Karto dan Tanah Leluhur | Daan Yahya/Republika

Sastra

Karto dan Tanah Leluhur

Cerpen Darju Prasetya

Oleh DARJU PRASETYA

Karto menatap hamparan sawah yang mengering di depannya. Tanah retak-retak, padi yang seharusnya menghijau justru menguning layu. Sudah tiga tahun berturut-turut ia gagal panen. Hutangnya menumpuk pada para rentenir, sementara tabungan untuk hari tua tinggal tersisa sedikit. Kawan-kawan sesama petani di desanya satu per satu memilih untuk merantau ke kota, mencari pekerjaan lain selain bertani. Namun, Karto masih bertahan. Sawah ini adalah tanah leluhurnya, tanah yang telah memberi makan keluarganya selama puluhan tahun.

"Aku tidak bisa menjualnya, Bram," kata Karto pada putranya, Brama, yang baru pulang dari kota. "Tanah ini lebih berharga daripada nyawaku sendiri."

Brama menggeleng. "Tapi, Pak, hutang Bapak sudah terlalu banyak. Kalau tidak dijual, dari mana kita dapat uang untuk membayarnya?"

"Aku akan menanam padi lagi musim depan," Karto berkata yakin. "Aku yakin kali ini akan panen besar."

"Dengan benih apa? Uang untuk beli pupuk dari mana? Sudah tiga tahun Bapak selalu bilang begitu, tapi hasilnya selalu gagal."

Karto tidak menjawab. Ia hanya menatap sawahnya dengan pedih, seolah tanah itu adalah sahabat lama yang tengah menderita.

Ketika musim tanam tiba, Karto memutuskan untuk menanam padi sekali lagi dengan sisa-sisa benih terakhirnya. Ia menghabiskan berjam-jam di sawah, membajak tanah, menyebar benih, dan memupuknya dengan kompos yang ia buat sendiri. Selama proses itu, Karto sering berbicara sendiri, seolah bercakap dengan tanah dan pohon-pohon di sekelilingnya.

"Aku tahu kau lelah, Tan," katanya sambil mengelus tanah retak di bawah kakinya. "Tapi percayalah, kali ini kita pasti berhasil. Aku bisa merasakannya."

Lalu ia akan menengadah ke langit, menatap awan-awan yang berarak. "Jangan khawatir, Hujan pasti akan datang. Aku bisa menciumnya di udara."

Brama yang kerap memergoki ayahnya berbicara seorang diri hanya bisa geleng-geleng kepala. "Bapak sudah tua, waras atau tidak, ya?" gumamnya pada ibunya.

Ibunya, Parmi, hanya tersenyum teduh. "Biarkan saja. Itu cara Bapakmu mencintai sawah dan tanahnya."

Namun di dalam hati, Parmi pun merasa cemas. Bagaimana jika sekali lagi mereka gagal panen? Hutang akan semakin menumpuk, dan kemungkinan besar tanah warisan ini harus dijual untuk melunasi semuanya.

Awalnya, padi-padi muda itu tumbuh dengan subur. Karto merawatnya dengan penuh kasih, mengusir hama, menyiram dan memupuknya setiap hari. Namun seiring waktu, cuaca seperti tidak bersahabat. Hujan yang dijanjikan tak kunjung turun. Kemarau panjang melanda desa itu, membuat padi-padi layu dan mengering sebelum sempat berbuah.

Hari-hari berlalu dengan perlahan. Padi-padi di sawah Karto semakin mengering dan menguning. Karto masih tekun merawatnya, berharap keajaiban hujan akan datang. Namun langit seolah terbuat dari perunggu, tidak ada sedikitpun awan mendung.

"Tan, kenapa Hujan tidak kunjung datang?" tanya Karto frustrasi, sambil menyiram padi-padi layu itu dengan ember terakhir air sumurnya yang tinggal sedikit. "Apa yang harus kulakukan? Katakan padaku, Tan."

Tentu saja tanah tidak dapat menjawab. Karto mendesah panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tanah yang selama ini ia cintai tengah menghianatinya.

Malam harinya, Parmi mendatangi Karto yang terduduk lesu di beranda rumah.

"Pak, sebaiknya kita pikirkan lagi tawaran untuk menjual tanah itu," kata Parmi lembut. "Lihatlah, padi-padi kita sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Hutang kita menumpuk, kita butuh uang untuk..."

