
Sastra
Tarian Kupu-Kupu Merah
Cerpen Darju Prasetya
Oleh DARJU PRASETYA
Mentari pagi menyusup malu-malu di antara celah dedaunan. Embun masih bergelayut di ujung-ujung rumput. Di sebuah taman bunga yang luas, seekor kupu-kupu merah menari dengan anggun. Sayapnya yang berkilau memantulkan cahaya, menciptakan spektrum warna yang memukau. Namun di balik keindahannya, tersimpan kisah kelam yang tak banyak diketahui.
Kupu-kupu itu bernama Taro. Ia tumbuh dari sebutir telur kecil yang ditelurkan di daun teratai oleh induknya, Mira. Sejak kecil, Taro selalu mengagumi ibunya. Mira adalah kupu-kupu ratu yang disegani di taman itu. Sayapnya yang lebar dan berwarna merah menyala menjadi simbol kekuasaan yang tak terbantahkan.
Taro masih ingat betul hari itu. Hari ketika semua berubah. Saat itu, ia masih berupa ulat kecil yang merayap di tangkai bunga mawar. Tiba-tiba, angin kencang bertiup. Dedaunan berguguran. Dari kejauhan, terdengar dengungan keras yang semakin mendekat.
"Joko datang! Joko datang!" teriak para serangga kecil sambil berlarian mencari tempat persembunyian.
Taro mengintip dari balik kelopak mawar. Ia melihat seekor lebah madu besar terbang mendekat. Tubuhnya yang hitam bergaris kuning terlihat mencolok di antara warna-warni bunga. Lebah itu mendarat tepat di hadapan Mira yang tengah bertengger di atas batu besar.
"Selamat datang, Joko," sapa Mira dengan suara lembut namun berwibawa. "Ada keperluan apa engkau jauh-jauh terbang kemari?"
Joko membungkuk hormat. "Mohon maaf mengganggu ketenangan taman Anda, Yang Mulia. Saya adalah utusan dari sarang lebah di seberang danau. Kami datang untuk memohon izin mengambil nektar dari bunga-bunga di taman ini."
Mira terdiam sejenak. Matanya yang besar menatap tajam ke arah Joko. "Mengapa kalian tidak mencari nektar di tempat lain saja? Bukankah masih banyak taman bunga di luar sana?"
"Benar, Yang Mulia. Namun taman-taman lain telah dikuasai oleh koloni lebah yang lebih besar. Kami hanyalah kelompok kecil yang terbuang. Jika Anda berkenan, izinkan kami tinggal dan mencari makan di sini. Sebagai gantinya, kami akan membantu menyerbukkan bunga-bunga di taman Anda."
Taro melihat ibunya menimbang-nimbang. Ia tahu Mira selalu bijaksana dalam mengambil keputusan. Setelah beberapa saat, Mira akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalian kuizinkan tinggal. Tapi ingat, jangan pernah mengambil lebih dari yang kalian butuhkan."
Joko membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih, Yang Mulia. Anda sungguh baik hati. Kami berjanji tidak akan mengecewakan Anda."
Sejak hari itu, Joko dan kawanannya menjadi penghuni baru taman bunga. Awalnya, kehadiran mereka membawa banyak manfaat. Bunga-bunga bermekaran lebih indah berkat bantuan penyerbukan dari para lebah. Namun perlahan, semuanya mulai berubah.
Waktu berlalu. Taro kini telah tumbuh menjadi kupu-kupu dewasa. Sayapnya yang merah berkilauan tak kalah indah dari sang ibu. Ia sering terbang berkeliling taman, mengamati perubahan yang terjadi. Joko yang dulu hanya seekor lebah pekerja biasa, kini telah menjadi raja lebah yang berkuasa atas seluruh sarang.
Joko semakin sering mengunjungi taman Mira, membawa rombongan lebah pekerja untuk mengumpulkan nektar sebanyak-banyaknya. Bunga-bunga mulai layu karena terlalu banyak nektarnya diambil. Beberapa spesies serangga kecil bahkan mulai menghilang karena kehilangan sumber makanan.
Taro merasa resah. Ia melihat perubahan di wajah ibunya. Mira yang dulu selalu tersenyum kini lebih sering termenung. Kerutan-kerutan mulai muncul di sudut matanya yang indah.
"Ibu, mengapa kita tidak mengusir mereka saja?" tanya Taro suatu hari.
Mira menghela napas panjang. "Tidak semudah itu, anakku. Politik itu rumit. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan."
"Tapi mereka sudah keterlaluan! Lihat apa yang terjadi pada taman kita!"
"Aku tahu. Tapi kita harus berhati-hati. Joko punya banyak pengikut sekarang. Jika kita gegabah, bisa terjadi perang besar yang akan menghancurkan taman ini."
Taro terdiam. Ia tidak puas dengan jawaban ibunya, tapi ia tahu ia tak bisa membantah.
Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang, Taro terbangun oleh suara-suara aneh. Ia mengintip dari balik daun tempat ia biasa tidur. Betapa terkejutnya ia melihat Mira terbang diam-diam menuju sarang lebah.
Dengan hati-hati, Taro mengikuti ibunya dari kejauhan. Ia melihat Mira masuk ke dalam sarang melalui sebuah lubang rahasia. Taro menunggu dengan cemas. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Akhirnya, Mira keluar dengan wajah pucat.
