
Sastra
Juru Urut
Cerpen Ihan Sunrise
Oleh ILHAN SUNRISE
Ini pertama kalinya aku memanggil tukang urut ke rumah. Biasanya, jika pegal-pegal di badan sudah tak tertahankan lagi, aku coba atasi dengan berolahraga. Atau jika tidak, aku meminta anak-anakku untuk memijak-mijak punggungku. Merasakan kaki-kaki kecil mereka mendarat di punggungku tak hanya memberikan rasa nyaman, tetapi juga membangkitkan nostalgia masa kecilku bersama Bapak.
Aktivitas yang menyenangkan karena biasanya akan berakhir dengan main kuda-kudaan. Bapak menjadi kuda dan aku menjadi joki. Aku bebas memegang telinga, kepala, dan punggung Bapak sambil berteriak-teriak kegirangan. Begitu juga aku dan anak-anakku sekarang.
Tapi ini, meskipun aku sudah berolahraga, sudah berulang kali anak-anak memijak punggungku, dan sudah bercangkir-cangkir ramuan herbal kuminum, badanku tetap belum enakan. Titik-titik di sekitar tulang punggung dan tulang rusukku yang sebelah kanan terasa nyeri. Tanganku sering kesemutan dan pegal sehingga tanpa sadar sering kupijat-pijat sendiri. Istriku menyarankan agar aku pijat saja ke tempat refleksi, tetapi aku enggan.
Seminggu berlalu setelah itu, badanku tetap belum enakan. Malah kurasa nyerinya semakin menjadi-jadi. Saat sedang beraktivitas di lapangan, kadang-kadang aku terpekik sendiri karena rasa nyerinya seperti ditusuk-tusuk jarum. Akhirnya, kuputuskan untuk memanggil tukang kusuk ke rumah.
Beberapa teman merekomendasikan tukang pijat andalan mereka. Ada yang tunanetra. Ada tukang kusuk perempuan. Ada juga tukang urut yang sudah kakek-kakek, tapi aku justru tak tega mengingat badanku yang agak bongsor. Sekonyong-konyong masuk sebuah pesan ke ponselku. Pesan iklan. Biasanya pesan-pesan tak bertuan seperti itu pasti langsung aku hapus untuk mengantisipasi jadi korban penipuan.
Kali ini, entah mengapa, aku justru terdorong oleh rasa penasaran. Pesan itu pun kubuka. Ajaibnya, ternyata itu iklan jasa tukang pijat. Wah, aku merasa seperti gayung bersambut atau pucuk dicinta ulam pun tiba.
Tukang urutnya bikin aku penasaran. Dari fotonya kutebak ia seorang pria yang umurnya mungkin sekitar lima puluh tahun lebih. Ia tidak gemuk, tidak juga kurus. Perawakannya tinggi. Tampak sehat. Aku yakin dengan tenaganya. Namun, yang lebih menarik perhatianku justru penampilannya. Dari foto profil yang terpampang di akun WhatsApp-nya, ia berjas, berdasi, dan berpeci. Bahkan menenteng tas koper jadul yang membuatnya lebih mirip pejabat, alih-alih seorang tukang urut. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi.
Aku meneliti wajahnya. Jangan-jangan itu foto pejabat yang sengaja dicomot untuk menarik perhatian calon pelanggannya. Ternyata bukan. Tak ada satu pun wajah pejabat yang terdeteksi melalui foto itu. Terdorong oleh rasa penasaran, aku pun mengirimkan pesan pada tukang urut yang di akunnya tertera informasi Spesialis Juru Urut, Mr Moorden. Nama yang menggelitik.
“Bisa datang ke rumah?” tanyaku setelah berbasa-basi dan menjelaskan maksudku.
Pesan itu terkirim, tapi hanya centang dua abu-abu. Artinya, pesanku belum dibaca atau memang fitur laporan dibaca sengaja ia off-kan untuk menjaga privasinya. Itu lazim dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sibuk, utamanya pejabat. Aku sudah khatam dengan perilaku orang-orang yang seperti itu. Aku menunggu. Semenit, sepuluh menit, setengah jam, hingga satu jam. Belum ada respons atas pesan yang kukirim. Aku masih bersabar, mungkin Mr. Moorden sedang mengurut pasiennya. Jika dugaanku benar, ya mana mungkin dia bisa membalas pesan saat sedang mengurut. Satu jam kemudian centang duanya jadi biru. Mendadak aku merasa senang.
“Kirimkan alamat rumah Anda. Saya akan datang nanti malam pukul delapan.”
Eh, aku tercengang. Tak ada basa-basi. Ia begitu lugas. Tiga puluh detik kemudian ia mengirimkan sebuah gambar. Ternyata katalog. Aku tertawa. Tukang pijat panggilan saja punya katalog. Ada menu-menu paket yang bisa kupilih. Harga-harganya bikin aku refleks beristighfar. Akhirnya kupilih paket hemat yang harganya paling murah, seperempat juta untuk durasi satu jam.
