Sastra
Roma-Gaza, Desember
Puisi-Puisi Fajar M Fitrah
Oleh FAJAR M FITRAH
Roma-Gaza, Desember
tujuh nama dicatat malaikat
dengan tinta yang masih basah
di utara, seorang patriark mengetuk:
"izinkan aku masuk!”
tapi di sini, bahkan doa perlu visa
gedung Nomor 24 masih berdiri
dengan lubang menganga
di tengah, seperti almanak robek:
442 hari, dan orang-orang masih
menghitung korban dengan angka
seolah kematian bisa dijumlah
seperti butir-butir tasbih
di Roma, seorang lelaki 88 tahun
membuka jendela, menggigil
"ini bukan perang," katanya
pada burung-burung merpati
yang tak berani hinggap
di menara Santo Petrus
di sini, bahkan Tuhan
harus memilih sisi
2024
Gaza
kota terbangun
deru misil, ledakan bom
di gang tak lagi bernama
seolah setiap pintu
bisa menjadi nisan
anak-anak kembali
dari mimpi yang tergesa
memunguti alfabet
di tepi Masjid Al-Omari
dekat perbatasan zaitun
yang enggan berdaun
namun akarnya masih
mencengkeram tanah
seakan mengerti:
satu jengkal adalah
harga sebuah negeri
di tepi pantai
ibu-ibu, serak oleh debu
menghitung hari
dalam kalender abu:
berapa lama lagi
sampai fajar
tak berbau mesiu?
berapa musim
hingga kerikil
bisa jadi roti?
Mediterania mencatat
dalam buku hariannya:
"hari ini laut masih biru
tapi airku makin amis
oleh sejarah"
2024
Jalan-jalan di Marda
ada yang aneh
dengan jalan-jalan
di Marda, setiap belokan
diukur kawat berduri
setiap persimpangan
ditandai pos
mereka bilang
ini peta yang benar
yang membagi dunia
dalam garis tegas:
di sini batas mihrab
di sana batas doa
di Bir Al-Walidain
seseorang masih
menyimpan kunci masjid
dalam sakunya
ia percaya pintu terbakar
masih bisa dibuka
seperti Oktober tak habis
dihitung: 1000 api
1300 pengungsi
juga tanya abadi:
berapa lama lagi, Tuhan
harus menepi?
di Ariel
mereka membuat peta baru:
mengganti nama-nama Arab
dengan bahasa lebih suci
tapi abu tetap abu
dan asap tetap mengenal
jalan pulang
2024
Sheikh Atef
di Aqraba, saban Rabu
mereka masih ke kebun
juga ia, membawa kunci
dan keyakinan: tanah ini
lebih tua dari semua senapan
Juli telah bebas, namun vonis
tak seinci pun menggeser batas
di jalan permukiman ini
sejarah mengukur jarak:
antara sebatang pohon
dan sebuah kematian
ia pergi seperti lelaki putih
di kitab: tegak, tak bersuara
hanya tanah yang tahu
cara membaca isyarat
darah yang mengalir
ke akar zaitun
2024
Rafah
di lorong itu, senja menggantung seperti peluru
debu berpusing, waktu tersesat di antara puing
namun akar-akar ingatan menembus beton
tembok berbisik pada angin dan anak-anak
melukis pelangi pada pecahan cermin
2024
Di Balik Tembok Tinggi
kutemukan diriku
di reruntuhan kota
memandang langit
yang berkerut
apa yang kaulihat
tanyaku pada diri
hanya bayangan
drone juga sepi
surya merayap
di antara puing-puing
dentuman roket
tank demi tank
menggilas kenangan
lalu asap hitam
mengepul, mengaburkan
batas hidup dan mati
Jabalia...
kilatan memori berpendar
seperti api phosphorus
yang membakar
kucoba merangkai
hari-hari yang tercerai
namun waktu membeku
di ujung peluru
langit memerah
oleh peluru tracer
bulan pun sembunyi
di balik shelter
blokade? genosida?
kata-kata hilang daya
esok, di pasar tersisa
serpihan mortir bercerita:
kami adalah sejarah
yang ditulis darah
siapa namamu
tanyaku pada bayang
aku adalah masa depan
yang kau rampas
2024
Epitaf
zaitun menangis
minyak hitam
purnama
terkoyak rudal
anak-anak
di atas bara
menggambar
senyum bapaknya
dengan arang
laut berbisik
pada pasir
berapa lama lagi
angin menjawab
dengan peluru
batu-batu
bangkai perahu
pantai merah itu
berdoa, berdoa
untuk ibu
yang tak henti
menyusui jasad bayi
2024
Fajar M Fitrah, Bandung 25 Maret 1993. Buku puisinya, Pangkur (Penerbit Buruan, 2022). Selain menulis, aktif bermusik dengan nama Bob Anwar. Sehari-hari menjadi tenaga pendidik di Bina Bangsa School, Bandung.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.