Manusia Enam Setengah Tahun | Daan Yahya/Republika

Sastra

Aku Manusia Enam Setengah Tahun 

Cerpen Rusmin Sopian 

Oleh RUSMIN SOPIAN

Aku tertawa terbahak-bahak saat palu  dari orang yang mulia di persidangan terdengar tiga kali. Menutup persidangan.

Tawaku meriuhkan ruang persidangan. Tawa kegembiraan ku menghentak semesta. 

Seketika, orang-orang yang hadir menatap ku dengan rasa geram. 

Bahkan kebencian menghiasi wajah mereka.

Aku terus tertawa tanpa henti. Tawa penuh kebahagiaan. Dan tanpa terasa sesuatu mengalir dari rongga celana ku. Menggenangi ruangan. Membasahi ubin ruang persidangan. Membasahi sepatu mereka yang berada dalam ruangan persidangan itu."Dasar

orang gila," ucap seorang hadirin.

"Memang orang tidak berperikemanusiaan," sambung yang lain.

"Mestinya hukuman mati pantas diberikan kepada dia," umpat seorang pengunjung lainnya dengan wajah penuh kebencian.

Kembali, para pengunjung persidangan memandangku dengan wajah sinis. Wajah mereka sangat marah. Benci tergambar jelas dalam wajah mereka.

Aku segera diamankan petugas keamanan dengan cepat. Mereka melindungi ku dari wajah-wajah kebencian. Mengamankan ku  dari orang-orang yang berwajah menebar kesedihan hidup.

Dalam sekejap, aku sudah berada dalam mobil tahanan. Dan sopir mobil tahanan langsung tancap gas. Meninggalkan kantor persidangan yang masih riuh dengan ocehan para warga. Umpatan mereka kepada ku berhamburan ke udara bebas. Menghiasi langit. 

Hari ini, disaat cahaya matahari di atas kepala, aku divonis 6,5 tahun untuk perbuatan korupsi yang dituduhkan kepada ku. Hanya enam setengah tahun.

Vonis yang diberikan kepada ku menimbulkan rasa ketidak perikemanusiaan. Demikian suara yang berkibar di semesta.

"Pasti ada yang tidak beres dengan vonis itu," ujar seorang tokoh masyarakat.

"Vonis yang mengandung unsur ketidakadilan," teriak seorang aktivis antikorupsi.

"Keadilan sudah runtuh di negeri ini," ucap seorang aktivis lainnya.

Aku mereka tuduh melakukan perusakan alam semesta. Menganiaya lingkungan. Para pakar menghitungnya kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan ku mencapai 300 Triliun. Wow!

Aku adalah seorang dermawan. Tak ada orang yang ada di semesta ini yang tidak menerima kucuran dana dari kantong ku. 

Aku dijuluki Sultan oleh publik. Di dewakan sebagai orang paling dermawan di alam semesta ini.

Saat ada virus, ratusan milliar ku gelontorkan untuk membantu penanggulangan penyakit menular itu.

Demikian pula saat, ada warga yang butuh pertolongan, ratusan juta ku keluarkan dari rekening ku yang jumlahnya bejibun itu.

Tak heran kadang, istri ku bengong melihat kelakuanku. Begitu gampang mengeluarkan uang. Uang seolah-olah menjadi barang murah meriah bagi ku.

"Sudah. Tidak usah dipikirin. Yang penting kita aman," jawab ku menenangkan istri ku.

"Kita harus berlakon baik. Dermawan kepada warga biar publik menganggap kita orang baik," lanjut ku untuk menenangkan istri ku..

Istri ku masih belum menerima jawaban ku.

"Kalau hukum tahu, bagaimana," tanyanya.

"Sudah. Itu urusan ku. Semua urusan akan mudah kalau beginian lancar," sahut ku sambil menggesekkan jari telunjuk ku dengan jempol.

Aku tidak pernah menyangka. Penangkapan para pengusaha biji hitam di sebuah Pulau yang jauh dari Ibukota, menyeret ku ke dalam kehidupan baru yang amat menyesatkan jiwa ku. Mengguncang kehidupan ku dan keluarga.

