KH Moh Zuhri Zaini, pengasuh Ponpes Nurul Jadid, yang turut merumuskan konsep fikih tawasut. | DOK NURUL JADID

Hiwar

KH Moh Zuhri Zaini Membedah Konsep Fikih Tawasuth

Fikih tawasut menekankan pentingnya keseimbangan dan sikap moderat.

Kajian keislaman dari dunia pesantren terus berkembang. Baru-baru ini, Pondok Pesantren Nurul Jadid di Probolinggo, Jawa Timur, menghasilkan pelbagai gagasan yang merespons perkembangan zaman. Salah satunya mengenai fikih tawasut (fiqh al-tawasuth).

Konsep tersebut dirumuskan, antara lain, oleh KH Moh Zuhri Zaini. Pengasuh Ponpes Nurul Jadid itu telah menuangkan pemikirannya dalam berbagai tulisan, baik di media massa maupun jurnal-jurnal ilmiah. Menurut dia, fikih tawasut berupaya meneguhkan pemahaman moderat dalam syiar agama Islam.

Ulama tersebut berpandangan, fikih tawasut dapat menjawab berbagai tantangan saat ini, semisal ekstremisme dan radikalisme. Dewasa ini, beberapa oknum mengatasnamakan agama untuk tindakan-tindakan mereka yang cenderung jauh dari sikap moderat. Di Indonesia pun, lanjut dia, mulai tampak gejala-gejala demikian.

“Sudah mulai ada ekstremis atau kelompok-kelompok ekstrem. Jadi, itu (fikih tawasut) sebetulnya untuk meluruskan. Mengembalikan kepada jati diri Islam,” ujar Kiai Zuhri.

Ia menuturkan, konsep fikih tawasut sudah menjadi kajian kaum akademisi. Sebagai contoh, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu pernah mengulasnya dalam sebuah forum. Dirinya optimistis, gagasan tersebut dapat menjadi wacana yang kian relevan untuk dibahas dan dikembangkan.

Bagaimana pengertian tawasut yang dikaitkan dengan fikih? Sampai sejauh mana cakupannya? Untuk menjawab hal itu, berikut ini adalah wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan Kiai Zuhri, beberapa waktu lalu.

Seperti apa karakteristik tawasut (tawasuth) dalam fikih?

Istilah populer untuk tawasuth adalah moderat. Dalam Islam, istilah itu juga sepadan dengan tawazun, ‘seimbang.’ Sebagai gambaran, ada sebuah kisah pada zaman Nabi Muhammad SAW mengenai seorang sahabat yang memiliki istri. Kalau malam, sahabat tersebut selalu berada di masjid—melakukan shalat wirid dan lain-lain. Sementara itu, istrinya sendiri tidak diapa-apakan.

Akhirnya, istrinya mengeluh kepada Nabi SAW. Lalu, beliau memanggil si suami. Ia pun ditanya, “Apakah betul engkau kalau malam tidak tidur dengan istri?” Sahabat itu menjawab, benar dirinya di masjid shalat dan wirid.

Kemudian, Nabi SAW menasihati, “Engkau memang punya kewajiban kepada Tuhan untuk beribadah. Namun, engkau juga berkewajiban terhadap keluargamu.” Sabda beliau itu menekankan adanya keseimbangan antara sisi ketuhanan (habluminallah) dan kemanusiaan (habluminannas).

Saya kira, tawasuth pun begitu. Artinya, orang tidak ekstrem. Sebab, agama berasal dari Tuhan, tetapi tidak kemudian hanya (mementingkan) hubungan dengan Tuhan. Sementara, hubungan dengan sesama manusia kurang diperhatikan.

Sebetulnya, Islam sendiri aslinya tawasut antara dunia dan akhirat. Jadi, agama ini tidak hanya berkaitan dengan urusan akhirat, melainkan juga duniawi. Itu walaupun prioritasnya adalah akhirat. Sebab, sangat logis sekali. Akhirat lebih langgeng. Kalau bisa, jadikanlah dunia sebagai sarana menuju akhirat.

Apa yang melatarbelakangi munculnya fikih tawasuth?

Sebab, mulai ada kalangan ekstremis atau kelompok-kelompok yang berpaham ekstrem. Jadi, (fikih tawasut) itu sebetulnya untuk meluruskan. Mengembalikan kepada jati diri Islam. Sebab, ada orang yang, umpamanya, lantaran kecenderungan tasawuf yang dilakukannya, tidak lagi memikirkan urusan dunia. Menurut saya, itu tidak dapat dibenarkan.

