Suatu Hari Bersama Sang Sufi | Daan Yahya/Republika

Sastra

Suatu Hari Bersama Sang Sufi

Cerpen Indah Noviariesta

Oleh INDAH NOVIARIESTA

“Cara lain tak mungkin ditempuh lagi,” dengan suaranya yang serak dan batuk-batuk kecil, Kiai Muskil berjalan agak sempoyongan tertatih-tatih. Baginya, usaha sudah ditempuh seoptimal mungkin, doa sudah dipanjatkan semaksimal mungkin, tetapi takdir Tuhan juga yang akhirnya pasti berlaku.

Sejak berbulan-bulan lalu, rapat-rapat digelar bersama ratusan kiai-kiai agar mereka mendukung seorang kandidat presiden yang disukainya. Ratusan juta anggaran sudah digelontorkan untuk amplop-amplop para kiai muda, yang menurutnya pemberian tersebut adalah bagian dari “shalawat”. Di mata mereka, Kiai Muskil tergolong kiai sepuh, dan hanya melalui dirinya para tim sukses mempunyai akses langsung dalam soal dukung-mendukung calon presiden.

Tapi kini, harapannya sudah pupus setelah keputusan akhir Komisi Pemilihan Umum menyatakan kemenangan atas kubu lawannya. Kiai Muskil sendiri menyatakan tidak mau lagi berurusan dengan dunia politik. Di sisi lain, mengingat bakti dan pengabdiannya dalam urusan keagamaan yang membuatnya tergolong sebagai “kiai sepuh” bukanlah perkara kecil dan remeh-temeh belaka. Karena itu, ia sepakat dengan usulan anaknya yang kuliah di jurusan hukum Universitas Islam Negeri, Banten, bahwa harus ada buku dan literatur yang mencatat jasa dan perjuangan beliau selama ini.

Setidaknya tentang biografi atau sejarah hidup yang mencatat perihal sepak-terjangnya mendirikan lembaga pendidikan agama, yayasan majlis ta’lim, hingga jabatannya yang tertinggi sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tingkat kabupaten.

Tapi masalahnya, siapakah penulis biografi terbaik yang akan dihubungi untuk mencatat segala jejak langkah dan prestasinya, kalau bukan Mas Wendo Atmowijojo, seperti yang menjadi usulan anak keduanya yang kuliah di jurusan sastra Indonesia.

 

***

 

Anak kedua Kiai Muskil bernama Saifullah, pernah mengikuti program kelas menulis di Jakarta, di mana Mas Wendo bertindak selaku ketua mentornya. Menurut Saifullah, Mas Wendo adalah orang tepat yang dapat menuliskan sejarah hidup abahnya, meskipun kini penulis itu sudah hidup menyendiri, dengan membangun rumah pada sebidang tanah yang dibelinya bertahun-tahun lalu. Rumah mungil itu terletak di atas bukit yang dikelilingi pepohonan dan rerumputan hijau, dengan suasana asri perbukitan di daerah Rangkasbitung, Banten.

“Setidaknya Abah harus ketemu dulu dengan Mas Wendo untuk membicarakan poin-poin apa yang harus dituliskan untuk buku biografi tersebut,” kata Saifullah memberikan arahan. Kiai Muskil terus menyimak keterangan anak yang dibanggakannya itu, karena ia lebih memahami hal-hal yang tidak banyak diketahui oleh orang tua seperti dirinya.

"Lalu, mengenai anggaran biaya yang dibutuhkan?”

“Karena Mas Wendo itu seorang penulis profesional, tentu saja dia punya perhitungan yang cermat mengenai seberapa besar anggaran biaya yang dibutuhkan. Terserah pada Bapak, apakah nanti sepakat dengan tawaran yang diajukan beliau…”

“Insya Allah, Bapak harus berkorban mengenai berapapun jumlah anggaran yang dibutuhkan. Karena hal ini adalah kesempatan terakhir Bapak mengabdikan diri demi kemaslahatan umat.”

 

***

 

Mobil rental yang dipesan Saifullah dari Kota Cilegon, disopiri oleh Pak Nawawi, lelaki tua berusia 70 tahun yang gemar mengenakan kopiah hitam, kemeja kotak-kotak dengan celana panjang warna biru. Supaya nyaman menginjak gas dan kopling kendaraan, ia selalu memakai sandal jepit hingga menjadi kebiasaan memakainya ke mana-mana.

Ahad pagi mobil meluncur ke arah selatan Banten. Sepanjang perjalanan, Kiai Muskil hanya menanyakan satu-dua patah kata kepada Pak Nawawi yang menyopirinya selama beberapa jam perjalanan. Di tengah perjalanan AC mobil tiba-tiba mendadak mati, dan inilah yang membuat Kiai Muskil merasa jengkel mengapa tidak diperiksa terlebih dahulu sebelum mobil itu dipakai untuk perjalanan jauh.

“Saya sudah periksa semuanya, Pak Kiai, tapi entah kenapa tiba-tiba mati begini?” ujar Pak Nawawi, sambil membuka kaca jendela mobil, agar angin bisa masuk.

Tak berapa lama, suara adzan dzuhur bergema di kejauhan. Kiai Muskil menyarankan agar mobil berhenti di depan masjid manapun yang akan dijumpainya. Maka, berhentilah mobil di suatu bangunan masjid sederhana dengan warna pagarnya yang bercat merah. Namun, ketika sang kiai mau mengambil air wudhu, air keran tiba-tiba macet, tak mengalir sama sekali.

Kenapa kita harus berhenti di masjid ini, apa tidak ada masjid yang lain?” tanya Kiai Muskil agak marah.

