Kotak Pandora | Daan Yahya/Republika

Sastra

Kotak Pandora

Oleh Darju Prasetja

Oleh DARJU PRASETYA

Di sebuah ruangan remang-remang, Sato duduk termenung. Jemarinya menari di atas keyboard, membuka satu per satu file video yang tersimpan rapi dalam hard disk eksternal. Layar komputer memantulkan cahaya biru ke wajahnya yang lelah namun penuh tekad.

"Inilah kotak Pandora kita," gumamnya pelan.

Turgo, sang ajudan setia, berdiri di belakangnya. Matanya terbelalak menyaksikan deretan nama-nama yang muncul di layar. Nama-nama yang selama ini diagung-agungkan rakyat, kini terpapar dalam balutan noda hitam korupsi.

"Apakah kita siap membuka kotak ini, Pak?" tanya Turgo ragu.

Sato tersenyum getir. "Kita tak punya pilihan lain. Negeri ini butuh goncangan."

Ia memutar kursinya, menghadap Turgo. "Kau tahu, Tur? Selama bertahun-tahun aku mengumpulkan bukti-bukti ini. Setiap malam, setiap detik luang yang kumiliki, kuhabiskan untuk menguak kebenaran. Dan sekarang, saat semua bukti telah terkumpul, aku merasa... takut."

Turgo mengerutkan dahi. "Takut, Pak? Bukankah ini yang selama ini kita perjuangkan?"

Sato mengangguk pelan. "Ya, tapi kau harus tahu, Tur. Membuka kotak Pandora ini bukan hanya akan mengguncang negeri ini. Ini akan menghancurkan kehidupan banyak orang. Keluarga mereka, anak-anak mereka... Apakah kita siap menanggung beban itu?"

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara deru pendingin ruangan yang terdengar. 

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara deru pendingin ruangan yang terdengar.
   

"Tapi jika tidak kita yang melakukannya, siapa lagi, Pak?" Turgo akhirnya bersuara. "Bukankah lebih baik mengorbankan beberapa untuk menyelamatkan banyak?"

Sato tersenyum. Ia bangkit dari kursinya, menepuk pundak Turgo. "Kau benar, nak. Kita harus melakukannya. Demi negeri ini, demi masa depan anak cucu kita."

Sementara itu, di gedung KPK, Yanto mondar-mandir gelisah. Ia tahu, penetapan Sato sebagai tersangka hanyalah permulaan dari badai yang akan melanda. 

"Kita telah membuka sarang lebah," ujarnya pada rekan-rekannya. "Bersiaplah untuk sengatannya."

Rina, salah satu penyidik senior KPK, menatapnya dengan cemas. "Apa yang harus kita lakukan, Pak? Jika benar Sato memiliki bukti-bukti itu..."

Yanto menghela nafas panjang. "Kita harus siap menghadapi badai, Rina. Ini akan menjadi kasus terbesar dalam sejarah KPK. Kita harus pastikan semuanya berjalan sesuai prosedur. Tidak boleh ada celah sedikit pun."

Di sudut ruangan, Agus, penyidik muda yang baru bergabung dengan KPK enam bulan lalu, mendengarkan dengan seksama. Ia merasa campur aduk antara semangat dan kecemasan. Inilah saat yang selama ini ia tunggu-tunggu, kesempatan untuk benar-benar membersihkan negeri ini dari korupsi. Namun di sisi lain, ia sadar bahwa ini akan menjadi pertaruhan besar.

Keesokan harinya, gemuruh petir menyambar langit Jakarta. Hujan deras mengguyur kota, seolah alam turut berduka atas apa yang akan terjadi. Di tengah derasnya hujan, Sato melangkah mantap menuju kantor KPK, membawa hard disk yang kini terasa berat di tangannya.

"Saya siap membongkar semuanya," ujarnya pada awak media yang mengerubunginya.

Namun, takdir berkata lain. Tepat saat Sato hendak memasuki gedung KPK, sebuah mobil hitam melaju kencang ke arahnya. Decit ban membelah udara, diikuti suara benturan keras.

Sato terpental. Hard disk di tangannya terlempar, hancur berkeping-keping di aspal yang basah. 

Turgo berlari panik menghampiri tubuh Sato yang tergeletak. Darah merah pekat mengalir, bercampur dengan air hujan yang terus turun.

"Bertahanlah, Pak!" teriak Turgo, air mata mengalir di pipinya.

Sato tersenyum lemah. "Kotak... Pandora... sudah... terbuka..." bisiknya terbata-bata sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Berita kematian Sato menyebar secepat kilat. Spekulasi bermunculan. Apakah ini kecelakaan biasa atau pembunuhan terencana?

Di rumah sakit, Turgo duduk terpaku di samping jenazah Sato. Pikirannya berkecamuk. Ia tahu, tugasnya belum selesai. Ia harus melanjutkan perjuangan Sato.

Sementara itu, di sebuah ruangan rahasia, sekelompok orang duduk mengelilingi meja bundar. Wajah mereka tegang, namun ada kilat kelegaan di mata mereka.

"Kotak Pandora telah hancur," ujar salah seorang dari mereka. "Tapi kita harus tetap waspada. Ini belum berakhir."

Pria tua di ujung meja, yang dikenal sebagai "Sang Godfather", mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Kita harus memastikan tidak ada salinan data yang tersisa. Bersihkan semuanya."

Seorang wanita muda angkat bicara, "Bagaimana dengan Turgo? Dia terlalu dekat dengan Sato. Mungkin dia tahu sesuatu."

Sang Godfather mengangguk pelan. "Awasi dia. Jika perlu, singkirkan."

