
Sastra
Cahaya Kata-Kata Ramadhan
Puisi-puisi Eddy Pranata
Oleh EDDY PRANATA
1.
di helai ramadan awal; tuhan mengirim angin kencang berkesiur—
merubuhkan pohon, menerbangkan genting atap rumah, dan rasa
cemas ketika hujan deras turun: "subhanallah, miang melayang
tercerabut dari masa lalu jingga; ampun ya Allah, lapar-hausku
untuk-Mu, atas nama keikhlasan...”
2.
sumur dalam diri: gali, gali, hingga dasar paling nyeri: "di dasar
diri; aku mencari-Mu sungguh berlinang air mata, au, beri aku
rahmat-Mu paling sederhana: cinta!" sumur dalam diri; nyeri,
nyeri, hingga ruang paling sunyi: cahaya!
3.
izinkan; aku serupa bayi baru lahir; tidak mengerti apa-apa
diam dan harum segala kasih-Mu, tapi, au, lapar-hausku
tidak seberapa, dalam gelombang laut-Mu: "aku sebutir buih,
menggapai cahaya!" lalu aku bertarung melawan musim;
angin kencang tak henti-henti merobohkan keyakinanku;
tuhan, aku mau tangisan bayi
4.
hanya atas karunia-Mu, ya Allah; lapar+haus untuk-Mu
sesederhana hidupku serupa tatap nanar rindu surga-Mu
: "tuan, selama perjalanan dada berdebar; jauh, jauh ke
dalam ma'rifat-Mu!"
5.
di atas kereta baturraden ekspres; eksekutif-- purwokerto-bandung;
gaduh dalam sunyi, rel yang tertikam kenangan-kenangan, jingga;
pertemuan antara senja dengan malam, sisa kecupan, dan seserpih
harapan di kursi-kursi kosong dalam gerbong: "aku berburu cahaya
ke kotamu, tunggu aku di stasiun menjelang subuh, lalu bawa aku
ke pesisir-- naik ke puncak mercusuar, berteriak tentang kedamaian
hidup; 'hanya cinta, hanya cinta!' yang mempersatukan dua hati dua
jiwa!" au, derit rel kereta api serupa nyanyi rindu nyeri..
6.
atas nama pagi yang gerimis; beri aku kekuatan, keindahan dan
kebahagiaan-- sebentar lagi kutempuh ratusan kilometer menuju
rumah kecil pinggir kali: "bismillah, jalan lurus, jalan menikung
menjadi penuh rahmat-Mu, zikir ini, zikir musafir fakir..."
au, aku milik-Mu!
7.
aku ingin menembus langit ketujuh; bermuka-muka dengan-Mu
bahwa puisi-puisiku, hidup dan matiku hanya untuk-Mu
: "karena aku hanya sebutir debu, ampun aku, atas segala salah-dosa
izinkan aku meniti jalan ke surga, jalan lurus di atas harum cahaya
subhanallah..." tetapi aku tak sampai-sampai ke langit ketujuh
aku masih di sini di atas selembar sajadah dengan tubuh gemetar
dan berlinang air mata, au...
8.
kalau engkau masih melihat matahari pagi, jangan rindukan
sesuatu yang mustahil: "cinta-Nya hanya untuk orang baik.
Orang yang selalu bersyukur ketika disakiti. Ketika dirampas
apa yang dimiliki. Dihina dicaci padahal tidak menggangu
makhluk lain..." au, apakah engkau masih melihat matahari pagi?
merunduklah sehabis-habis merunduk, menyerahlah pada
kedalaman laut dan gemuruh-Nya agar menjadi orang baik
dan selalu bersyukur walau disakiti, dihina, dicaci...