Ada cerita seorang sufi di Mesir. Karena ingin berfokus pada ibadah dan zikir kepada Allah, ia pun tidak menikah. Padahal, ia laki-laki normal. Untuk menyalurkan nafsu biologisnya, ia pun memelihara kuda. Kalau nafsunya sudah memuncak, ia pun “mengerjai” kudanya itu. Padahal, yang dilakukannya itu termasuk bentuk perzinaan.

Lelaki dalam contoh itu memiliki semangat yang tinggi dalam beribadah, tetapi keilmuannya kurang. Zikir terus tanpa menggubris kepentingan-kepentingan dunia, termasuk kebutuhan biologis, itu bukanlah ajaran Islam.

Secara definisi, apakah fikih tawasuth itu?

Dalam literatur agama, fiqh memiliki dua pengertian, yakni dalam artian luas dan sempit. Secara umum, fiqh berarti pemahaman atau pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama secara keseluruhan, baik itu akidah, syariat, maupun akhlak atau tasawuf.

Pada masa awal syiar Islam, istilah fiqh dipakai dalam pengertian yang luas itu. Misalnya, dalam sebuah hadis disebutkan, “Man yuridillahu bihi khairan yufaqqihhu fiddin. “Barangsiapa yang dikehendaki Allah pada kebaikan, ia akan diberi fikih-fikih atau pemahaman terhadap agama.” Agama di sini berarti keseluruhannya, baik dalam aspek akidah, hukum, maupun akhlak.

Dalam perkembangan kemudian, terjadi kemajuan kajian-kajian keilmuan. Terjadilah takhassus atau spesialisasi. Sama halnya dengan dunia kedokteran. Dokter itu kan awalnya juga hanya dokter umum. Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan, akhirnya ada dokter-dokter spesialis.

Ketika ada kajian tentang akidah, maka timbul ilmu tauhid dan ilmu kalam. Saat ada kajian tentang hukum yang bersifat mengatur perbuatan-perbuatan yang bersifat zahir, itu akhirnya diatur di dalam ilmu fikih dalam pengertian sempit. Yakni, yang mengajarkan tata cara shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Tentang akhlak, misalnya, tidak terdapat di situ.

Kajian tentang akhlak disoroti oleh ilmu lainnya, semisal tasawuf. Akhirnya, ajaran Islam dipandang terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu akidah, akhlak, dan fikih—ketentuan-ketentuan atau hukum tentang perbuatan yang bersifat zahir.

Bila menilik pada penjelasan tersebut, fikih tawasuth termasuk dalam definisi fiqh dalam pengertian sempit?

Jadi, fikih tawasut itu tidak hanya berlaku pada fikih dalam pengertian sempit. Ia pun berlaku dalam akhlak, akidah, hukum, dan bahkan politik. Karena itu, menurut saya, fikih tawasut termasuk fikih dalam artian luas. Artinya, agama itu sendiri. Jadi, beragama itu harus tawasuth, tidak boleh ekstrem.

Bagaimana fikih tawasut beroperasi dalam konteks politik?

Misalnya, dalam menentukan pemimpin masa depan. Itu setidaknya memiliki dua kriteria. Pertama, kepribadian seorang kandidat yang mencakup karakteristik, akhlak, dan komitmennya terhadap bangsa dan negara. Begitu pula integritas, kejujuran, dan sikap amanah yang ditunjukkannya.

Kedua, ia memiliki kemampuan, baik secara intelektualitas maupun kapabilitas kondisi-kondisi atau keadaan. Dengan begitu, ia ketika menjadi pemimpin bisa mengambil keputusan untuk melangkah. 

Di samping aspek kepribadian dan kemampuan, seseorang pun mesti diterima oleh rakyat. Dengan demikian, ada baiat. Perihal ada mungkin sebagian rakyat yang tidak bisa menerimanya, itu hal biasa saya kira.

Bagaimana fiqih tawasut menjawab persoalan-persoalan umat masa kini?

Fikih tawasut menekankan pentingnya keseimbangan dan sikap moderat. Misal, dalam aspek ranah individu dan publik. Semuanya mesti mendapatkan perhatian. Salah satunya jangan sampai menjadi korban.

Ambil contoh, kewajiban negara yang sudah jelas, yakni memfasilitasi rakyat. Namun, hal itu tidak berarti intervensi atas rumah tangga orang. Jikalau, misal, ada orang yang membahayakan, maka negara harus hadir. Sebab, itu dilakukan untuk melindungi hak warga yang lain. Tidak seperti negara komunis, yang mementingkan kepentingan publik sehingga mengesampingkan hak-hak privat. Seolah-olah, semua untuk negara.