Di luar, hujan masih turun deras. Petir menggelegar, seolah menjadi ratapan alam atas kematian seorang pejuang kebenaran. Namun di balik awan gelap, secercah cahaya matahari mulai mengintip. Mungkin inilah awal dari fajar baru bagi negeri ini. Atau mungkin, hanya awal dari badai yang lebih besar.

Tiga hari berlalu sejak kematian Sato. Turgo, dengan mata sembab dan wajah kusut, berdiri di depan makam bosnya. Ia mengepalkan tangan, tekadnya bulat untuk melanjutkan perjuangan Sato.

"Saya berjanji, Pak. Saya akan membongkar semuanya," bisiknya pada angin. 

Tanpa ia sadari, sepasang mata mengawasinya dari kejauhan.
   

Tanpa ia sadari, sepasang mata mengawasinya dari kejauhan. Seorang pria berjas hitam mengangkat ponselnya. "Target terlihat. Apa yang harus saya lakukan?"

Suara di seberang menjawab dingin, "Ikuti dia. Jangan bertindak tanpa perintah."

Sementara itu, di kantor KPK, Yanto mengadakan rapat darurat. "Kita harus bergerak cepat," ujarnya pada tim. "Kematian Sato bukan kecelakaan biasa. Ada yang ingin menghentikan investigasi ini."

Rina, sang penyidik senior, mengangguk setuju. "Saya sudah memeriksa rekaman CCTV di sekitar lokasi kejadian. Ada beberapa hal yang mencurigakan."

Agus, si penyidik muda, mengangkat tangan. "Pak, saya punya informasi dari sumber terpercaya. Ada kemungkinan data yang dimiliki Sato masih ada salinannya."

Yanto menatap Agus tajam. "Kau yakin dengan informasi ini?"

Agus mengangguk mantap. "Saya berani mempertaruhkan karir saya untuk ini, Pak."

Yanto menghela nafas panjang. "Baiklah. Rina, kau teruskan penyelidikan tentang kecelakaan Sato. Agus, kau cari tahu lebih lanjut tentang salinan data itu. Sisanya, kita harus bersiap menghadapi tekanan dari berbagai pihak. Ini akan menjadi pertarungan yang panjang dan melelahkan."

Di sisi lain kota, Turgo memasuki sebuah kafe kecil di sudut jalan. Ia duduk di pojok ruangan, menunggu dengan gelisah. Tak lama, seorang pria paruh baya bergabung dengannya.

"Kau yakin tempat ini aman?" tanya pria itu.

Turgo mengangguk. "Saya sudah memeriksanya, Pak Budi. Tidak ada yang mengikuti saya."

Budi, mantan wartawan investigasi yang kini menjadi informan Sato, mengeluarkan sebuah flashdisk dari sakunya. "Ini salinan data yang Sato minta saya simpan. Dia bilang ini asuransi jiwanya."

Tangan Turgo gemetar saat menerima flashdisk itu. "Terima kasih, Pak. Saya akan melanjutkan perjuangan Pak Sato."

Budi menatap Turgo lekat-lekat. "Hati-hati, nak. Kau sedang berhadapan dengan monster yang sangat besar dan berbahaya. Jangan sampai kau bernasib sama seperti Sato."

Turgo mengangguk. Ia tahu risiko yang dihadapinya, tapi tekadnya sudah bulat. Ia akan membongkar semua kebusukan ini, apapun risikonya.

Sementara itu, di markas "Sang Godfather", suasana tegang menyelimuti ruangan. Laporan tentang pertemuan Turgo dan Budi baru saja tiba.

"Sial!" umpat salah seorang dari mereka. "Ternyata masih ada salinan datanya."

Sang Godfather tetap tenang. Ia menghisap cerutunya dalam-dalam sebelum berkata, "Tenang. Kita masih punya kartu as. Saatnya menggunakan 'dia'."

Semua orang di ruangan itu terdiam. Mereka tahu siapa yang dimaksud Sang Godfather. 'Dia' adalah senjata pamungkas mereka, orang dalam di KPK yang selama ini menjadi mata dan telinga mereka.

Di apartemennya yang mewah, 'dia' sedang menikmati segelas wine sambil memandang pemandangan kota Jakarta dari jendela besar. Ponselnya berdering.

"Ya, saya mengerti," ujarnya singkat sebelum menutup telepon.

Ia meneguk habis winenya, lalu berjalan menuju lemari besi di sudut ruangan. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah pistol dengan peredam suara.

"Maafkan aku, Turgo," gumamnya pelan. "Tapi kau terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup."

Malam itu, Jakarta diselimuti kabut tipis. Di sudut-sudut gelap kota, roda-roda konspirasi terus berputar. Sementara sebagian besar warga tertidur lelap, tak menyadari bahwa nasib negeri ini sedang dipertaruhkan.

Turgo, dengan flashdisk di tangannya, melangkah mantap menuju kantor KPK. Ia tak menyadari bahaya yang mengintainya. Di kejauhan, sesosok bayangan mengikutinya dalam diam.

Pertarungan antara kebenaran dan kebusukan baru saja dimulai. Dan hanya waktu yang akan menentukan, apakah kotak Pandora ini akan membawa kehancuran atau justru menjadi awal dari kebangkitan sebuah bangsa.

Darju Prasetya, Pengarang adalah pengajar di Jatirogo-Tuban. Telah menerbitkan beberapa buku antologi cerpen. Buku Antologi cerpen terbarunya berjudul “Dunia dalam Warna-Warni”. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ada Masa Ketika

Puisi-puisi Abdullah Muzi Marpaung

SELENGKAPNYA

Dukun Muda di Kampung Penyalai

Cerpen Joni Hendri

SELENGKAPNYA

Pusaka dari Prambanan

Cerpen Moehammad Abdoe

SELENGKAPNYA