Lelaki Perahu yang Tersesat di Daratan | Daan Yahya/Republika

Sastra

Lelaki Perahu  yang Tersesat di Daratan 

Cerpen Rusmin Sopian 

Oleh RUSMIN SOPIAN

Lelaki itu menatap lautan luas dari atas perahunya. Bersama perahu, dia melahap ombak. Menelan gelombang hingga menantang badai. Tanpa rasa takut. Apalagi gentar. Tidak ada dalam kamus hidupnya sebagai nelayan.

Lelaki itu tetap berdiri gagah diatas perahunya dengan kepala tegak. Sesekali sepoi angin laut menerpa wajahnya. Menyegarkan raganya hingga dia tertidur dalam perahu. 

Kepada lautan yang luas, dia berharap. Kepada deraian ombak yang menari dia bahagia . Dan kepada gelombang yang ber-TikTok ria, dia menggantungkan hidupnya.

" Lautan kita luas. Kita bisa hidup dari mereka. Mereka bisa menghidupi kita. Jagalah laut kita. Dan hidupi juga mereka. Jangan cemari kehidupan laut," pesan ayahnya yang masih diingatnya.

Ayahnya seorang pelaut ulung. Samudera telah ditaklukkannya. Ganasnya ombak lautan telah dirasakannya. 

Ayahnya tidak pernah gentar sama sekali dengan ganasnya badai yang datang.

" Lautan sahabat kita. Tempat kita mencari kehidupan. Jangan lupa untuk menjaga lautan kita. Karena dari lautan, kita hidup dan dihidupinya,"  ayahnya kembali berpesan.

Lelaki itu hidup di atas perahu. Bersama perahu, dia menantang ganasnya kehidupan. Bersama perahu, dia berlayar. Menyusuri ombak. Melintasi gelombang. Mengakali badai yang datang secara tiba-tiba.

" Aku anak pelaut. Aku tak takut dengan ombak. Tak gentar dengan gelombang," ujarnya diatas perahu. 

" Lagi pula nenek moyangku pelaut. Jiwa raga ku berbalut lautan yang luas. Dan lautan memberi ku kehidupan, " lanjutnya dengan bergumam. 

Seekor ikan menatap wajahnya. Seolah ikut larut dalam gumamnya.

Dulu, saat pulang ke pantai , saat rembulan mulai menuruni langit, usai menaklukan samudera, lelaki perahu itu amat bahagia. 

Puluhan kilo ikan segar berhasil ditaklukkannya. Untuk dijual kepada para pedagang ikan yang telah menanti di pinggir pantai. Dan ratusan ribu bisa dibawanya pulang untuk anak dan istrinya.

Dan lelaki itu, masih ingat dengan senyum manis  dari bibir istrinya yang menanti dirinya di bibir pantai. Menunggu kehadirannya di pantai. Lambaian tangan istrinya menyapa kedatangannya. 

Kini? 

Entah kemana ikan-ikan itu berenang. Entah kemana mereka bersenda gurau. Lelaki perahu itu jarang mendapati mereka. Seolah-olah ikan-ikan itu tak mau bersahabat dengannya. Enggan berteman dengan dirinya.

Terkadang dalam kesunyian malam, ditengah hantaman ombak yang menghampiri perahunya, dia bergumam.

" Apa salah kami? Apa dosa kami?," gumamnya lirih sembari membaca doa-doa.

Keluhan serupa didengarnya dari kawan-kawannya sesama nelayan.

" Apakah lautan luas ini tidak berpenghuni lagi?," tanya seorang temannya.

" Sangat mustahil di lautan luas ini, ikan tidak ada," jawab temannya yang lain.

" Aku juga heran," sambung kawannya yang lain dengan nada mengeluh.

Terkadang, saat pulang melaut, dirinya heran dengan banyaknya patok-patok bambu yang berada di alur menuju pantai. 

Setiap dia pulang melaut, patok-patok itu bertambah panjang. Hal senada dirasakan pula kawan-kawan nelayan lainnya.

" Buat apa patok-patok itu?," tanya seorang nelayan saat mereka berada di pinggir pantai.

" Tidak tahu," ujar lelaki itu.

" Tadi saat mau ke sini, saya hampir nyasar ke pantai sebelah," keluh seorang nelayan lainnya.

Saat melaut bersama perahunya, dia hanya mendapati ramainya lampu-lampu di lautan pada malam hari. Terang benderang. Mirip sebuah Kota. Geliat kehidupan terlihat disana. 

Kesibukan terlihat disana. Suara mobil didengarnya dari kejauhan malam. Keriuhan terdengar jelas menghantam gendang telinganya. 

Lelaki perahu itu tak berani mendekat. Lampu sorot besar terkadang tertuju kepada perahunya. Sebuah sinyal untuknya. Dan lelaki itu sudah mengerti tanda-tanda itu.

Bersama perahunya, dia segera menjauh. Mencari tempat yang lain. Tempat yang aman untuk mencari ikan.

Lelaki perahu itu teringat dengan frasa tenggelamkan yang pernah didengarnya di televisi hitam putih di rumahnya. 

Dia pernah mendengar narasi itu. Dan lelaki itu pernah membaca kata itu di sebuah koran bekas bungkusan terasi yang dibuang istrinya di tong sampah.

" Apakah mereka ingin menenggelamkan lautan luas ini?," desisnya. 

Deraian manja angin laut melelapkannya dalam buaian mimpi. lelaki itu bermimpi. lelaki itu terbangun dari nikmatnya mimpi, ketika sebuah narasi garang muncul di gendang telinga.

" Bangun. Angkat perahumu. Ini daratan. Bukan lautan," Suara garang terdengar kencang menembus gendang  kupingnya. Membangunkan dirinya dari mimpi.

Dan betapa kagetnya lelaki itu, ketika tersadar , mendapati dia dan perahunya sudah berada di atas daratan. 

" Bukankah tadi malam aku di tengah lautan?," desisnya.

" Kemana ombak dan gelombang lautan itu?," tanya dalam hati.

Lelaki itu masih termangu dalam perahunya. 

Ditatapnya langit. Ditatapnya matahari. sementara suara-suara knalpot kendaraan terdengar dengan sangat bising. Menghantam gendang telinganya. lelaki perahu itu tersesat dalam lautan luas yang tak bertepi. 

Dan lelaki itu masih mematung dalam perahunya. Menunggu rembulan datang untuk pulang ke bibir pantai.

 

Toboali, akhir Januari 2025

Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca ( GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Rusmin Sopian dikenal pula sebagai pegiat literasi Toboali Bangka Selatan dan penulis beberapa buku. Cerpennya termuat di berbagai media lokal dan luar Bangka Belitung. Saat ini tinggal di Kampung Aik Aceng Kota Toboali bersama Istri dan dua putrinya yang cantik.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Auman Kegetiran Manusia

Puisi-Puisi Selendang Sulaiman

SELENGKAPNYA

Geuchik Marzuki

Cerpen Rinal Sahputra

SELENGKAPNYA

Labirin di Kursi Kemudi

Cerpen Yepi Anita Asrulludin

SELENGKAPNYA