9.
seperti debu di atas bongkahan batu-- tertiup angin; terbang tidak
berdaya, engkau tersungkur di jalan rindu pada kasih-Nya, pada
segala yang bernama cinta dan lapar-hausmu membuat tubuh
bercahaya : "aku debu, aku debu, di atas bongkahan batu, zikir
sepanjang waktu menggapai ma'rifat dan ruang luas surga-Nya. ”
10.
aku ingin menjelma pengembara yang diam-diam menyingkirkan
duri di tengah jalan kecil di sebuah kampung yang diam-diam
membantu kesulitan orang lain seraya menyembunyikan sebelah
tangan dan serta-merta mengulurkan hati kepada kondisi pahit getir
di sekitar: "ini hidup hanya serupa meneguk air di warung kopi
pinggir jalan-- sangat sementara; aku mau sekecil apa pun adalah
hal-hal baik yang menyenangkan orang lain, yang membuat cahaya
surga!" aku ingin menghabiskan waktu untuk zikir; Allah, Allah,
Allah...
11.
kalau engkau mengharapkan sesuatu yang bersifat duniawi,
kejarlah sepuasnya tapi ingat, ada yang lebih menyenangkan
: akhirat, maka bergulinganlah setiap hari di atas sajadah
teteskan air mata, lepas doa sebanyak-banyaknya : "ya Allah,
beri aku duri yang tidak menusuk, pisau yang tidak mengiris,
api yang tidak membakar, gelombang yang tidak menelan,
kecantikan yang tidak memabukkan, harta yang tidak menjadi
kesombongan, dan anak-cucu yang selalu rendah hati dan segala
kebaikan untuk sesama.." au, zikir; ya Allah, ya Rahman...
12.
aku takjub melihat engkau senantiasa menanam pohon kebaikan
di ceruk-ceruk kampung dengan ikhlas dan sungguh tanpa pamrih,
perempuan embun; engkau rela berbagi walau dalam kondisi
sangat sulit: "tidak, tidak, samasekali aku tidak mau memakan
bangkai orang lain, apalagi bangkai saudara sendiri!" jeritmu
dengan mata berkaca-kaca, au, pohon-pohon itu tumbuh, rimbun—
bercabang-cabang cahaya kebaikan, aku takjub pada seluruh
tingkah dan pesona perempuan embun..
13.
aku suka dengan gayamu yang bebas; merebut rezeki
sepanjang hari, namun senantiasa rendah hati: "di atas langit
masih ada langit," bisikmu, lagi: "kita adalah musafir di jalan
panjang yang berliku, bersuluh cahaya kebaikan!" dan siang
engkau berpeluh keringat, malam berserah air mata dan doa
serupa selasar waktu yang kian memanjang, kian memanjang
bersuluh cahaya kebaikan..
14.
udara panas, dahaga dan lapar; keihklasan untuk-Mu, engkau
berjalan di sepanjang selasar waktu: "seberapa lama memintal air mata
jadi jubah kasih? seberapa cinta? au, usia menua, aku tak ingin
tersesat di jalan lurus..." udara panas, seberapa dalam laut kauselam?
laut kasih-Mu menyeret ke palung bening, zikir yang intens; ya Qoyyum...
15.
seperti engkau, aku juga melakukan hal-hal kecil: mencabut rumput
di sekitar rumah, membersihkan got yang tersumbat, melap debu
di perabot, dan menyiram bunga dalam pot ketika sore kemudian
menikmati musik seraya membaca buku lalu apa lagi? tiduran,
menghitung hari; meraih harapan, sajak-sajak lahir dari jiwa yang
tenang dengan terus zikir sepanjang zaman: tangan cahaya menuntun
ke jalan surga...
16.
dari kejauhan ia mendengar suara deru angin-- turun dari bukit
ke lembah, matahari senja meredup dan ia matanya mengerjap;
"ingin kuraih seluruh mimpi tetapi sayap ini patah sebelah
tidak mengapa, aku akan terus terbang dengan dada terus
berdebar dengan kesetiaan langit-laut yang menghampar!"
ia kemas semua duka, ia tabur serbuk edelweis di liang-labirin
kasih-Nya...
