Memoar Singkat yang Seharusnya Tidak Terbit di Malam Hari Raya | Daan Yahya/Republika

Sastra

Memoar Singkat yang Seharusnya Tidak Terbit di Malam Hari Raya

Cerpen Imam Budiman

Oleh IMAM BUDIMAN

Hari raya, tahun ke tahun, menjadikanmu semakin jauh dari keramaian. Meski suasana di luar rumah nampak lebih bahagia dan bergairah, kau tak pernah merasa menjadi bagian dari hari itu. Anak-anak yang saling bertanding jumlah dengan lembaran uang lima ribu baru di kantong bajunya, kue-kue kering disuguhkan untuk mempercantik ruang tamu—walau akhirnya akan dimakan oleh tuan rumah sendiri nantinya—serta baju seragam dengan beragam motif dan warna yang menunjukkan betapa harmonisnya sebuah keluarga. 

Tetapi, hari raya bagimu, tak ubahnya seperti hari-hari biasa. Tak ada yang istimewa. Kau masih dengan kesunyian yang terawat dalam dirimu selama bertahun-tahun.

Demi menghindari kunjungan yang mendadak, kau menerapkan sedikit muslihat. Kau merapikan sendal dan sepatu di dalam rak, mengunci pintu dari dalam, dan sengaja membiarkan lampu teras menyala sepanjang hari. Kau melakukan pekerjaan dari dalam rumah dengan sesedikit mungkin suara. Tak lain agar orang-orang menyangka, termasuk tetanggamu, bahwa tidak ada penghuni di rumah ini. Mungkin kau sedang pulang kampung, pikir mereka. 

Pernah ada seseorang yang mengetuk pintu rumah dan memanggil namamu. Berkali-kali. Entah siapa, kau tidak begitu familiar. Ketukan itu seolah memaksamu agar keluar dan sekadar berbasa-basi. Kau mendengarnya, tetapi kau tetap bergeming. Membiarkan sosok itu merasa kesal hingga suara langkah kakinya perlahan jauh dan menghilang.

Tak boleh ada yang mengganggu. Kau nyaman dengan kesendirianmu.

 

***

Seharian penuh, pada hari itu, kau memilih untuk menonaktifkan gawai. Kau memang tidak ingin dihubungi oleh siapa pun. Toh, kau sudah belajar memaafkan sejak lama dan memaklumi bahwa kesalahan memang hal yang lumrah. Kau tahu, jika akan ada puluhan pesan masuk dengan ucapan selamat hari raya yang templat dan dibuat hasil mengutip milik orang lain. Kau yang tak ingin membalas ucapan-ucapan berpoles itu, baru akan mengaktifkan kembali gawaimu sehari kemudian dan membalasnya dengan templat yang usang.

Kau lebih betah berada di kamar kerjamu, tempat semua hal, apapun itu, biasa kaulakukan. Nyaris sepanjang waktu. Dan kau seperti seorang dewa yang mengutuk dirnya sendiri agar terjebak di sini. Kau beranggapan, tidak perlu banyak mengeluarkan energi sosialmu untuk topik pembicaraan yang terkadang hanya itu-itu saja. Kau nyaman dengan buku-buku serta isi kepalamu sendiri atau sekadar menghabiskan waktu dengan menonton film-film yang kausuka.

Pernah terpikir, meski selintas, kau pergi ke sebuah tempat yang jauh. Entah di mana, dan kau bisa menikmati kesendirianmu. Mungkin sebuah pulau di bagian paling utara kota ini, dengan pantai serta hamparan laut yang membentang, dan kau menghabiskan waktu di sana seharian. Atau menuju arah berlawanan dari kota ini, mencapai sebuah villa dengan balkon lantai dua yang menghadap langsung ke gunung, di bawahnya mengalir sebuah sungai berair jernih, gemericiknya membiusmu ke dunia lain, dan kau hanya melamun saja sampai waktu sore tiba.

Tetapi berita tentang kemacetan beberapa hari terakhir, yang sungguh tak masuk akal itu, mengurungkan niatmu. Mudik, tak sepenuhnya menyenangkan, ia menjadi kata kerja yang dapat membunuh pelakunya. Bagaimana bisa orang-orang menanggung penat, menentang cuaca terik dan udara dari knalpot kendaraan, menahan buang air, bahkan sekarat di jalanan demi sebuah pertemuan di kampung halaman. Tetapi, begitulah. Untuk alasan yang amat klise, cinta mampu menggerakkan mereka untuk pulang.

Memang, ibumu juga sempat memintamu untuk pulang. Tetapi pulang, bagimu, bukan sebuah pilihan. Tentu kau juga tak ingin ikut-ikutan menjadi tolol menanggung payah di perjalanan. Tak ada tempat pulang terbaik, bagimu yang terlampau filosofis, selain ke dalam diri sendiri. Kau sudah menduga, jika kau pulang, banyak sekali kecangggungan dan pertanyaan yang tidak ingin kaujawab. Pulang juga tidak berdampak lebih dalam hidupmu selain alasan picisan bahwa ayah, ibu, serta saudara yang selama ini merindukanmu. 

Menjadi perantau adalah pilihan yang telah kautentukan sejak belasan tahun lalu. Jauh dari tanah kelahiranmu. Kau paham konsekuensi ini. Setelah dipikir-pikir lagi, pilihan yang belakangan kausadari agak konyol memang. Maka, demi mengatasi keterbatasan jarang dan ruang, upaya sekadar melakukan panggilan video atau berkirim pesan via chatting bagimu sudah cukup. Sangat cukup. Betapa teknologi mendekatkan mereka yang jauh.