“Saya tidak tahu, Pak Kiai, saya tidak mengenal daerah ini,” jawab Pak Nawawi tenang, sambil membetulkan posisi kopiahnya.

Seketika itu, ia mengambil dua botol air mineral besar dari mobil, lalu menawarkannya kepada Kiai Muskil, “Sebaiknya kita wudhu pakai air botol saja.”

“Mana cukup buat wudhu saya?” kata sang kiai jengkel.

“Sebaiknya dicukupkan saja, Pak Kiai.”

Melihat watak dan karakteristiknya yang kalem dan tenang, lama kelamaan Kiai Muskil merasa kesal dan jengkel pada Pak Nawawi yang dianggapnya sebagai sopir yang sombong. Anggapan itu semakin beralasan ketika mobil itu tiba-tiba mogok lagi, karena salah satu bannya kempes. Kiai Muskil harus bersusah-payah membantu untuk mendongkrak mobil, sementara Pak Nawawi memasang ban serep yang diambil dari bagasi mobil.

Perjalanan berjam-jam yang – menurut Kiai Muskil – penuh dengan halang rintang tersebut, membuatnya merasa hilang kesabarannya. Terutama ketika mobil menaiki suatu bukit cadas hingga mesinnya mogok berkali-kali. Selama beberapa waktu Kiai Muskil harus turun sendirian, mendorong mobil tersebut untuk memancing pemantik agar mesin mobil bisa berbunyi.

Berkali-kali ia merasa dikerjai oleh sang sopir yang katanya sombong tersebut. Sepanjang perjalanan menaiki bukit, ia merasa kesal dan uring-uringan pada sang sopir, sampai kemudian mobil itu diparkir di suatu tempat yang bernama Kampung Warung Gunung. Lalu, mereka berdua harus menaiki sebuah bukit terjal untuk menemui rumah seorang penulis profesional, Mas Wendo Atmowijojo.

 

***

 

Maka sampailah keduanya di puncak bukit. Bangunan rumah antik itu terletak di sisi kanan bukit, menghadap ke persawahan berundak-undak dengan padi-padinya yang menguning, ditambah dengan keindahan pancuran-pancuran air jernih di sekeliling sawah-sawah yang menghijau.

Tak berapa lama, tiba-tiba sang tuan rumah melompat keluar, serta-merta menghambur dan menyambut kedua tamunya tersebut. Tetapi, yang membuat Kiai Muskil terheran-heran, mengapa Mas Wendo sang penulis terkenal itu, tiba-tiba memeluk dan mencium tangan Pak Nawawi yang merupakan sopir dari Kiai Muskil? Kenapa yang disambut dengan begitu hangat justru sopirnya, dan bukan Kiai Muskil sendiri? Ada apa ini?

Mas Wendo mengajak Pak Nawawi ke ruang tengah, dan membiarkan Kiai Muskil sendirian di halaman depan. Sebentar kemudian, keduanya muncul dari balik pintu, lalu Mas Wendo berkata kepada Kiai Muskil, “Mohon maaf, Pak, saya begitu antusias dengan kedatangan Syekh Nawawi sebagai guru agama saya sewaktu masih muda. Beliau adalah guru yang mengajari saya ilmu sufi atau tasawuf. Selama belasan tahun kami tidak saling jumpa, tetapi beberapa hari ini saya bermimpi tentang kedatangan beliau, dan barangkali melalui Bapak sebagai perantaranya…”

Kiai Muskil terbengong-bengong dengan pandangan menerawang, kemudian Mas Wendo bertanya, “Oya, ngomong-ngomong ada perlu apa Bapak bersusah-payah menemui saya di sini?”

Ee, anu… soal biografi,” Kiai Muskil terdiam lagi.

“Biografi apa, Pak?” tanya Mas Wendo.

“Soal perjalanan hidup saya… sebagai tokoh agama…”

Oo ya, ya, saya mengerti,” ia terdiam sejenak, dan lanjutnya, “Jadi, Bapak ini mau dituliskan biografi tentang segala prestasi yang dicapai selama ini sebagai tokoh agama, begitu kan, Pak?”

“Ya, kurang lebih begitu.”

“Begini, Pak…”

Akhirnya, Mas Wendo yang sudah berusia sekitar 65 tahun itu, menjelaskan bahwa selama beberapa tahun ia mengalami writer’s block, tidak menghasilkan karya apa-apa kecuali hanya beristirahat di tempat tetirahnya di Kampung Warung Gunung itu. Ia mengaku telah menolak pesanan dari pihak manapun, baik dari redaktur koran, direktur televisi, bahkan dari pihak pemerintah sekalipun. Ia juga mengaku sedang mendalami ilmu tasawuf dalam beberapa tahun terakhir, dan berterima kasih kepada Kiai Muskil yang telah mengantarkan guru sufinya hingga sampai ke perbukitan tempat tetirahnya tersebut.

Selama perjalanan pulang, Kiai Muskil terdiam seribu basa. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun pada Syekh Nawawi, meski di dalam hatinya ia meminta maaf kepada sang guru sufi yang sebenarnya sangat masyhur tersebut.

 

Indah Noviariesta, peraih nominasi sastra Litera pada 2021 lalu, menulis esai sastra di media massa lokal, nasional, dan media daring.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Memoar Singkat yang Seharusnya Tidak Terbit di Malam Hari Raya

Cerpen Imam Budiman

SELENGKAPNYA

Jurus Harimau Melawan Harimau   

Cerpen Depri Ajopan

SELENGKAPNYA

Cahaya Kata-Kata Ramadhan

Puisi-puisi Eddy Pranata

SELENGKAPNYA