
Hiwar
Pesantren Cetak Generasi Berakhlak
Ponpes hadir untuk menghindari munculnya generansi yang kehilangan keteladanan.
Di Indonesia, pondok pesantren (ponpes) merupakan lembaga pendidikan yang eksis sejak berabad-abad silam. Setiap ponpes tidak hanya memiliki sarana-sarana seperti masjid dan pemondokan, melainkan juga peran ulama sebagai pengasuh. Para santri menyerap ilmu, hikmah, dan keteladanan dari kiai-kiai yang tinggal bersama dengan mereka.
Menurut pimpinan Ponpes Darunnajah Jakarta KH Hadiyanto Arief, pesantren adalah tempat mendidik generasi muda Muslim. Tujuannya agar mereka tidak hanya alim, tetapi juga berakhlak karimah. Para santri pun menyaksikan contoh dari ulama yang membimbing mereka.
“Sebagai contoh, di Ponpes Darunnajah. Para santri banyak meneladan KH Abdul Manaf Mukhayyar (perintis Yayasan Darunnajah),” ujar alumnus Ponpes Modern Gontor, Ponorogo, Jatim, itu.
Lantas, bagaimana peran penting kiai dan para ustaz di ponpes dalam mengajarkan akhlak? Apakah keliru bila mengandalkan ponpes seluruhnya untuk mengubah anak “nakal” menjadi seketika alim? Untuk menjawabnya, berikut ini wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, dengan jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, beberapa waktu lalu.
Bagaimana pesantren menanamkan ilmu dan akhlak baik ke dalam diri kolektif peserta didik?
Pola pendidikan di pesantren adalah keteladanan. Inilah yang membedakannya dengan lembaga-lembaga lain. Jadi, bukan pada kurikulum, luasnya gedung, dan hal-hal materiel lain. Di sini, keberadaan kiai menjadi penting.
Kiai merupakan figur utama dalam menghadirkan keteladanan itu. Setiap pengasuh ponpes selalu mengajarkan budi pekerti dan akhlak, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis, Rasul SAW menyatakan bahwa diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Itulah kenapa umat Islam menjadi umat terbaik.
Bagaimana peran penting kiai dan para ustaz di pondok pesantren dalam pola keteladanan itu?
Para santri datang ke sebuah ponpes bukan hanya untuk menuntut ilmu, tetapi juga meneladan kehidupan para kiai dan guru. Dan, kiai-kiai pun memahami perannya sebagai role model pendidikan.
Mereka sangat menyadari, anak-anak lebih banyak meniru apa-apa yang ada di sekitarnya, bukan dengan membaca buku-buku. Karena itu, ada pepatah mengatakan, “Satu teladan kebajikan lebih baik daripada seribu nasihat.”
Inilah mengapa kiai mesti berada di ponpes selama 24 jam penuh. Tinggal bersama para santri. Berjamaah dengan mereka di masjid. Dengan begitu, santri-santri dapat menyaksikan sendiri (keteladanan). Ponpes hadir untuk menghindari munculnya generansi yang kehilangan keteladanan.
Satu teladan kebajikan lebih baik daripada seribu nasihat
Sebagai contoh, di Ponpes Darunnajah. Para santri banyak meneladan KH Abdul Manaf Mukhayyar (perintis Yayasan Darunnajah, wafat 2005 --Red). Kalau mereka ditanya, bercita-cita mau jadi apa. Ada yang ingin menjadi pengusaha. Pengusaha seperti apa? Mereka ingin menjadi pengusaha seperti Pak Kiai Abdul Manaf, yang ketika sudah kaya ingin mewakafkan sebagian hartanya untuk kepentingan umat.
Hingga kini, Darunnajah menerima banyak lahan wakaf dari para wali santri. Mereka telah mendengar kisah tentang Pak Kiai Abdul Manaf, baik langsung maupun dari penuturan anak-anaknya yang merasakan keteladanan Pak Kiai. Maka, sering kami sampaikan agar para santri sungguh-sungguh meresapi dan menghayati. Ilmu tidak sekadar diajarkan, tetapi dibumikan dalam bentuk keteladanan.
Ada pandangan di sebagian masyarakat, ponpes adalah alternatif yang bisa mengubah anak 'nakal' menjadi baik. Tanggapan Anda?
Tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak sepenuhnya benar juga. Memang, ada yang mengatakan, seakan-akan pesantren itu bengkel. Ini perlu diluruskan agar niatnya (memasukkan anak ke ponpes --Red) tidak sampai salah. Sebab, pesantren memang tempat yang tepat untuk menuntut ilmu.
Namun, mesti diingat bahwa pesantren bukanlah tukang sulap. Tidak selalu bahwa mereka yang masuk pesantren bisa baik. Ada juga santri-santri yang tidak benar begitu keluar atau lulus.