 

***

Sejenak, lupakan soal pulang.

Selama menjalani bulan suci dan sakral pada tahun ini, banyak sekali kabar kematian yang datang, silih berganti. Termasuk dari orang-orang terdekatmu. Kau dipaksa untuk menerima kehilangan, lagi dan lagi, dengan perasaan yang belum sepenuhnya sembuh. Awal bulan, seorang karib mendadak wafat sepulang tarawih. Dua hari setelahnya, guru mengajimu meregang nyawa sebab mempertahankan sepeda motornya dari para begal. Dan semalam, kucing kesayanganmu mati di dalam sumur. Betapa sialnya. Besok mungkin saja dirimu. Kau pun mulai memikirkan tentang bagaimana cara terbaik menghadapi kematian yang dapat menyergapmu di mana dan kapan saja.

Lantas, kau justru berpikir dan mempertanyakan hal lain.

Bukankah setiap manusia selama hidupnya, membuat banyak sekali kenangan, pada akhirnya mati lalu akan segera saja dilupakan? Keluarga terdekatmu barangkali masih mengingatmu dalam hitungan minggu atau bulan. Mendoakanmu dalam kenduri rutinan yang mengundang jemaat satu kampung. Suasana haru terus merayapi seisi rumah, menyesuaikan dengan situasi baru, sampai akhirnya pada sebuah penerimaan yang utuh. Kawan karibmu mungkin mengingatmu beberapa hari, menjadikan kabar kematianmu sebagai bahan perbincangan. Sedangkan mereka yang tidak begitu mengenalmu, bahkan tak peduli, selain doa yang yang dibacakan dalam hitungan menit.

Kau tidak sedang menjadi seorang nihilis bukan? Tetapi, memang benar adanya.

Mati dan dilupakan adalah dua hal yang terkesan menakutkan—menggetirkan, cenderung selalu dihindari, namun niscaya. Sebaliknya, kau tidak merasa cemas dengan kematian. Dan dilupakan, memang menyakitkan—tapi bukan masalah besar bagimu. 

Kau masih memimpikan untuk bisa meninggalkan dunia ini di bulan yang baik. Kau menanti-nanti, hari ke hari, sembari menahan lapar dan haus, kapan saat baik itu tiba. Tidak ada yang kaulakukan lagi, tidak ada pula hal yang ingin kaucapai selanjutnya. Kau kerap merasa iri dengan mereka yang meninggalkan dunia dengan tenang di bulan baik ini. Dan ternyata, kau mesti sabar menanti pada jadwal berikutnya. Entah kapan.

 

***

Lantunan takbir bersahutan melalui pengeras suara. Anak-anak meninggikan suaranya bergantian. Sesekali cahaya petasan menghiasi langit. Kau teringat masa kecilmu yang menyenangkan, yang membuat tidurmu tak keruan, serta melihat bagaimana sibuknya ayah dan ibumu menata ruang tamu. Mereka membersihkan bagian terkecil di setiap sudut rumah itu dan menyemprotkan pewangi ruangan.

Kenangan itu barangkali hanya dapa kautemui dalam ingatan. Kau juga sebetulnya tak ingin mencarinya kembali. Sebab kini, peristiwa-peristiwa itu mustahil terulang. Ayah dan ibumu sepakat memilih berpisah. Kau mencari sebuah puisi, dari sebuah folder yang sudah cukup lama tidak pernah kaubuka lagi, puisi yang pernah kautulis untuk melengkapi memoar ini.

Hal yang Kita Lakukan

dalam Satu Kali Duduk

 

Barangkali melipat kain, tenunnya

belum selesai mengisahkan ihwal

taktik permainan masa kecilmu.

 

Kenangan kecil, termaafkan

sebagai cara untuk bertahan.

 

—Kau berupaya 

menjahit perayaan.

 

Atau menangkap sinyal internet

yang tidak pernah terhubung

kepada suara ibumu.

 

Kau berharap semoga tahun-tahun setelah ini menjadi sedikit lebih menyenangkan. Entah dengan cara dan rencana apa. Tak ada yang tahu. Kehidupan, bagaimana pun juga, tetap layak untuk dipertahankan. Selain itu, bukankah kebahagiaan mesti terus diupayakan? Membahagiakan dirimu serta orang-orang yang kaucintai.

 

Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Biografi singkat tentang dirinya termaktub dalam buku: Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017); Ensiklopedia Penulis Sastra Indonesia di Provinsi Banten (Kantor Bahasa Banten, 2020); dan Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930–2020 (Tahura Media, 2020). 

Beberapa karyanya tersebar di berbagai media cetak nasional seperti: Tempo, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Nusa Bali, Majalah Sastra Kandaga, dll. Pemenang terbaik pertama dalam sayembara cerita pendek pada perhelatan Aruh Sastra 2015 dan Sabana Pustaka 2016. Saat ini, mengabdikan diri sebagai Guru Bahasa dan Sastra Indonesia serta Ketua Tim Perpustakaan—Literasi Pesantren Madrasah Darus-Sunnah Jakarta.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Jurus Harimau Melawan Harimau   

Cerpen Depri Ajopan

SELENGKAPNYA

Cahaya Kata-Kata Ramadhan

Puisi-puisi Eddy Pranata

SELENGKAPNYA

Orang yang Mengaku Keturunan Nabi

Cerpen Indah Noviariesta

SELENGKAPNYA