Para pengusaha biji hitam di sebuah Pulau itu ku lindungi dengan segala atribusi yang ku miliki dalam lingkaran kekuasaan.

Kini, para pengusaha itu menyeret ku dalam kubangan lumpur berbau. 

Aku sama sekali tidak pernah menyangka. Sama sekali tidak pernah menyangka. 

Kekuatan ku roboh. Tenaga hebat di sekitarku tumbang. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan. Bahkan terpikir pun tak pernah terlintas dalam otak cerdas ku.

" Masa dengan kekuatan yang hebat itu bisa tumbang?," tanya ku lewat handphone berharga satu rumah warga di Pulau.

" Demikianlah Pak Bos. Arus mulai berubah. Gelombang perubahan telah terjadi. Iklim berubah," jelas seseorang dari jauh lewat handphone yang ku hadiahkan.

Kini semua orang memandang ku dengan sinis. Bahkan wajah mereka berhiaskan kemarahan yang amat luar biasa. Seolah-olah ingin mencincangku beramai-ramai. Bahkan ingin menyeret ku dari ujung Pulau ke ujung Pulau.

Istri ku ikut dalam pusaran kasusku. Demikian pula dengan keluarga besar ku. Mereka mulai dijauhi warga. Bahkan dimusuhi publik.

Tiap hari wajahku muncul di media massa. Hujatan mereka arah kan kepada ku. Cemoohan mereka lemparkan kepada diriku.

Seluruh semesta membenciku. Hanya orang-orang yang hidup di ketiakku yang masih memujaku . Bahkan membelaku.

"Tenang. Kami akan membela Bapak hingga tetesan darah terakhir," ucap mereka.

"Kita akan buktikan bahwa Bapak tidak bersalah," ujar mereka.

"Tidak bersalah?," tanyaku setengah keheranan.

"Iya. Itu tugas kami," sahut mereka.

"Serahkan kepada kami," sambung mereka.

Aku terdiam. Menatap mereka. Wajah-wajah yang bermuka duit. Diwajah mereka ku lihat duit. Ya, duit menghiasi mereka. 

Kepala mereka berambut duit. Wajah mereka dari duit. Hidung mereka bergambar duit. Mulut mereka berlidah duit. Semuanya ku lihat duit. Dari rambut hingga kaki mereka. Semuanya terbuat dari duit.

Dari dalam mobil tahanan yang akan membawa ku ke rumah tahanan, ku lihat orang-orang dijalan memetik air mata mereka yang jatuh di aspal. Dilindas mobil-mobil mewah yang berseliweran. 

Mobil-mobil mewah yang terbuat dari tulang belulang warga terus menerus menginjak air mata warga yang bercucuran di jalanan.

Tiba-tiba, di kejauhan, mata ku melihat istriku memetik air matanya yang berlinang di jalanan.

Keluarga ku pun ikut memetik air mata mereka yang berlinang di jalanan. Mereka membungkuk di jalanan. Mengais air mata mereka yang berlinang di jalanan yang busuk. 

Air mataku mengalir. Air mata kesedihan. Air mata penyesalan.

Di sebuah Pulau, orang-orang memetik air mata mereka yang tumpah di selokan. Air mata yang menjadi korban dari keganasan ku mengekploitasi hidup mereka.

Mengeksploitasi sumber alam mereka. Mengeksploitasi kehidupan yang mestinya membahagiakan mereka. 

Aku adalah manusia enam setengah tahun.

Ya, manusia enam setengah tahun yang menyusahkan orang untuk ratusan tahun mendatang.

 

Toboali, akhir Desember 2024

Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca ( GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Rusmin Sopian dikenal pula sebagai pegiat literasi Toboali Bangka Selatan dan penulis beberapa buku. Cerpennya termuat di berbagai media lokal dan luar Bangka Belitung. Saat ini tinggal di Kampung Aik Aceng Kota Toboali bersama Istri dan dua putrinya yang cantik

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Bukit Merese

Puisi M Allan Hanafi

SELENGKAPNYA

Karto dan Tanah Leluhur

Cerpen Darju Prasetya

SELENGKAPNYA

Kotak Pandora

Oleh Darju Prasetja

SELENGKAPNYA