Maka, yang harus diubah adalah akhlaknya terlebih dahulu. Diperjelas dahulu, seseorang mau mencari apa di pesantren, dan setelahnya mau ke mana. Itulah pertanyaan yang selalu ditanyakan ketika orang tua mau memasukkan anaknya ke pondok. Kesadaran itulah yang kami coba bangun setiap saat.
Intinya, pendidikan di pesantren itu tidak hanya bergantung pada proses KBM (kegiatan belajar mengajar) di dalam kelas. Justru, yang lebih banyak adalah pendidikan di luar kelas, seperti berjamaah di masjid dan sebagainya.
Bagaimana Ponpes Darunnajah menerapkan pola pendidikan untuk mencetak generasi yang alim dan berakhlak karimah?
Perhatian kami ke semua santri sangat seimbang. Bukan hanya pada aspek kognitif, semisal KBM di kelas. Itu hanya sekitar 50 persen. Sisanya, (KBM) di luar kelas. Kami memiliki metode-metode yang terangkum ke dalam empat hal.
Pertama, kami bangun para santri agar memiliki keterampilan berinteraksi dengan Allah SWT. Jadi, setiap mereka harus tahu keberadaan dirinya sebagai makhluk. Maka, diajarkanlah shalat yang baik, wudhu yang benar, dan ibadah-ibadah lainnya.
Substansi dari ibadah-ibadah pun diterangkan kepada mereka. Kami meyakini, kesuksesan setiap Muslim dalam kehidupan sangat ditentukan oleh baik atau buruknya hubungan dirinya dengan Tuhannya.
Kedua, interaksi dengan diri mereka sendiri. Artinya, mereka harus tahu jati dirinya; apa saja potensi dalam dirinya. Selama nyantri di sini, mereka diajarkan shalat malam agar dapat merenungi jati dirinya yang paling dalam. Dan, seluruh ekstrakurikuler ada di pondok ini. Mulai dari bidang olahraga, sastra, kesenian, dan lain-lain. Semuanya mendapatkan tempat di sini sehingga para santri bisa mengembangkan potensi masing-masing.
Ketiga, keterampilan berinteraksi dengan orang lain. Inilah alasannya, para santri mesti tinggal selama 24 jam di pondok. Mereka di sini bersama teman-temannya, yang sebelumnya tidak saling kenal. Memang, waktu pertama-tama mungkin pada kaget. Namun, lama kelamaan mereka mengerti, hidup harus bersama-sama dengan orang lain. Mereka mulai belajar bertetangga yang baik.
Dari sana, muncul sifat egaliter. Mereka pun dipersiapkan untuk memiliki mental pemimpin, sehingga mereka benar-benar memahami, bagaimana rasanya menjadi rakyat yang akan mereka dakwahi nanti.
Adapun keterampilan yang terakhir adalah pandai berinteraksi dengan alam.
Tiap orang tua mendambakan anaknya menjadi ulama yang cendekia atau ilmuwan yang alim. Bagaimana Darunnajah mengupayakan itu?
Ponpes “hanya” menyediakan tempat dan fasilitas. Maka, tercapainya hal itu bergantung pada cita-cita setiap anak. Cita-cita itulah yang menjadi salah satu perhatian kami.
Tentu, pesantren tetap aktif. Di Darunnajah, kami memakai sistem Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI), yang kami adopsi dari Gontor. Itu menekankan pada ilmu alat (nahwu-sharaf) sehingga para santri mampu membaca kitab-kitab kuning.
Terkait ilmu-ilmu umum, sebenarnya Darunnajah tidak membedakan antara ilmu agama dan umum. Sebab, semua ilmu berasal dari Allah. Misal, biologi. Ia sebagai ilmu umum itu istilah dari negara saja. Hakikatnya, biologi pun adalah salah satu ilmu Islam. Ketika KBM, para santri akan diingatkan, misalnya, bahwa seluruh makhluk hidup adalah ciptaan-Nya.
Ponpes “sekadar” memberikan fondasi-fondasi awal untuk kemudian mereka kembangkan di masyarakat atau pendidikan selanjutnya.
Demikian pula, kami di sini (Darunnajah) mengajarkan bisnis atau entrepreneurship kepada mereka. Hal itu bukan untuk mencari uang. Sebab, uang hanya bonus nanti. Tujuannya tetap untuk dalam rangka ibadah. Jadi, kami tidak membedakan antara (ilmu) agama dan umum.
Maka begitu lulus dari sini, para santri dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi. Biasanya, banyak yang ingin melanjutkan ke Timur Tengah atau al-Azhar Kairo. Mereka sudah punya modal, yakni kemampuan berbahasa Arab.