Lagi-lagi aku ketawa, sambil mengomel, paket hemat apanya? Harga segitu di tempat refleksi sudah untuk durasi tiga jam. Istriku tertawa mendengar omelanku, katanya salahku sendiri, mengapa tak tanya harga dulu. “Sok-sokan langsung minta datang ke rumah,” ledeknya.
Ingin kubatalkan, tapi tentu tak enak. Akhirnya kukirim juga alamat rumahku plus jenis paket yang kupilih. Supaya tak terkesan kere, aku menambahkannya dengan, “Nanti kalau pijatannya enak, saya upgrade ke paket satu.”
Pukul delapan malam Mr Moorden sudah tiba di rumahku. Sangat tepat waktu. Ciri-ciri orang sukses. Aku baru selesai makan malam. Saat menyambutnya di depan pintu tadi, hampir aku tak percaya bahwa dia benar-benar seorang tukang urut. Penampakannya persis seperti yang ada di foto profil WhatsApp: berjas, berdasi, dan berpeci.
Juga menenteng tas koper jadul. Aku gelagapan. Ia lebih cocok menjadi seorang pemilik usaha, bukan tukang urut. Senyumnya terkembang, menambah kesan menawan dan karismatik. Saat itulah aku tersadar dan segera menyuruhnya masuk.
Kupersilakan ia duduk di atas permadani di ruang tamu rumahku. Istriku segera menyuguhi secangkir teh dan menghidangkan setoples biskuit. Tas koper Mr. Moorden rupanya menarik perhatian dua jagoan kecilku. Mereka mendekat. Mr. Moorden agaknya mengetahui apa yang dipikirkan bocah-bocah itu sehingga ia segera membuka tasnya.
“Sini,” ucapnya ramah pada si kecil, “mau lihat isinya?” katanya lagi sambil menyebutkan beberapa benda di dalamnya.
Isinya, aneka jenis minyak aroma terapi dan minyak urut, hand sanitizer, beberapa batu, tisu basah dan tisu kering, dan sejumlah printilan lain. Ada juga permen cokelat yang sekilas mirip permen cokelat dari Turki. Diambilnya beberapa permen itu dan diberikan kepada Raja dan Sultan, dua anakku yang masing-masing berusia tujuh dan empat tahun. Mereka girang dan setelah itu segera masuk ke kamar mengikuti ibunya.
“Terima kasih, Paman,” ucap mereka serempak.
Paman. Mr.Moorden ternyata tampak semuda itu di mata anak-anakku.
“Yang mau diurut Anda?”
Anda? Formal sekali si tukang urut ini. Aku merasa seperti sedang diwawancarai seorang jurnalis kawakan.
“Iya, Pak.”
“Apa keluhan Anda?”
Kukatakan keluhanku sebagaimana yang kurasakan. Rasa nyeri di sekitar punggung, juga jari-jari tangan yang sering terasa kebas dan pegal.
“Apa profesi Anda?”
“Saya seorang tukang ketik.”
Tadinya aku mau mengatakan profesiku yang sebenarnya, tetapi mendadak aku merasa insecure saat berhadapan dengannya. Tiba-tiba aku merasa, menjadi tukang urut sepertinya terasa lebih menjanjikan, lebih terhormat, ketimbang profesiku yang sekarang. Bahkan untuk mengambil paket satu yang harganya tiga ratus lima puluh ribu saja aku masih mikir-mikir.
“Itu mungkin karena tangan Anda sering menggantung saat mengetik sehingga aliran darah tidak lancar. Kalau yang di sini, kemungkinan karena otot-otot yang kaku. Sering-seringlah diregangkan, rutinkan olahraga.”
Saat mengatakan di sini ia sembari jempolnya menekan. Refleks aku menjerit karena sakit sekali. Betul-betul sakit.
“Sekarang berbaringlah. Anda telungkup.”
Aku menurut. Aku mengganjal kepalaku dengan bantal yang agak tipis sesuai arahan Mr. Moorden. Kubuat posisi tidurku senyaman mungkin. Kemudian, Mr Moorden menuangkan minyak urut ke punggungku di beberapa titik. Aku bisa merasakan sensasinya saat benda cair itu menimpa kulitku.
“Ini saya campur dengan minyak lavender. Biar rileks dan supaya tidurnya nanti lebih nyenyak.”
Minyak itu kemudian ia ratakan di seluruh permukaan punggungku. Kemudian jari-jarinya mulai memijat. Mula-mula ia mendorong kedua ibu jarinya mulai dari pinggang hingga ke pangkal leher. Aku merasa punggungku seperti sedang diserut-serut. Di beberapa titik serutannya terasa tidak lancar. Di titik-titik itu Mr Moorden berhenti, lantas memijat dengan salah satu jempolnya dengan gerakan melingkar searah jarum jam. Terasa sakit, tapi enak. Sesekali aku meringis. Di titik-titik itu katanya ototku sangat kaku sehingga perlu dilemaskan.
“Sudah lama Bapak menjadi tukang urut?”
Aku mengajaknya mengobrol supaya tak tertidur. Mr Moorden tak langsung menjawab. Ia berhenti memijat. Padahal bukan pertanyaan sulit.