Taro segera terbang kembali ke tempatnya. Ia pura-pura tidur ketika Mira kembali. Pikirannya berkecamuk. Apa yang dilakukan ibunya di sarang lebah malam-malam begini?
Keesokan harinya, Taro memutuskan untuk mencari tahu. Ia terbang mengelilingi taman, mengumpulkan informasi dari para serangga. Ternyata bukan hanya dia yang curiga. Banyak penghuni taman yang mulai mempertanyakan kepemimpinan Mira.
"Kudengar Ratu Mira sering bertemu diam-diam dengan Raja Joko," bisik seekor belalang.
"Benarkah? Aku malah dengar mereka berencana menggabungkan kekuasaan," timpal kumbang tanduk.
"Ssst! Jangan keras-keras! Nanti ada yang dengar," tegur kunang-kunang sambil melirik was-was ke sekelilingnya.
Taro terbang menjauh dengan hati yang semakin gundah. Benarkah ibunya telah berkhianat? Atau justru ada rencana lain di balik semua ini?
Hari demi hari berlalu. Ketegangan semakin terasa di udara. Para penghuni taman terbagi menjadi dua kubu. Sebagian mendukung Mira, sebagian lagi menginginkan perubahan. Taro sendiri masih bimbang. Ia ingin percaya pada ibunya, tapi fakta-fakta yang ia temukan sulit untuk diabaikan.
Hingga suatu malam, badai besar melanda taman itu. Angin bertiup kencang menerbangkan kelopak-kelopak bunga. Petir menyambar-nyambar membelah langit yang gelap. Di tengah kekacauan itu, Taro melihat sosok ibunya terbang menuju sarang lebah.
Tanpa pikir panjang, Taro mengikuti. Ia bertekad untuk mengungkap kebenaran malam ini juga. Dengan susah payah, ia menerobos angin kencang yang hampir merobek sayapnya. Akhirnya, ia tiba di sarang lebah. Namun apa yang dilihatnya membuatnya tertegun.
Di dalam ruangan besar itu, Mira berdiri berhadapan dengan Joko. Mereka dikelilingi oleh ribuan lebah pekerja yang siap menyerang kapan saja. Tapi bukan itu yang membuat Taro terkejut. Ia melihat ibunya mengangguk pada Joko, lalu keduanya berjabat tangan.
"Perjanjian ini resmi berlaku mulai malam ini," ujar Joko dengan suara lantang. "Mulai besok, taman bunga dan sarang lebah akan dipimpin bersama oleh Ratu Mira dan Raja Joko!"
Gemuruh tepuk tangan dan dengungan lebah memenuhi ruangan. Taro merasa dunianya runtuh seketika. Jadi ini yang direncanakan ibunya selama ini? Mengorbankan taman demi kekuasaan yang lebih besar?
Tanpa sadar, Taro mengeluarkan suara. Mira menoleh. Matanya membelalak melihat anaknya berdiri di ambang pintu.
"Taro! Apa yang kau lakukan di sini?" seru Mira panik.
Semua mata tertuju pada Taro. Ia bisa merasakan tatapan tajam ribuan lebah menusuk tubuhnya. Namun ia tak peduli. Amarah dan kekecewaan memenuhi dadanya.
"Jadi ini yang Ibu rencanakan? Mengorbankan taman kita demi tahta yang lebih besar?" teriak Taro dengan suara bergetar.
Mira terbang mendekat. "Anakku, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku melakukan ini demi kebaikan kita semua."
"Bohong! Ibu hanya memikirkan diri sendiri! Apa Ibu tidak lihat kerusakan yang telah terjadi di taman kita?"
Joko maju selangkah. "Tenanglah anak muda. Ibumu benar. Ini adalah jalan terbaik untuk menciptakan keseimbangan baru."
Taro menatap nanar pada dua sosok di hadapannya. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Keseimbangan? Kalian menyebut penindasan ini keseimbangan?"
Tiba-tiba, Taro merasakan tubuhnya ditarik ke belakang. Sebuah jaring raksasa menangkapnya. Ia meronta, namun sia-sia. Sayapnya yang indah kini remuk, tak berdaya.
"Maafkan aku, Taro," bisik Mira lirih. "Tapi hanya dengan mengorbankanmu, kami bisa meredam pemberontakan yang mungkin terjadi. Kau akan menjadi simbol persatuan antara kupu-kupu dan lebah."
Air mata mengalir di pipi Taro. Kini ia paham, dalam dunia politik yang kejam ini, tak ada lagi makna kata 'keluarga'. Yang ada hanyalah kepentingan dan kekuasaan.
Saat jaring itu semakin mengerat, Taro memejamkan mata. Ia pasrah. Mungkin inilah akhir dari tarian indahnya sebagai kupu-kupu merah yang bebas. Namun dalam hatinya, ia berjanji. Suatu hari nanti, entah bagaimana caranya, ia akan kembali. Ia akan membawa perubahan sejati bagi taman yang dicintainya.
Di luar, badai masih mengamuk. Petir menyambar-nyambar, seolah menjadi saksi bisu atas tragedi yang terjadi malam itu. Tarian kupu-kupu merah telah berakhir, tergantikan oleh simfoni kelam kekuasaan yang tak berperasaan.
Darju Prasetya, Penulis asal Tuban, Jawa Timur, yang aktif menekuni dunia literasi. Beberapa buku dan karyanya terbit di sejumlah media cetak serta digital. Email: prasetya58098@gmail.com
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.