Tidak pula seperti negara-negara kapitalis yang dahulu. Pokoknya, yang penting diri individu, tidak peduli dengan komunal atau masyarakat. Akan tetapi, sekarang kan orang sudah mengerti. Adapun Islam berada di tengah-tengah antara sosialis dan kapitalis.

Islam membolehkan orang menjadi kaya, misalnya. Namun, jangan ia lupa terhadap kewajiban-kewajiban sosialnya. Karena itu, ada zakat, sedekah, infak, dan sebagainya.

Apakah harapan Anda dari fikih tawasut ini?

Harapannya, tentu di dalam kehidupan ini Muslimin, baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat kolektif, tidak condong pada paham dan perilaku esktrem. Jangankan terhadap orang lain. Terhadap diri sendiri pun Muslim tidak boleh ekstrem. Misalnya, karena menginginkan sebanyak-banyaknya pahala, lalu seseorang memperbanyak shalat.

Sementara itu, dirinya tidak pernah memerhatikan kesehatan jasmaninya. Ini kan termasuk ekstrem juga. Dan, itu baru pada aspek kehidupan pribadi, terlebih lagi kolektif. Kalau bersikap ekstrem, nanti bisa timbul konflik dengan orang lain.

photo
KH Moh Zuhri Zaini. - (DOK NURUL JADID)

 

Memaknai Riyadhah di Ranah Pesantren

Umumnya, para pemuka pondok-pondok pesantren meneruskan tradisi keluarga mereka yang alim dan berfokus pada dakwah. Demikian halnya yang terjadi pada KH Moh Zuhri Zaini. Ulama tersebut merupakan pengasuh Ponpes Nurul Jadid di Probolinggo, Jawa Timur.

Ia adalah putra kelima dari pasangan Kiai Zaini Mun’im dan Nyai Nafi’ah. Dai yang kini berusia 74 tahun itu memperoleh pendidikan awalnya di Mahad Nasi’iyah Islamiyah Nurul Jadid. Selama enam tahun, dirinya menyerap berbagai ilmu, termasuk gramatika bahasa Arab untuk menelaah kitab-kitab kuning (turats).

Nurul Jadid juga menjadi tempatnya menimba ilmu pada tingkat sekolah menengah. Pendidikan tinggi diteruskannya pula di sana, tepatnya pada Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah (PTID) Nurul Jadid. Kemudian, ia belajar di Ponpes Sidogiri Pasuruan selama tiga tahun. Dalam periode itu, salah seorang gurunya adalah Kiai Cholil Nawawie. Dari Jatim, suami Nyai Bisyaroh Syuhud itu sempat melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta walaupun hanya beberapa bulan lantaran faktor kesehatan.

Alhasil, nyaris seluruh rihlah keilmuannya dihabiskan di lingkungan pesantren. Bagi Kiai Moh Zuhri Zaini, pesantren memiliki berbagai kekhasan. Di antaranya adalah tempaan latihan diri (riyadhah). Para santri dibiasakan untuk melakukannya.

Salah satu bentuk riyadhah adalah tirakat. Ia menjelaskan, praksis tersebut tidak selalu berarti puasa. “Bagi mereka yang tidak mampu menjalankannya (berpuasa), berlatih menaati peraturan pesantren, menjaga nama baik pesantren, itu merupakan bagian dari upaya untuk mengubah diri sendiri,” kata Kiai Zuhri kepada Republika beberapa waktu lalu.

Wujud lainnya dari riyadhah adalah kecenderungan untuk zuhud. Hal itu tidak berarti memiskinkan diri. Seorang zahid selalu hidup berkecukupan, bukan sengaja menyusahkan diri hingga level ekstrem. “Untuk menjalani riyadhah secara maksimal, salah satu kuncinya adalah dengan kesabaran,” simpulnya.

Ponpes Nurul Jadid dirintis oleh tiga orang tokoh, yakni Kiai Abdul Wahid, Kiai Abdul Haq, dan Kiai Nur Chotim. Mereka semua telah berpulang ke rahmatullah. Mewarisi semangat juang ketiganya, Kiai Zuhri terus konsisten mengasuh para santri setempat dengan ilmu dan keteladanan.

Pesantren Cetak Generasi Berakhlak

Ponpes hadir untuk menghindari munculnya generansi yang kehilangan keteladanan.

SELENGKAPNYA

Gandeng Muhammadiyah, Erick Dorong Kemandirian Umat

BUMN dan Muhammadiyah sepakat untuk mengakselerasi industri obat herbal.

SELENGKAPNYA

Surakarta Message Beri Pesan Damai Bagi Dunia

Surakarta Message akan disampaikan pada seluruh umat beragama di dunia dan umum.

SELENGKAPNYA