17.
seseorang yang pernah kaukenal; yang pernah menyuntingkan
bunga rumput liar di rambutmu di atas bukit pinus-- lalu khusu'
menulis puisi di rumah kayu: "telah kuberikan kuda lengkap
dengan pelananya, au, hati-jiwa menyala menerangi selasar
zaman!" lalu ia naiki kuda menembus dinding kabut melewati
jalan terjal, dengan terus bergumam: "kalau tak bisa
membahagiakan orang lain, jangan menyakiti perasaannya!"
seseorang yang pernah kaukenal tubuhnya bergemerlapan cahaya
di atas kuda-- yang kemudian begitu kencang melaju ke angkasa!
18.
setelah isi gelas sepenuh puisi, di mana sunyi? tafakur: menaiki
tangga menuju langit saksikan api yang menyala, di sebelahnya
taman surga: "aku ingin mabuk hingga Kau peluk aku!" ia terus
bertafakur: laillahailallah...
19.
kita berkaca pada masalalu; seberapa banyak kaumakan yang
bukan hakmu? tunggu sebab-akibat itu, tuhan tidak tidur, segala
kerakusan akan dibalas kesakitan jiwa, segala keangkuhan akan
berujung keresahan hati: "berserahlah-- sebelum maut datang,
sebelum maut menjemput, saudaraku, hidup hanya sementara
rayakan dengan tiada menyakiti orang lain...'' itu saja, ingatlah;
ketika engkau menyakiti orang lain, sesungguhnya, engkau
tengah menyakiti diri sendiri...
20.
aku ditakdirkan menjadi orang yang selalu mengalah; aku tahu
engkau licik dan mau enaknya saja, tidak mengapa; aku selalu
bersama tuhan, mungkin engkau mengatakan aku lemah, bodoh,
dan tidak punya keberanian, tidak mengapa; kita lihat saja: apakah
aku atau engkau yang menderita hidupnya? aku selalu bersama
tuhan: "siapa menabur angin akan menuai badai, siapa
memelihara kebusukan akan tersiksa!" dalam setiap tarikan dan
hembusan napas, aku senantiasa bersandar di bahu-Mu.
21
sesunyi apa pun senyeri apa pun-- jangan lupakan kenangan jingga
: "kupu-kupu bersayap pelangi terbang merendah dari bukit pinus
ke lembah; mendendangkan luka!" pertarungan waktu dan musim
kemarau memanjang, au, kupu-kupu itu luruh menjelma kepompong
lagi tak bisa memahami dan menulis puisi tak bisa merasakan
nikmatnya bercinta tak bisa mengenali wajah dan suara kekasihnya
aaa... telah mati rasa!
22
usai subuh, aku melihat engkau senantiasa bertarung dengan kabut
membelah-belah garis hidup yang berliku, sorot matamu berbinar;
"hanya kepada Allah aku bersandar, sepahit-getir apa pun
cintaku hanya untuk-Mu!" hanya untuk-Mu yang maha menguasai
langit dan bumi usai subuh aku membersamai dengan doa dan zikir;
"kekasih beri aku seribu bulan dan matahari agar cintaku pada-Nya
senantiasa terjaga!"
23.
aku lewati jalan sunyi-- rak-rak pot-pot bunga di sebelah kiri, ruang-ruang
cahaya di sebelah kanan, aku bimbang menentukan arah kiblat, nyaris
terjebak ke dalam selasar serupa labirin: "tuhan, aku tidak mengharap
aneh-aneh dari-Mu, beri aku berkah paling mulia: Puisi!" aku sujud,
aku ingin terus sujud di hadapan Puisi!.
berjalan di sepanjang jembatan fatamorgana; dengan tangis tak
terbendung, jiwa terbelah kerinduan penyair fakir: serupa cinta
tapi bukan, serupa rasa senang tapi bukan, lantas apa? nyanyian
panjang tentang laut dan gelombang, o, laut dan gelombang yang
mengempas tebing-tebing karang dan mercusuar menjerit bimbang
pada tanah daratan, pada seorang penyair fakir: "di akhir ramadan ini,
beri aku sekerat hati-Mu, sekerat saja!" lalu tenggak anggur kata-kata
hingga mabuk, hingga remuk!
