 derajat celcius. Para ilmuwan mengatakan, bila suhu di atas 1,5 celcius, bumi akan mengalami bencana perubahan iklim.
Dalam pidatonya di Columbia University, New York, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, emisi gas efek rumah kaca yang harus disalahkan atas gelombang panas ini. Ia menegaskan, harus ada kebijakan untuk mengatasi tantangan tersebut.
"Untuk sederhananya, kondisi planet rusak, kemanusiaan sedang berperang melawan alam, ini bunuh diri," katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.