Namun, sekali lagi, untuk menjadi alim itu tidak cukup dengan berada di pondok saja. Ponpes “sekadar” memberikan fondasi-fondasi awal untuk kemudian mereka kembangkan di masyarakat atau pendidikan selanjutnya. Dan, secara mental mereka sudah disiapkan untuk itu.
Terakhir, apa pesan Anda terkait pendidikan akhlak di tengah situasi pesatnya perkembangan teknologi informasi?
Islam bersifat universal. Ajarannya berlaku di mana pun dan pada zaman kapanpun sejak Rasul SAW. Dan, perubahan adalah sunatullah. Dalam kondisi sekarang, perkembangan teknologi tidak tertolak. Bahkan, umat Islam mesti memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Teknologi itu memudahkan. Yang mesti diingat pula, itu hanya alat. Inilah yang kami ajarkan kepada para santri. Mereka dididik untuk pandai menggunakan internet dan memanfaatkannya dengan baik.
Itulah mengapa, di Universitas Darunnajah yang baru kami launching, kami juga membuka fakultas-fakultas yang terkait bidang sains dan teknologi. Kaum Muslimin mesti menguasai dan memanfaatkan teknologi sebesar-besarnya untuk syiar Islam.

Inspirasi dari Sang Kakek
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Itulah adagium yang kiranya tepat menggambarkan sosok KH Hadiyanto Arief. Pimpinan Ponpes Darunnajah Jakarta ini berasal dari keluarga alim yang mengasuh lembaga pendidikan Islam.
Kakeknya, KH Abdul Manaf Mukhayyar (1922-2005), merupakan seorang pendiri Ponpes Darunnajah. Kini, alumnus UGM Yogyakarta itu menerima amanah untuk meneruskan perjuangan sang kakek dalam memajukan pesantren modern tersebut.
Ia mengenang, Kiai Abdul Manaf adalah sosok yang sederhana dan dermawan. Terinspirasi akan sifat-sifat itu, dirinya pun kembali ke dunia pesantren, mengikuti jejak sang kakek.

“Akhirnya kami juga berderma dan memberikan dengan apa yang bisa dilakukan dan mengembangkan wakaf yang beliau tinggalkan ini (pesantren),” ujar Kiai Arief kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Sebagai cucunya, ia menyaksikan kehidupan kakeknya yang sangat bersahaja. Di tengah kesederhanaan, almarhum selalu gemar berbagi. Kiai Abdul Manaf rela mewakafkan sebagian besar hartanya demi perkembangan pendidikan di pesantren.
Keikhlasannya dalam melepas hartanya, bercita-cita ingin membangun lembaga pendidikan yang berkualitas untuk umat Islam.
“Jadi kedermawanan itulah yang membuatnya luar biasa. Keikhlasannya dalam melepas hartanya, bercita-cita ingin membangun lembaga pendidikan yang berkualitas untuk umat Islam,” tuturnya.
Lahir di Jakarta pada 1976, Kiai Arif merupakan anak sulung. Kedua orang tuanya adalah KH Saifuddun Arief dan dr Susanti Arief. Sejak 2006, sosok yang juga dikenal dengan nama Dedy ini menikah dengan Ana Mardiana. Mereka dikaruniai empat anak, dua putri dan dua putra.
Pada 1991-1996, Kiai Arif meneruskan pendidikan di Ponpes Modern Gontor Ponorogo, Jatim. Di sinilah ia mulai mengenali sistem KMI. Setelah lulus dari Gontor, ia melanjutkan pendidikan ke UGM Yogyakarta. Studi sarjana ditempuhnya di Fakultas Hukum UGM. Pada kurun waktu itu, ada ragam aktivitas kemahasiswaan di luar komunitas pesantren.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan S2 ke Universitas Sunderland, Inggris. Pada 2005, ulama muda tersebut sukses meraih gelar master of business studies. Adapun level postgraduate kedua diperolehnya dari Bristol University Inggris melalui skema beasiswa Chevening.
Sepulang dari Inggris, ia pun mulai aktif lagi mengembangkan Ponpes Darunnajah. Bahkan, dia turut membantu perintisan salah satu cabang Darunnajah di Desa Cidokom, Gunung Sindur Bogor, Jabar. Sejak 2009, pesanttren Annur Darunnajah yang ia asuh pun mampu berkembang hingga mencapai lebih dari 1.300-an santri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Museum Muhammadiyah Terapkan Teknologi Informasi
Pengunjung disajikan dengan storyline yang jelas terkait perjalanan Muhammadiyah.
SELENGKAPNYABiden-Xi Buka Dialog di KTT G-20
Presiden Jokowi menilai Presidensi G-20 Indonesia merupakan presidensi terberat sepanjang sejarah.
SELENGKAPNYA