“Saya bukan tukang urut.”
“Eh....”
“Saya juru urut.”
“Apa bedanya?”
“Apa Anda pernah mendengar istilah juru rawat, juru runding, juru masak, atau juru bicara?”
Aku diam, menunggu ia melanjutkan bicara. Kukira pertanyaan itu tak perlu jawaban, ternyata …
“Pernah?” ulangnya. Persis seperti dosen bertanya pada mahasiswa.
“Eh, iya, pernah. Malah sering.”
“Anda tahu kenapa mereka dibayar lebih mahal ketimbang menjadi tukang rawat, tukang bicara, tukang masak, atau tukang berunding?”
Aduh! Tiba-tiba aku merasa suasana menjadi canggung. Untungnya kami tidak saling berhadapan.
“Tidak.” Jawaban ini terdengar konyol, bahkan oleh kupingku sendiri. Tampak aku seperti orang malas berpikir. Lagi pula, aku memang sedang tak ingin berpikir.
“Karena mereka seorang juru, bukan tukang.”
“Tapi itu hanya perbedaan istilah saja.”
“Justru perbedaan istilah itulah yang membuat nilai keduanya berbeda. Nilai itu yang membuat persepsi orang pada kita jadi berbeda. Kalau saya hanya seorang tukang urut, saya tidak bisa punya pasien seorang kepala dinas, seorang gubernur, bahkan seorang menteri.”
“Bapak pernah mengurut menteri?”
“Saya bahkan pernah mengurut seorang presiden,” katanya penuh percaya diri.
“Presiden yang ke berapa?” aku jadi terpancing untuk kembali bertanya.
“Yang pernah terkena stroke.”
“Lo, mana ada presiden kita yang terkena stroke.”
“Ada. Anda saja yang tidak tahu.”
Aku tertohok, sekaligus bersyukur karena tak mengakui profesi yang sebenarnya. Jika Mr. Moorden tahu, tentu ia akan menertawaiku. Aku mulai menduga-duga, presiden mana yang pernah stroke?
“Omong-omong, mengapa presiden terkena stroke?”
“Mungkin azab dari Tuhan.”
“Azab?”
“Iya, karena banyak ngibulnya. Kalau sudah stroke kan tidak bisa ngibul lagi.”
“Ngibul gimana?”
“Anda kan tukang ketik, semestinya lebih tahu itu.”
“Saya juru ketik, bukan tukang ketik.”
Mr Moorden tertawa terbahak-bahak. Membuat dua jagoanku keluar dari kamar dan melihat sisa-sisa tawanya. Apanya yang lucu, pikirku.
“Tidak boleh bergosip. Seorang juru pijat harus menjaga rahasia pasiennya.”
Mr. Moorden ganti memijat kakiku. Setelah menetesi minyak, ia mulai menyerut betisku dengan jempolnya. Rasanya lebih sakit ketimbang saat ia menyerut punggungku tadi.
“Kalau Bapak pernah mengurut presiden, berarti bayarannya gede dong,” aku masih ingin melanjutkan “gosip” ini.
“Sudah, sudah, berhenti ngomongin presiden. Buruk-buruk begitu kan presiden kita juga. Yang pilih juga kita. Itulah cerminan kita sekarang. Makanya saya bisa beli rumah, punya kendaraan bagus, bisa nguliahin anak. Karena saya seorang juru pijat. Padahal saya cuma bekerja dengan otot.”
Aku terkesima dengan ceritanya sehingga cerita-cerita itu terus berlanjut. Mr. Moorden lihai sekali mengubah-ubah topik pembicaraan. Tak hanya jari-jemarinya yang mahir, lidahnya juga. Dari satu topik ke topik lain sampai Mr. Moorden berceletuk, “Wah, ini sepertinya sudah lebih tiga puluh menit dari paket yang Anda pilih.”
“Oh, ya? Jam berapa sudah?”
“Jam sepuluh kurang lima belas menit,” jawab Mr. Moorden enteng.
“Wah, keasyikan mengobrol kita, sampai lupa waktu. Udahan aja, Pak. Kasian juga Bapak pasti udah capek.”
“Oh, enggak apa-apa. Enggak apa-apa. Ah, ya, saya belum bilang, ya. Kalau overtime begini Anda harus bayar.”
“Berapa?”
“Hitungannya sama dengan nilai paket yang Anda pilih.”
Mendadak tulang punggungku nyeri kembali. Bahkan lebih nyeri dari yang sebelumnya.
Ihan Sunrise mulai menekuni dunia literasi sejak 2006 berawal dengan menjadi bloger. Kecintaannya pada dunia literasi mengantarkannya menjadi jurnalis sejak 2012 hingga sekarang. Ihan juga menekuni dunia fiksi dan telah menulis puluhan cerita pendek dan di antaranya telah dibukukan dalam antologi tunggal Rihon. Prosa-prosa lainnya dapat dibaca di blog pribadinya ihansunrise.com. Adapun karya-karya jurnalistiknya dapat dibaca di perempuanleuser.com. Selain itu, Ihan juga menjadi editor lepas dan menulis naskah film.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.