Panggung Pertunjukan | Daan Yahya/Republika

Sastra

Panggung Pertunjukan

Puisi-puisi Hazuma Najihah

Oleh HAZUMA NAJIHAH

Panggung Pertunjukan

 

Kau begitu piawai mementaskan drama

Hingga aku tak mengenalimu,

Bahkan sebelum kau kenakan kembali topengmu,

Tetap saja, teramat asing bagiku.

 

Teater macam apa ini?

Yang menyajikan dialog sarat makna,

Bercabang antara aside,

dialog dan prolog.

 

Segala ucap, 

Pun tindak tanduk yang mengecap,

Tak kunjung tahu, adakah maksud terselubung? 

Dibalik kostum yang kau kenakan.

 

Dan segala aktivitasmu dibalik panggung?

Katamu ini bagian dari atmosfir,

Namun aku, menyebutnya ephemeral.

Entahlah.

 

Berapa menit lagi harus ku habiskan?

Bergumul di tengah tontonan yang belum usai,

Bahkan mungkin tak akan usai.

Sebelum kau menghentikannya.

Iya, hanya kau yang bisa menjeda.

 

Kehidupan Ihwal

 

Malam ini,

Kembali melenturkan jari,

Dengan pena yang terus menari nari, 

di atas kertas putih.

 

Seperti malam malam biasanya.

Ihwal kehidupan, 

Digiring ke dalam bentuk aksara bernyawa.

 

Tak hanya itu,

Secangkir kopi,

Dan segelas air putih,

Turut serta menjaring hening.

 

Apa itu kesepian?

Yang ada hanyalah keheningan semu,

Sebab, bising kerapkali menukar senyum

Dengan segelintir puisi.

 

Menjelajahi raspodi,

Mengulum keindahan diksi,

Atau bisa jadi menjelma elegi.

 

Tunggu dulu,

Aku belum selesai merapal kata,

Sebab, sebelum tiba waktu subuh,

Pikir kan terus berlabuh.

 

Semenitpun

Tak diberi jeda,

Biarkan mengalir adanya.

Tanpa terucap,

Menungging senyap.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Pemangsa Zaman

 

Ada yang lebih tinggi daripada ilmu,

Lebih unggul dari sekedar mempelajari gramatika, dialegtika, aritmatika, dan geometri.

Apa itu?

Kau harus menyelaminya lebih dulu.

Barangkali lautan ilmu itu, menyimpan peringatan di kedalaman.

 

Kau hanya perlu menggali, lebih dalam lagi.

Semakin dalam,

Hingga kau temukan tanya, yang melumatkan pikiran.

 

Apakah makna Pendidikan, hanya sebatas pengaplikasian dari teoritis? 

Dimana peran manusia sebagai makhluk monodualis? 

Segala tanya melingkar, 

Menyulam bibir,

Tuk menjala pikir.

 

Di seberang sana,

Sosok manusia berkata,

"ini penting. Sekarang situasinya sedang genting. Terapkan ini selalu. Setidaknya, untuk meminimalisir pralaya

Biar usai." Ucapnya.

 

Diantara tahun berjalan,

Kian memudar.

Banyak manusia termakan zaman

Bukan, ini bukan lapar

Melainkan salah memangsa makanan.


Padatnya urban,

Heningnya pedesaan,

Tak elokkan akhak yang kian memudar,

Sebab perkembangan zaman.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Kebenaran yang Haqiqi ataukah Mengejar Keuntungan Pribadi?

 

Segerombolan manusia, menuai kontroversi.

Mendebat asumsi,

Tak lagi mempercayai para pakar,

Hanya fokus kepada manusia yang tenar.

 

Sungguhpun, mereka telah merendam akal.

Pikirnya telah mengepal,

Terhipnotis oleh podcast podcast sekilas,

dari yang bukan ahlinya.

 

Dunia telah terbalik,

Ilmu ditukar dengan ketenaran,

Dan kecerdasan sejati,

Telah dianggap hirap.

 

Mau dibawa kemana kah alurnya?

Konten kreator semakin menjalar,

Mengulum ketenaran dibalik persaingan,

Video video bertebaran,

Apa isinya?

Kebenaran yang haqiqi, ataukah mengejar keuntungan pribadi?

 

Sedikit saja lengah,

Maka akan bubrah.

Akal pikiran mudah rekah,

Hanya karena perebutan pundi pundi rupiah,

Yang semakin diraup dengan serakah.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Di Ambang Pintu Masa Lalu

 

Sewindu telah berlalu,

Semenjak kau menghubungi tukang sulap,

Untuk menghipnotis.

