Panggil Aku Oganara | Daan Yahya/Republika

Sastra

Panggil Aku Oganara

Cerpen Arsiya Oganara

Oleh ARSIYA OGANARA

Shibuya lebih ramai dari biasanya, Jero dengan rambut keriting halus terlihat sibuk melayani para pembeli di akhir musim salju. Jero sedang merapikan susunan baju hangat yang tergantung, tiba-tiba secara tak sengaja dia menabrak Harumi gadis cantik bermata sipit.

Terlihat oleh Harumi telapak tangan warna merah Jero. Langsung saja Jero perjaka dua puluh lima tahun minta ma’af, “Ooohhh…maafkan saya”, saya Jero pramuniaga di toko ini. 

“Apakah ada yang bisa saya bantu”, ujar Jero pria perjaka kulit hitam perawakan tinggi kekar penuh persahabatan.

Ketika mata beradu pandang, ada getaran lain dirasa Harumi dara kulit putih mulus usia dua puluh tahun asli Tokyo. Tak sedikitpun ada rasa tersinggung dengan ditabrak, justru Harumi merasa senang atas kejadian secara mendadak.

Nggak perlu minta maaf”, ucap Harumi bahagia. Saya Harumi, saya ingin baju hangat yang ada di tangan anda, tambahnya. 

Seketika itu juga sepasang muda mudi ini terlihat asyik diskusi terkait keinginan Harumi membeli baju hangat warna putih.

Jam menunjukan waktu makan siang setelah Harumi baru saja menyelesaikan pembayaran di gerai mode Uniqlo.  

Pada kesempatan ini, Jero dan Harumi makan siang bersama di restoran siap saji masakan Jepang Uobei Shibuya Dogenzaka yang menyajikan olahan makanan laut dan siap saji. Mereka berdua memesan menu yang sama “sushi” ternyata menu yang paling disuka Jero setelah dua tahun meninggalkan Maputo, Mozambik. Menu ini juga merupakan makan favorit Harumi anak tunggal pengusaha sukses.

Mereka mulai terlihat akrab walau baru berkenalan. Perbedaan bangsa, adat istiadat, dan warna kulit bukan penghalang bagi sejoli ini. Harumi melanjutkan percakapan setelah jam kerja Jero usai. Mereka tampak di area patung Hachiko Akita-ten si anjing legendaris dengan tetap setia setiap hari menunggu pemiliknya meninggalkan stasiun Shibuya yang tersibuk di jagat ini.

Menyandang pusat hiburan, kawasan komersial, dan hiburan malam. Shibuya merupakan tempat paling ramai dikunjungi penduduk asli serta wisatawan mancanegara, tak mengusik asyiknya sepasang kekasih ini. 

Persimpangan “Shibuya Crossing” jalan tersibuk di dunia dan menjadi ikon, juga gedung pencakar langit Shibuya 109 merupakan ciri khas ditengah modernnya Tokyo. Belakangan, memang banyak imigran muda dari Afrika yang wara-wiri sebagai pekerja informal di Tokyo. 

Bersamaan dengan ini wanita muda Jepang menyukai pria Afrika. Tak sedikit dari mereka membina keluarga bahagia walaupun banyak perbedaan. Termasuk Harumi dara periang dan Jero lajang humoris yang mulai memadu cinta.

Nasib baik tak berpihak pada Jero anak kedua dari enam saudara, lahir dari sepasang orang tua dengan kemampuan ekonomi yang memprihatinkan. 

Ayah Harumi tak merestui hubungan mereka. Ia sangat menentang percintan ini. Dia berharap Harumi bisa meneruskan bisnisnya agar menikah dengan anak pengusaha juga. 

“Harumi, kau sudah ayah jodohkan dengan Kenichi anak rekan bisnis ayah”, tegas Hitoshi

“Mengapa ayah begitu tega dengan Harumi?”, isak tangis Harumi pecah dan langsung memeluk erat Ayumi ibunya.

Ayumi tak mampu berkata-kata, terlihat kesedihan di wajahnya melihat Harumi yang begitu terpukul dengan sikap arogan Hitoshi. Namun, urusan bisnis mengalahkan segalanya.

“Anakku, pernikahanmu akan berlangsung dua tahun lagi sampai Kenichi menyelesaikan kuliahnya di USA”, hibur Ayumi.

Akhirnya, sepasang merpati ini menjalin hubungan sebatas persahabatan istimewa. Seiring berjalannya waktu, mereka berharap bisa mendapat restu dari ayah Harumi si gadis malang.

Kehidupan terus berlanjut, lalu-lalang wisatawan merupakan pemandangan setiap hari tidak terkecuali di Kawamura Tokyo.

Kasatmata Oganara, wanita muda Indonesia menaiki becak “Rickshaw’ kendaraan tradisional Jepang beroda dua yang ditarik manusia.

Seperti biasa sepanjang perjalanan, Akira pria gagah asli Asakusa selalu memberikan penjelasan sejarah rickshaw pada wisatawan selama dalam perjalanan. Begitu juga Akira berbincang akrab bersama Oganara.

Rickshaw merupakan transportasi umum masa dahulu, awal ditemukan sekitar tahun 1869 pada zaman Meiji. Waktu itu, digunakan ketika berpergian ke kota karena bisa lebih cepat dibandingkan dengan jalan kaki, jelas Akira.

Akira melanjutkan, Jinrikisha sebutan moda ini di Jepang. Gabungan dari tiga kata yaitu jin berarti manusia, riki artinya tenaga, dan sha maknanya tenaga. Jadi arti secara keseluruhan adalah kendaraan yang ditarik manusia, papar Akira.

Kemudian, shafu atau shariki merupakan sebutan bagi penarik jinrikisha, dulu hanya untuk laki-laki, namun saat ini ada juga wanita, tambah Akira.

"Apakah hari ini masih digunakan untuk transportasi umum?" Tanya Oganara penuh penasaran.

“Saat ini lebih pelestarian budaya, imbuh Akira. 

Masih menurut Akira, jarak tempuh rickshaw paling lama lima belas menit saja. “Tidak semua tempat ada moda ini, diutamakan tempat wisata seperti Asakusa, Kyoto, Hokkaido, dan Kawamura”, beber pemuda gagah.

Tiada terasa sampai di penghujung jalan. Akira tak lupa mengucapkan terima kasih setelah menerima pembayaran. “Terima kasih”, katanya dengan bahasa Indonesia. 

“Kochira koso, panggil aku Oganara” tutupnya dengan ramah.


Arsiya Oganara adalah nama pena Arsiya Heni Puspita. Ia sarjana Ilmu Komunikasi dengan hobi membaca dan travelling. Juga Professional Tourist Guide dan Professional Tour Leader, Licensed and Certified dari Disparekraf DKI Jakarta dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) lndonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Di Gerbang Abadi

Puisi-puisi Damay Ar-Rahman 

SELENGKAPNYA

Lelaki Perahu  yang Tersesat di Daratan 

Cerpen Rusmin Sopian 

SELENGKAPNYA

Geuchik Marzuki

Cerpen Rinal Sahputra

SELENGKAPNYA