
Sastra
Jurus Harimau Melawan Harimau
Cerpen Depri Ajopan
Oleh DEPRI AJOPAN
Hari itu, aku melihat sekumpulan orang-orang di sebuah warung begitu ramai, tak seperti biasanya. Walaupun aku orang baru, aku ikut-ikutan berdiri di belakang mereka yang sebagiannya ada yang duduk. Sepertinya mereka lagi musyawarah, dan aku yang tak diajak karena mungkin orang baru tak tahu apa yang mereka bicarakan.
“Jadi gimana menurutmu Bisman? Apa kita harus berburu seperti dulu, kita ajak rekan-rekan yang lain?” Aku yang berdiri di belakang, tiba-tiba menerobos maju ke depan seolah orang penting, kemudian duduk di dekat mereka yang masih banyak belum mengenalku. Aku yang tak tahu persoalannya menjadi pendengar yang baik. Selama mereka tidak mengusirku, aku pasti duduk mematung di sini.
“Untuk ketenangan warga, sebaiknya kita berburu saja. Bawa senapan keramatmu itu. Kita ajak Nenek Jannah, yang tinggal di kampung sebelah. Orang-orang bilang dia pernah melawan harimau sampai mati dengan ilmu silatnya,” aku kaget bukan karena takut. Apa iya zaman sekarang masih ada harimau di hutan yang tak jauh dari kampung ini. Dari pembicaraan mereka, aku dapat menyimpulkan kampung ini dilanda ketakutan, dan mereka tidak mengajakku berunding karena orang baru. Kehadiranku di sini pun sepertinya mereka anggap tak ada, seolah-olah mereka tak melihatku.
“Nenek Jannah kan sudah lumayan tua, apa tidak ada orang lain?” Aku tak mengenal siapa orang yang barusan bicara itu, dan aku juga tak kenal siapa nenek Jannah itu.
“Tua sih tua, tapi fisiknya masih kuat,” balas salah seorang yang berambut keriting, menggaruk-garuk hidungnya.
“Nanti kalau ada yang mati seperti dulu gimana?” Ada yang menyahut dari belakang. Aku kenal wajah orang tua itu, tapi tidak dengan namanya. Aku sering berpapasan dengan dia di jalan. Mengenai pertanyaannya membuktikan ini bukan yang pertama kalinya si raja hutan mengancam kampung mereka, paling tidak untuk yang kedua kali.
“Ah, kau ini menakut-nakuti saja.”
“Bukan begitu maksudku, sumpah,” balasnya, mengangkat kedua tangan dan merapatkannya.
“Yang aku takutkan cuma satu, gimana kalau harimau itu harimau jadi-jadian. Peliharaan orang kampung sini, bisa habis kita. Kalu kita bermaksud membunuhnya, bisa jadi kita yang duluan mati.” Kali ini Pak Sabri, tetanggaku yang sombong itu yang bertanya. Setiap aku tersenyum meramahtamahinya ketika berjumpa, tak pernah ia balas.
“Apa kau percaya cerita-cerita orang-orang dulu?” tanya salah seorang bermaksud menyanggah.
“Maksud kitakan baik, kita berburu untuk keselamatan warga. Bagaimana nanti kalau dia masuk ke kampung ini, bisa jadi menelan korban, sebelum terjadi harus sama-sama kita antisipasi,” lanjutnya.
“Setuju…..” jawab warga serentak, mengangkat tangan tinggi-tinggi. Aku masih belum berkomentar mendengar mereka bermusyawarah. Untung saja ayah dan ibuku baru keluar dari kampung ini. Katanya pergi ke rumah saudara yang aku sendiri pun tidak kenal. Awalnya aku diajak mereka, aku menolak dengan alasan aku lagi merevisi naskahku habis-habisan. Selama mereka masih di luar, sebebas-bebasnya aku mengikuti jejak orang kampung di sini.
“Anak tidak usah takut ya, sebagai orang baru. Dulu juga pernah ada harimau di hutan ini, bahkan sampai masuk kampung, tapi berhasil kok dibunuh.” Ia yang melihatku seperti orang bingung, menepuk-nepuk pundakku. Bukannya aku takut, malah aku bergairah, mau ikut bekerjasama dengan mereka. Kalau aku diajak berburu, aku mau bangat dan siap meninggalkan revisi naskahku untuk beberapa hari. Tapi apakah boleh sama ibu dan ayahku aku ikut mereka? Ah aku tak peduli, mereka lagi tidak ada di rumah. Lagi pula perjalananku dengan mereka nanti cocok untuk dijadikan bahan tulisan. Lebih terasa menuliskannya, karena dialami oleh penulis sendiri, pikiranku berdenyut-denyut untuk mempertimbangkannya.
“Aku tidak takut Pak, malah aku mau ikut membantu. Apa kira-kira yang bisa dibantu,” setelah mereka saling pandang, ada yang menatapku terheran-heran, tak percaya mendapat jawaban seperti itu.
“Aku mantan wartawan Pak. Baru berhenti sih, dan belum setahun. Jadi masalah seperti ini adalah masalah yang menarik bagiku.” Mereka saling pandang.
“Walaupun bukan aku nanti yang menuliskannya, paling tidak ada kawan yang masih aktif, mudah-mudahan saja bisa di ajak kerjasama.” Ada beberapa di antara mereka yang mengerutkan kening. Aku tak tahu apa bunyi hati mereka.
“Maaf Nak, tolong jangan dijadikan berita ya. Masalah ini jangan sampai tahu media mana pun, cukup kita di kampung ini saja. Ini murni masalah kita di sini. Dulu juga pernah warga di sini ribut dengan wartawan,” tidak seharusnya aku berbohong. Aku ingin menarik ulang kata-kataku yang mencederaiku sendiri. Aku yang penasaran tidak berani lagi bertanya, apa penyebabnya warga ribut dengan orang yang bertugas di media itu.