 

Barangkali itu, 

Awal dari perjumpaan,

Yang meluluhlantaskan pemikiran skeptis.

 

Berlembar-lembar teori,

Berlemari-lemari diksi,

Telah hangus.

Ini bukan terbakar,

Melainkan ini ulah futurulog,

Yang merebahkan senjatanya,

Serampangan.

 

Aku tak sempat menetralisir,

Apa yang akan terjadi setelah ini?

Setahun lagi?

Bahkan berpuluh puluh tahun lamanya,

Aku tak mengerti.

 

Seperti kupu-kupu yang bermetamorfosis,

Begitulah ini akan bersinyalir,

Terbangun dari igauan,

Belum sempat menjala mimpi,

Tiba-tiba sudah berada di ambang pintu.

 

Pintu doraemon terbuka,

Bila aku memasukinya, aku akan melihat degup masa lalu yang menguar,

Ke segala sisi.

 

Entah,

Aku tak siap membukanya lagi,

Biarkan saja, 

Aku berdiri disini

Di ambang pintu,

Tanpa tahu batas untuk maju.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Dua Pilihan yang Bersinyalir

 

Disini, sepi telah meluluhlantaskan bising yang sempat terjaring.

Keramaian punah,

Penghuni pun telah berlayar ke tepian.

Ikan-ikan melahap air,

Sekedar membasahi mulutnya untuk bersinyalir.

 

Tak ada apapun,

Selain daun yang bergidik,

Memutar mutar pergelangan ke kanan dan ke kiri.

 

Hebat

Sebentar lagi, kau akan sampai ke hilir mudik.

Selangkah lagi, 

Tunggulah angin menyulut energinya,

Kemudian kau,

Akan sampai ke lautan.

 

Lautan pertempuran,

Lautan persanjungan,

Dan lautan pertandingan.

Kau pilih mana?

Haus pujian ataukah kesederhanaan?

 

Percuma saja,

Tak akan kekal bila hinggap di dalam terumbu karang,

Selalu ada yang lebih besar darimu

Ikan hiu?

Pun lebih ganas darimu

Ular berbisa?

Kau pilih mana?

Melaju dengan langkah terhuyung,

Atau tetap menepi,

Terjaga dari arus air yang mengalir.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Momentum Keangkuhan

 

Sebelum tiba masa itu,

Saat takbir dikumandangkan

Manusia sibuk menimang barang

Di ingatnya kembali,

Benda pipih, baju, hijab, sepatu 

Menyusup dalam koper jumbo

 

Hanya koper yang sigap,

Sementara yang lain,

Sibuk beranak pinak,

Menggandakan perhiasan

Memajang anak anak mereka untuk disajikan,

Bukan opor ayam

Bukan pula ketupat

Melainkan gengsi yang dibayar tuntas

Dengan berita berita baru terkini,

Yang tak mau kalah tersaingi.

 

Mereka hidangkan,

Segepuk emas dan permata,

Untuk jadi tontonan

Apa ini?

Mometum seperti ini telah digiring opini.

 

Keangkuhan yang merajalela

Telah menutupi bola mata, 

Tak sadar, bahwa masih banyak sanak saudara

Yang membutuhkan uluran kasih

Ketimbang menebar kisah yang mengimbaskan ketersisihan.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Tak berujung

 

Barangkali kau,

Akan melumat bibirmu dengan lipstik bermerk

Tak lupa bedak pupur turut menyusup di wajahmu,

Pakaian sutra yang telah kau siapkan sebelumnya,

Dari patung patung yang berjajar rapi,

Kau pinjam sebentar,

Mencobanya, lalu urung lagi.

 

Hingga karyawan mall memanggil,

Kau masih sibuk mencoba satu per satu pakaian sutra,

Tak pedulikan badanmu yang telah menggigil,

Karena suhu AC yang terlalu tinggi.

 

Dari luar sana,

Dompet ajaib menari nari,

Meluap pundi pundi rupiah.

Namun naas,

Sebelum dibarter,

Kau kembali urung.

 

"Lebih baik ganti yang lain saja. Sepertinya yang ini kurang menyenangkan". Begitu katamu.

Sudah sekian menit berlalu,

Masih saja terperangkap dalam halusinasi yang tak bertepi.

Berapa lama lagi?

Tanya itu semakin menjulur,

Mengulum lidahmu.

 

Seperti siklus perputaran,

Yang tak berujung.

Tak mengindahkan alur,

Dan berakhir malang.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Buah Pena

 

Sejuta diksi, 

Tak kan sanggup menggantikan pikir yang mengerubung

Itu hanya sepenggal saja,

Jejak yang ditinggal, tak bisa disangkal.