"Tidak!" Karto membentak, membuat Parmi terkejut. "Tanah itu lebih berharga daripada nyawaku sendiri! Kalian tidak akan pernah mengerti!"

Parmi hanya bisa menangis melihat kekeraskepalaan suaminya. Karto yang melihat istrinya menangis akhirnya tersadar dan merasa bersalah. Ia membelai lembut kepala Parmi.

"Maafkan aku, Parmi. Aku tidak bermaksud membentakmu. Tapi kau harus mengerti, tanah ini begitu berarti untukku. Ini warisan dari leluhurku, dari orang tuaku, dari para petani yang hidup sebelum kita. Menjualnya sama saja dengan mengkhianati mereka semua."

Parmi mengangguk dalam isak tangisnya. Meski tidak mengerti sepenuhnya, ia berusaha mendukung suaminya. Karto adalah seorang petani sejati, yang mencintai tanah melebihi apapun.

***

 

Keesokan harinya, Karto kembali ke sawahnya. Padi-padi itu sudah benar-benar mengering, tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Namun Karto tetap merawatnya, membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sela-sela batang padi.

"Maafkan aku, Tan. Aku gagal lagi tahun ini," gumamnya pilu. "Tapi aku berjanji, aku akan mencobanya lagi tahun depan. Apapun yang terjadi, aku tidak akan menyerah."

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari belakang. Karto menoleh dan mendapati Brama berjalan ke arahnya dengan wajah muram.

"Bram? Kau kembali?" Karto terkejut melihat kedatangan putranya.

Brama mengangguk. "Ibu yang menyuruhku pulang. Katanya keluarga kita berantakan kalau aku pergi."

Karto menunduk dalam diam. Brama melanjutkan dengan nada getir, "Lihatlah, Pak. Padi-padi kita sudah mati. Untuk apa kita terus bertahan di sini? Hutang kita sudah terlalu banyak. Lebih baik kita jual saja tanah ini, lalu pindah ke kota dan mencari pekerjaan lain."

"Tidak semudah itu, Bram," Karto menghela napas panjang. "Kau tidak akan pernah mengerti betapa berartinya tanah ini bagiku. Ini lebih dari sekedar ladang, ini adalah jiwa dan hidupku sendiri."

Brama menggeleng tidak sabar. "Tapi kita bisa mati kelaparan kalau terus begini, Pak! Sadarlah!"

Perdebatan itu terus berlanjut, hingga akhirnya Brama menyerah dan pergi dengan kesal meninggalkan ayahnya sendirian di sawah itu. Karto menatap kepergian putranya dengan pedih. Keluarganya berantakan karenanya. Namun ia tetap tidak bisa membiarkan tanah leluhurnya dijual.

Senja itu, Karto duduk termenung di pinggir sawah yang kering dan gersang. Matahari terbenam berwarna jingga, seperti melukis kanvas langit dengan warna kemarau. Karto teringat masa kecilnya, saat ia bermain di sawah yang subur dan hijau. Saat itu ia merasa begitu dekat dengan tanah, seolah tanah itu adalah sahabat baiknya. Tanah yang memberinya kehidupan.

"Tan, apa yang harus kulakukan?" gumam Karto memelas. "Aku tidak ingin kehilangan dirimu. Tapi aku juga tidak ingin melihat keluargaku berantakan. Beri aku petunjuk, Tan. Seperti dulu."

Namun tanah tetap membisu, tidak dapat memberi jawaban. Karto menangis dalam kesunyian senja itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sendirian di dunia ini.

"Kenapa Hujan tidak kunjung datang?" tanya Karto gelisah, saat memandang langit yang tidak ada tanda-tanda mendung. "Apa yang salah? Aku sudah merawat tanah dengan baik, kan?"

Brama yang sudah tidak sabar lagi mendatangi ayahnya di sawah. "Sudah cukup, Pak! Kita tidak bisa menunggu hujan lagi. Lebih baik Bapak jual saja tanah ini, sebelum hutang kita semakin banyak!"

"Jangan!" Karto membentak, membuat Brama terkejut. "Tanah ini lebih berharga daripada nyawaku sendiri! Kalau kau tidak mengerti, pergilah! Jangan pernah kembali lagi!"

Brama mengepalkan tinjunya geram, lalu berbalik pergi dengan tungkai menghentak. Parmi hanya bisa menangis melihat keluarganya seperti ini. Ia ingin mendukung suaminya, tapi di sisi lain ia pun tidak ingin melihat Brama pergi untuk selamanya.