“Baik Pak, lagiankan sekarang aku tidak wartawan lagi. Aku sudah berubah propesi jadi penulis lepas.” Aku membela diriku yang sudah kalah.
“Penulis lepas itu apa?” kali ini pemilik warung yang bertanya.
“Seperti penulis esai, puisi, cerpen dan novel gitu.”
“Oh….oh…..” ada yang mengangguk-angguk mengerti. Sejak kejadian itulah aku semakin akrab dengan warga kampung yang berkerumun hari itu di warung Pak Madi. Karena itu pula, diam-diam tanpa sepengetahuan ayah dan ibuku, aku bisa ikut dengan mereka masuk hutan. Pengalamanku dengan mereka nantinya kujadikan sebuah cerita dalam bentuk fiksi, bukan berita seperti yang mereka takutkan. Mereka tidak tahu ada saatnya fiksi lebih nyata dari realita.
***
Kami berangkat 7 orang. Mereka sudah membawa peralatan berupa senjata lengkap dan bekal kami di jalan. Aku juga sudah membawa senjataku, sebuah pena hitam, buku kecil dan sebuah kamera, sudah aku masukkan dalam tas ranselku. Waktu memasuki hutan, gerimis turun. Kami berteduh di bawah pohon besar. Beberapa meter dari sebelah kananku, ada air terjun yang deras. Aku memotretnya, kemudian aku memandang ke atas memperhatikan hujan yang berjatuhan.
Lebih kurang setengah jam kami berteduh hujan sudah reda. Kami meneruskan perjalanan sambil mengobrol. Aku memotret lagi tempat-tempat yang menurutku menarik. Tiba-tiba suara auman harimau terdengar oleh kami. Kali ini aku benar-benar ketakutan. Buat jaga-jaga, aku disuruh memegang sebuah tombak yang dikasih nenek itu, dan ia berucap dengan suara sayup.
“Semua tenang, tapi tetap dalam keadaan waspada. Biar aku hadapi sendirian, tapi ingat kalian jangan main tembak sebelum aku suruh!” Semua mengangguk. Dan ia melangkah maju ke depan. Kami menunggu di dekat pohon bambu jadi penonton. Seekor harimau yang siap bertarung melangkah gagah sambil menyeringai memperlihatkan taringnya yang tajam. Kemudian si macan loreng itu melompat dengan gagah bermaksud mencederai nenek itu yang sudah melompat jauh ke kiri menghindari serangan. Baru kali ini aku melihat tontonan yang sangat menarik.
Kami yang ketakutan bersiap siaga, sampai aku tak kepikiran memotret beliau atau memvidiokannya waktu bertarung, disebarkan di media sosial tanpa sepengetahuan mereka. Nenek itu memain-mainkan tangannya menyerupai gerakan seorang penari, sambil melangkah ke kiri dan ke kanan, kemudian berguling-guling layaknya seekor harimau, suaranya menyerupai dengkuran orang yang tertidur. Kemudian tangannya mencakar-cakar tanah. Apakah ini yang dinamakan jurus harimau melawan hari mau? Aku pun tak tahu.
Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat pertarungan yang sengit antara seorang manusia dengan seekor binatang si raja hutan. Sebelumnya aku hanya melihat di sinetron. Nenek itu melompat, dan duduk sejenak di atas punggung harimau. Begitu ia mencabut pisau dari sarungnya yang dari tadi melekat di pinggangnya, dengan gerak cepat ia menusuk leher harimau itu, tapi aksinya gagal. Harimau berontak menggoyang-goyangkan tubuhnya. Nenek itu terhempas ke sebuah batang pohon membuat napasnya sesak. Dengan sigap harimau melompat menginjaknya.
Untung saja nenek itu bisa menghindar dengan gerakan cepat menyerupai kilat, kemudian ia menendang hari mau itu sampai terpelanting ke semak belukar. Aumannya semakin menggema, matanya bertambah merah. Ia yang marah melompat lagi dengan kekuatan penuh, kukunya yang tajam keluar. Tangannya melayang mencakar wajah nenek itu, untung nenek itu bisa cepat mengelak, kalau tidak wajahnya hancur. Nenek itu membidik memukul perut hari mau menggunakan ilmu batinnya dengan tangannya yang berisi lebih 30 pukulan, masih gagal.
Ia mengeluarkan semua jurus andalannya, menyerang bertubi-tubi. Tapi semua serangan itu bisa diatasi harimau yang juga mengeluarkan jurusnya, membuat nenek itu jatuh terpelanting ke semak belukar, ia muntah darah. Hari mau cepat mengambil kesempatan dalam suasana seperti itu. Ia mencabik-cabik wajah nenek itu dengan kuku yang tajam dan berbisa, darah berhamburan. Nenek itu bergerak-gerak lemah menyelamatkan diri, tapi usahanya sia-sia. Napasnya tinggal satu-satu. Harimau menyeret-nyeret tubuhnya. Darah yang berderet-deret menempel di dedaunan. Pak Waluyo yang memegang senjata, akhirnya membidik harimau dengan perasaan bergetar. Aku terbayang, bagaimana kalau kami semua mati mengenaskan dalam hutan ini dan tidak ada yang tahu. Aku yang ketakutan teringat ayah dan ibuku.
Depri Ajopan, lulusan Pesantren Musthafawiyah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Menulis fiksi dan diterbitkan di sejumlah media. Novel terbarunya Pengakuan Seorang Novelis. Ia bergiat di Komunitas Suku Seni Riau dan mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassa’dah, Kepenuhan Barat Mulya, Rokan Hulu, Riau, sebagai guru Bahasa Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.