 

Entah sampai batas mana, pikir kan terus melaju? 

Alam bawah sadar masih menyeka rekah

Mencari tempat paling aman untuk berteduh.

 

Membiarkan, isi kepala meluruhkan segala kisah yang tertanggal.

Dari mulai lahir,

Hingga titik terakhir.

 

Saat pena, menjatuhkan tinta.

Saat itu pula, pikir kan terus mengalir

Tanpa henti,

Sebelum sampai pada tempat bernaung yang abadi.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Terjebak Cerita Fiksi

 

Malam itu,

Kau menyalami dengan takzim,

Tangan lembutmu, menembus jari-jemariku yang kusut.

Kau bahkan, tak kalah beringsut.

 

Katamu, kau akan kembali sepekan lagi.

Namun hingga kini,

Angin tak jua memberi kabar kepulanganmu.

Pun debu-debu yang berlalu lalang,

Hanya sibuk menimang rumput ilalang.

Tanpa pedulikan aku, yang terus mencarimu hingga terperosok ke dalam ruang remang-remang.

 

Disini, aku menimbang getir yang kian menyisir daksa

Mengelabuhi darah yang sempat bersinyalir, 

Meluluhlantaskan penantian tanpa kepastian.

 

Percuma,

Ini hanya soal cerita fiksi,

Yang kau buat dengan penuh dramatis.

Namun aku, menyambutnya dengan histeris.

Termakan alur yang merobek imajinasi,

Hingga tiba di akhir, kau tak kunjung kembali.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Pekikan Alam

 

Saban hari,

Pohon memekik keras,

Menjatuhkan setiap daun dalam pangkuan ubun-ubun.

Daun-daun itu, mencari jati dirinya.

Bersamaan pada saat alam menyanyikan lagu mellow,

Kening dengan sigap menerima.

 

Perlahan-lahan membasuh muka,

Dengan embun yang membuyarkan lamun.

Pun daun, kembali mengayun.

Hendak mengajakku terhuyung-huyung dalam pekikan alam.

 

Dalam satu waktu,

Shyam masih enggan berpamitan.

Syahdunya menjelma melodi,

Menggiring ritme yang dibunyikan berulang kali.

 

Satu putaran, dua putaran

Kembali, tersirat kenangan

Dalam memori setahun silam

Mungkin tak kan hirap,

Walau kelak petrikor kan menyapu tuntas,

Akan tetapi, bayangan itu tak kan lepas.

 

Pekalongan, Januari 2025

***

 

Penjara Musim

 

Pagi tadi, kembali menimba air sumur

Yang sempat berubah warna

Pun berubah rasa,

Menjadi asam.

 

Mungkin karena hujan semalam.

Hingga, satu ember penuh,

Sempat luruh.

 

Menuju kali kedua,

Sebelum tiba,

Terhenyak dari tumpukan batu

Akibatnya, tumpah berjelampah.

 

Menelan kemubadziran,

Dari penjara musim,

Yang meniadakan salju,

Hingga menelan saliva yang tertegun,

Dalam tatap rabun.

 

Saat, kelopak mata bergejolak.

Belum sempat memejam,

Seketika tertimbun embun yang berselayar,

Di dalam perahu kecil,

Yang kusebut badan.

 

Barangkali dari air sumur itu,

Menyimpan kemurnian.

Biar meletup ke segala penjuru peraian,

Menuju pendar,

Menyalip pagar-pagar.

 

Dan kini,

hujan turun kembali,

Secara tiba-tiba.

Entah sudah berapa banyak yang diteguk,

Ingin dimuntahkan,

Serupa kotoran,

Serupa sampah,

Yang tak bertuan.

 

Pekalongan, Januari 2025

Hazuma Najihah, lahir di Pekalongan. Alumnus UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan, mengambil konsentrasi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Penulis buku  Perjalanan Srikandi Merakit Mimpi, Kesempatan Kedua, Loka Rasa, dan Malaikat tak Bersayap. Beberapa karyanya seperti artikel, cerpen, puisi, dan opini, sudah termuat di berbagai surat kabar baik media online maupun cetak. Kesibukannya saat ini yakni menjadi tenaga pendidik di SD Negeri dan SD Swasta daerah Pekalongan. Penulis, bisa dihubungi melalui email hazumanajihah87@gmail.com.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Panggil Aku Oganara

Cerpen Arsiya Oganara

SELENGKAPNYA

Membaca Ulang Relief, Menafsir Zaman

Puisi Fileski Walidha Tanjung 

SELENGKAPNYA

Lelaki Perahu  yang Tersesat di Daratan 

Cerpen Rusmin Sopian 

SELENGKAPNYA