24.
andai semua peristiwa getir dan menyakitkan bisa terkuburkan-- tak akan
lagi layar perahu terkembang: "laut dan ombak, karang-karang dan
kepak camar memilih perahu sunyi untuk dijadikan kekasih, di atas langit
ruh menzikirkan kedamaian dan kesejahteraanau, layar terkembang, perahu
terus dilayarkan!" menembus kabut gelora laut-Mu, sepanjang zaman,
sedalam kenangan...
25.
aku suka kejujuran; berkata apa adanya-- daripada berkebun tebu di bibir
dan buruk muka cermin dibelah: "apa bedanya pengkhianatan dan
kesetiaan?" bertahun-tahun doa dilangitkan; kebahagiaan yang abadi
: "beri aku puisi setiap hari, puisi yang lahir dari rahim penyair musafir;
ikhlas tiada jeda!"
27.
orang-orang berbondong-bondong-- jalanan macet, orang-
orang berdesakan di pelabuhan, di stasiun, di terminal, di
bandara, kampung menjelma magnit raksasa; bayangan
masa kecil, orang tua, sanak saudara, dan cabikan sejarah
ini hari-hari akhir ramadan, orang-orang berbondong-
bondong pulang membawa suratan nasib sendiri-sendiri;
nyaris tak ada aduh, hanya dengung rindu: "kampung halaman
adalah lukisan agung hatinurani; tak bisa diukur dengan apa pun
au, hanya manusia bebal yang bisa melupakannya!" orang-orang
berbondong-bondong memanggul cahaya, sebagian lainnya
menyeret serpih derita/ kembali ke kampung halaman selagi
masih ada kesempatan, au, sebelum ajal!
28.
tak ada yang membuat bayang tubuh menjadi puisi; selain
kejujuran dan kesetiaan pada kata-kata, imaji liar, metafora
dan daya hidup sepanjang derit selasar waktu: "membangkit
batang terendam dari lumpur derita, dari segala yang
menderu cahaya jiwa penyair!" dari hulu ke hilir cinta mengalir
pada-Nya, yang maha cahaya!
29.
kaki waktu berderap; kian menjauh-- meninggalkan ranting
rindu mengering, kian rapuh di hadapan-Nya, menarik-
mengulur senja, au, hanya tinggal sehari ramadan
rindu sentuhan kasih sayang-Nya, juga rahmat cahaya
surga-Nya/ zikir, zikir, zikir...: Allah!
30.
air mata tak terbendung; takbir menggema memenuhi
udara malam, di hadapanku, wajah-wajah orang-orang
terkasih-- timbul tenggelam melempar senyum betapa
telah begitu banyak salah-dosa, duri-duri duka; "au, di
hari fitri ini, ampun, luka nganga, mengucurkan cinta!"
telah kuarungi jalan laut ramadan, dengan sepenuh haus-
lapar, aku telah diamuk gelombang, dirajam dendam,
dibakar api rindu, orang-orang terkasih, kemarilah, peluk
aku sehabis-habis laut-langit yang fitri; kita menjelma
bayi, dan melahirkan puisi!
Cirebah, 1445 H/ 2024 M
Eddy Pranata PNP— adalah founder of Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat.. Puisinya juga disiarkan di Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Media Indonesia, Kompas, Tempo, Indopos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Singgalang, Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Asyik.asyik.com., dll. Puisi-puisinya juga terhimpun ke dalam puluhan antologi bersama.
Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook