Firdaus di Langit Gaza | Daan Yahya/Republika

Sastra

Firdaus di Langit Gaza

Puisi-Puisi Kha. Majdi

Oleh KHA. MAJDI

Firdaus di Langit Gaza

 

Dari tanah purba ini

Aku mengerti bahwa air mata bisa menjelma doa;

Tanpa suara

Tanpa dengung toa

Tanpa aba-aba imam

Tanpa ribuan pengaminan 

 

Di titik-titik langit berkabut

Firdaus datang bertamu menjenguk darah

Debu pasir tandus

Lalu, tulang-belulang balita

Sambil mengendus darah kering

Bau misik bidadari

 

Malam menyisakan tragedi

Siang hanyalah cerita ironi

Jari-jemari bercecer di antara kerikil 

Ada bekas tangis yang terselamatkan 

Dari pertempuran ribuan malam

 

Firdaus di langit Gaza;

Duka tangis

Ironi

Menjelma tragedi

 

Lalu, terkabullah doa-doa

Melalui sejuta air mata

Sejak firdaus bertamu 

Di antara reruntuhan derita

Hampir rata

 

Tugu Selong, 19 Januari 2025 

***

 

Sepasang Mata Tua

 

: Untuk Ibu di Kampung Halaman

Oleh kata-kata

Cintamu tak pernah bisa tereja 

Oleh prosa

Rindumu tak bisa terangkai sempurna

 

Oh, senira rinduku

Meski air mata tak lagi berarti apa-apa

Doa selalu kau kait 

Dalam bayang-bayang rasa sakit

 

Tetes air matamu adalah pucuk belati yang terhunus

Menembus tulang kedurhakaan

serta kekalutanku

 

Oh, korban kedukaanku

Kau adalah sepasang mata tua 

Dilahirkan melihat bumi katulistiwa

Lalu, air matamu tumpah 

Membasahi kulit keringmu

 

Sementara aku, 

Hanyalah debu bukit yang senantiasa memperkeruh air matamu

Di kawah pengibaan abadi

 

Aikmel, 2024

***

 

Kosa Kata

 

Kubayangkan dunia;

tanpa kata-kata

Lantas, bagaimana Adam mensabdakan cinta?

Jika kata-kata tak pernah ada

Bagaimana dengan nasib para rasul?

Dengan apa mereka bersabda? 

 

Tanpa kata-kata

Dunia hanyalah sebongkah tanah bisu

Dan manusia adalah musafir tersesat 

 

Setelah kata-kata menghidupi manusia ribuan abad;

Ia lelah

Hurufnya menyeruak bosan 

di antara gugusan suara

Pewahyuan tanpa makna

 

Siapa yang musti dipenggal

Jika kata-kata tak lagi berarti apa-apa?

Darah saja tidak cukup

Menyembuhkan luka kata

 

Yang kita tahu

Jika kata-kata tak pernah ada

Bumi meratap

Memandang tangis para penyair

 

Aikmel, 2025

***

 

Ceritakan Aku Tentang Burung

 

Ceritakan aku tentang burung-burung;

Rahim bumi yang menyimpan kerinduanku

Kau bilang kepadaku

Kalau-kalau malam akan asing

Kau ‘kan tetap mengisahkanku

Tentang burung-burung itu

 

Ceritakan aku tentang burung-burung; 

Atap langit tempat secintaku bersemedi

Mengasingkan diri dari derita 

Dari cerita kelam

Di kamar tidur yang disaksikan

Seribu wajah kitab suci

 

Tapi kau mendusatai ranum ketulusan;

Catatan rindu t'lah purbakala

Ditelan keusangan

Sementara huruf-huruf dalam sajak

T'lah gosong dikudap bara nista

Lalu, terbuang ke palung tua

Hingga tak lagi terbaca 

 

Apatah pula yang kau janjikan lagi

Setelah sayap-sayap burung itu patah

Langit tak lagi biru

Dan aku,

Tak lagi berhak mencintaimu?

 

Pancor, 2024

***

 

Kita Kembali 

 

Kalimat dinukil kembali

Menjelajahi pundak kabut 

Memberi wewangian sepucuk kembang 

Setelah jejaknya hampir raib 

Ditelan api bumi

 

Kalimat itu membawa serta;

Tangis yang ritmenya serupa rintik hujan

Namun, pekiknya melebihi dedas peluru meriam

 

Bulu kuduk berdiri; 

Memuja mengikuti iramanya 

 

Rebana ditebuk;

Jari-jemari mengorbankan sakit

Demi tercipta sebentuk simfoni kerinduan

 

Kita kembali;

Mendengarkan azan,

Shalat lima waktu,

Puasa senin kamis,

Membaca Qur'an.

 

Dengan bantuan puisi

Kita kembali

 

Di Sebuah Altar Masjid, 2024

***

 

Etape Malam

 

Daun malam berbisik 

Perihal masa yang t’lah tertinggal

Sebungkus cahaya bulan

Membingkis percikan kerinduan

 

Embun rerumputan menyisik

Jatuh pelan menyapa keringnya bebatuan

Tarian nyiur; gelengan ketertolakan

Tembok bisu 

Memandang semua halaman

 

Secangkir kopi

Lalu menghangatkan pagi

Bersama buku puisi

Daun tembakau

Lintingan api sunyi 

Asap pentahbisan terakhir kali

 

Aikmel, 2025

***

 

Jika Aku

 

Jika aku seorang penulis

Kan kutuliskan namamu di setiap carik kertas

Meski tlah lusuh

Meski hanya segaris namamu

 

Jika aku seorang pelukis

'Kan kuhabiskan tinta pelangi

'Tuk kulikaskan jelitamu 

di sepanjang dinding tanah Selaparang ini

 

Jika aku seorang penyair

'Kan kujelmakan namamu 

Dengan kata yang tak pernah usai

Dalam suara-suara rindu

 

Jika aku seorang pendaki

'Kan kugapai delima wajahmu

Pada mata senja

Cadas Dewi Rinjani 

 

Tapi, aku bukan penulis

Bukan pula pelukis

Tidak pula seorang penyair 

Apalagi Pendaki gunung 

 

Aku hanyalah segumpal darah;

Lemah terkulai, lalu cemas

Di atas ranjang tidurku

Yang diiznkan Tuhan

Mencintaimu.

 

Selong, 2024

***

 

Kha. Majdi bernama lengkap Khaerul Majdi lahir di Aikmel, Lombok Timur, 9 Agustus 2002. Kuliah di Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Lombok Timur. Aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (HIMMAH NWDI). Selain itu, Ia juga aktif di perpustakaan mini Keluarga Nomaden sebagai ketua pustaka. Tulisannya dimuat dibeberapa media online.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Panggung Pertunjukan

Puisi-puisi Hazuma Najihah

SELENGKAPNYA

Juru Urut

Cerpen Ihan Sunrise

SELENGKAPNYA

Membaca Ulang Relief, Menafsir Zaman

Puisi Fileski Walidha Tanjung 

SELENGKAPNYA