Tanah Alienasi | Daan Yahya/Republika

Sastra

Tanah Alienasi

Puisi-puisi Sarvian Esa

Oleh SARFIAN ESA

Sifat Paracetamol 

 

Sejak kapan

rekayasa kimia menyimpan

wijen, tepung, gula, 

atau Palestina dibentuk

telinga yang berumbai.

 

Sorak-sorai revolusi

seperti seorang sexton

membunyikan surga

dari dada manusia.

 

Tak satu pun

tukang batu tergelincir

di titik-titik sibuk.

Jadi, hidup ini

bukan musik, oops!

kata kritikus itu,

"Jangan sepatu mimpi,

lepas, sampai entah."

 

Memasuki ruang negatif,

dua puluh lima lantai,

huruf-huruf berdengung.

Di sana, jauh, sudut gelap

tak berujung,

tempat kekasih tertidur.

 

2024

***

 

Labubu

 

Bulan sebulat mata boneka,

Muncul dari tata bahasa ibu,

Saat itu, gunung dan nama,

Adalah akhir yang lain.

 

Sebutkan saja

Label pada tembok waktu,

Seperti tiupan angin

Di permukaan kali.

 

O cinta, ikan-ikan

Membelah air mata,

Huru-hara keluar

Dalam dada.

 

Apakah jiwa kusam

Ada di sana?

Bahwa jantung negeri

Tak miliki suara

Dan pendengaran.

 

2024

***

 

Hutan Vertikal

 

Hamparan dedaunan

Di matamu yang rabun

Menjadi epilog, tepat,

Saat anak-anak berlari

Ke alam liar.

 

Ke mana Tuhan

Mati tengah hujan

Dan berguling ke arah

Tubuh masing-masing.

 

Keajaiban kecil

Berlalu seperti balon.

Ya, lebih suka dunia

Meledak di dadamu

Lalu menyalakan

Korek api perubahan.

 

Tidak usah konflik,

Cukup garpu, di sini,

Tanah, tanpa pohon,

Tanpa jerami, bahkan,

Lebih menyedihkan

Dari kata apa pun.

 

2024

***

 

Tanah Alienasi 

 

Setelah cacing pabrik

Memiliki dada, aku yakin,

Kematian kecil itu

Bagian unsur-unsur alam.

 

Satu teriakan

Dari tenggorokan bunga

Bisa menghentikan waktu

Dan melaraskan negeri ini.

 

O cakar revolusi,

Topeng amnesia mana

Tumbuh menyakitkan

Pada mulanya.

 

Meskipun aku tidur,

Katakanlah tiket zona tropis

Sama dengan lempar dadu.

Tidak pohon atau sawah

Di sini, akankah ada roti?

 

2024

***

 

Umbra

 

Di hadapan matahari,

Bayangan manusia plastik

Kembali gagap.

Tetaplah menjadi sayap,

Terbang lebih dekat,

Menemui bahasa ayah.

 

Mungkin dalam tubuh,

Alam buatan berbaris,

Tanpa ekspresi,

Menunggu tanda.

Jika tidak, bunga tulip

Akan sedefinitif patung.

 

Bukan soal migrasi,

Tapi mimpi berlapis roti, 

Iga Amerika, dan sedikit

Margarin Chinese.

 

Masih mentah,

Santai saja, filosofi seniman,

Adalah estetika sejarah lain.

Pada awalnya darah,

Horor, mitos, serta obsesi.

 

2024

***

 

Kuburan Arkeolog 

 

Di situs hitam,

Lengan dan lambang sial

Menciptakan banyak senjata,

Seperti wanita tua mengintip

Dalam dadamu yang rumit.

 

Butuh 350 tahun

Untuk jatuhnya mitos,

Siap, bidik, tembak,

Lalu mengetuk

Pintu-pintu kesedihan.

 

Berapa kali

Buronan kecil jarang

Digunakan jadi cambuk,

Selama berabad-abad,

Separuhnya hanya hantu.

 

Ya, lihat, sudut jalan,

Rumah terbalik itu,

Apakah pertanda?

Terlalu cepat, 

Tak ada mikroskop,

Sebab malaikat rabun

Meraba penderitaan.

 

2024

***

 

Kelontong

 

Setelah menjual

Ingus kucing

Dan permen karet

Kepada kerajaan cokelat,

 

Barang-barang sembako 

Tak bernyawa, jika hari

Berkilau seperti

Kecakapan manusia

Sebagai tanah liat.

 

Belilah banyak mimpi,

Cukup 2,5 milyar rupiah

Untuk kesombongan

Serta kekuasaan.

 

Mencari rejeki

Ternyata di luar zodiak,

Penuh tuntutan, tembakan,

Satu lagi, wajah tirani.

 

2024

***

Sarvian Esa, tinggal di Jakarta Selatan, bekerja sebagai buruh di pabrik industri. Selain itu, ia menulis puisi dan cerpen.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ada Masa Ketika

Puisi-puisi Abdullah Muzi Marpaung

SELENGKAPNYA

Dukun Muda di Kampung Penyalai

Cerpen Joni Hendri

SELENGKAPNYA

Pusaka dari Prambanan

Cerpen Moehammad Abdoe

SELENGKAPNYA