Malam itu, Karto berbaring gelisah di ranjangnya. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana jika ia benar-benar harus menjual tanah warisan leluhurnya itu? Sanggupkah ia melepaskannya begitu saja? Tanah yang sudah menjadi bagian hidupnya selama puluhan tahun?

Di sisi lain, Karto juga memikirkan keluarganya. Parmi dan Brama benar, hutang mereka sudah terlalu banyak. Kalau terus bertahan, bisa-bisa mereka benar-benar jatuh miskin dan kelaparan. Haruskah ia mengalah demi kebaikan keluarga? Tapi hatinya terasa tercabik-cabik mengingat kemungkinan harus berpisah dengan tanah leluhurnya.

Karto tidak bisa memejamkan mata hingga larut malam. Pikirannya terus berkecamuk. Akhirnya, dengan membulatkan tekad, ia bangkit dari ranjang dan berjalan keluar rumah.

Langit malam itu dihiasi taburan bintang-bintang. Bulan separuh terbit, menyinari sawah gersang milik Karto dengan sinarnya yang pucat. Karto berjalan menyusuri sawahnya dalam kegelapan. Kakinya yang telanjang merasakan tanah retak yang kering dan kasar. Namun entah mengapa, Karto merasa ada semacam kedamaian di sana. Seolah tanah itu tengah berbisik kepadanya.

"Tan, aku bingung," gumam Karto pada kesunyian malam. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Kalau aku jual dirimu, aku merasa seperti mengkhianati leluhurku sendiri. Tapi kalau aku tetap mempertahankanmu, aku bisa kehilangan keluargaku."

Karto lalu membaringkan tubuhnya di atas tanah sawah yang kering itu. Entah mengapa, meski tanah itu retak dan gersang, baginya tetap terasa nyaman dan damai. Seperti pelukan seorang ibu.

"Tan, beri aku petunjuk," bisik Karto memohon. "Aku mencintaimu melebihi apapun di dunia ini. Tapi aku juga sangat mencintai keluargaku. Aku harus bagaimana?"

Karto memejamkan mata, merasakan semilir angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. Perlahan, kebingungan di hatinya mulai mereda. Sebuah bisikan lembut seolah merasuk ke dalam pikirannya.

"Karto, kau harus mengikuti kata hatimu sendiri. Jangan pernah mengkhianati dirimu yang sesungguhnya, apapun yang terjadi."

Karto membuka matanya, terkejut mendengar suara itu. Suara yang begitu akrab, seperti suara ibunya yang telah lama meninggal. Dengan pedih, Karto menyadari bahwa selama ini, tanah yang ia cintai itulah yang telah memberinya kekuatan dan keteguhan hati. Tanah itu adalah jiwanya sendiri.

***

 

Keesokan harinya, dengan langkah mantap, Karto mendatangi Brama yang sedang membersihkan peralatan bertani di halaman rumah.

"Bram, aku sudah memutuskan," kata Karto dengan sorot mata yang tegar. "Kita tidak akan menjual tanah itu."

Brama membelalak kaget. "Tapi Pak, hutang kita..."

Karto menggeleng. "Aku tahu resikonya. Tapi tanah itu lebih berharga daripada apapun. Aku tidak peduli jika kita harus hidup miskin dan melarat. Selama aku masih memiliki tanah itu, aku akan merasa kaya."

Brama terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Parmi yang mendengar percakapan itu dari dalam rumah hanya bisa menangis haru. Ia tahu, bagi Karto, tanah adalah segalanya. Melepaskannya sama saja dengan melepas seluruh jiwanya.

Dengan tekad yang baru, Karto kembali memulai rutinitas lama menggarap sawahnya. Meski tanah itu gersang, meski padi-padi gagal tumbuh, Karto tetap merawatnya dengan sepenuh hati. Karena baginya, tanah itu lebih dari sekedar ladang. Tanah itu adalah belahan jiwanya sendiri.

Darju Prasetya, Pengarang adalah pengajar di Jatirogo-Tuban. Telah menerbitkan beberapa buku antologi cerpen. Buku Antologi cerpen terbarunya berjudul “Dunia dalam Warna-Warni”.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Tanah Aleniasi

Puisi-puisi Sarvian Esa

SELENGKAPNYA

Kotak Pandora

Oleh Darju Prasetja

SELENGKAPNYA

Dukun Muda di Kampung Penyalai

Cerpen Joni Hendri

SELENGKAPNYA