Sastra
Ada Masa Ketika
Puisi-puisi Abdullah Muzi Marpaung
Oleh ABDULLAH MUZI MARPAUNG
Ada Masa Ketika
Ada masa ketika kau penasaran mengapa tetanggamu
kini mengganti lampu yang lebih muram untuk menerangi teras rumahnya.
Atau mengapa tetanggamu yang lain membiarkan pagarnya
kekurangan oli sehingga berderit saat ditutup atau dibuka.
Ada masa ketika kau seperti ingin membuat cabang filsafat baru
saat melihat tetanggamu membiarkan anjingnya kencing di muka rumahmu.
Atau kau seperti ingin memulai suatu majlis pengajian
saat menyaksikan seorang tetangga kayamu menerima bantuan kesejahteraan.
Ya, ada saatnya kau merasa perlu masuk ke relung yang lebih dalam
menafsirkan lebih jauh semua yang tampak di permukaan
mengenali keresahan yang disampaikan oleh daun-daun kering
yang menumpuk di ujung parit atau
oleh seorang anak yang terus bermain game meski ia capek
hanya karena ia belum sekali pun menang atau
oleh seorang pensiunan yang menyeroki air dari selokan
lalu menyiramkannya ke aspal jalan kompleks perumahan
tempat ia membesarkan anak-anaknya dan kini ditinggalkan oleh mereka.
Kau mungkin terdorong untuk menulis satu puisi yang kemudian
secara patriotik kaubacakan pada perayaan hari kemerdekaan
atau kau sedikit ingin berteori tentang kehidupan
sebagai bahan obrolan di pos ronda pada suatu malam.
Ada masa kau ingin tampak lebih dewasa dan bijaksana
cendekia sekaligus ingin diperhatikan
tetapi kau selalu tahu di mana ujungnya
masa-masa itu lumat
dalam secangkir kopi pekat.
2023
***
Sesekali Dalam Hidupmu
sesekali dalam hidupmu
kau akan bertemu dengan pemandangan pilu
seorang lelaki tengah menggedor-gedor pintu
yang dikuncinya sendiri
sementara di balik pintu
sang kekasih tengah men-takrir
syahadatnya yang terakhir
2023
***
Sajak Bulu Elang
sehelai bulu elang terus menari-menari di udara
meningkahi setiap embusan angin dari mana pun asalnya
telah cukup lama ia mengambang
sampai tuntas mendengarkan
seorang penyair membaca sajaknya yang panjang
sementara sang kekasih tak mengerti mengapa ia bosan
dan menyaksikan seorang petani tiba di ujung jalan
yang menghubungkan rumahnya dengan ladang
sehelai bulu elang terus menari-nari di udara
puas ia bermain-main dengan cuaca sore yang merah merona
telah cukup lama ia di sana sehingga dapat menduga
berapa lama lagi cahaya mewarnai cakrawala
telah cukup lama ia di sana untuk menyadari
bahwa sedari tadi aku mengikuti gerak-geriknya
bahwa aku mengagumi senyuman mistisnya kepada gravitasi
2023
***
Aku Pernah Tiada, Pernah Pula Hampa
aku pernah bernama tiada
sampai engkau memperkenalkanku kepada asmara
yang diceritakan pokok-pokok cemara kepada pelintas
yang cemas memilih jalan padahal cuma ada satu jalan di sana
aku pernah ditelan hampa
sampai engkau membacakan untukku sajak
yang ditulis angin kepada masa lalunya
sementara masa lalu itu memilih menetap di balik malam
“tak ada yang perlu kaucemaskan pada rindu yang mendesau
atau pada sepi yang mencari perhatian,” ucapmu suatu ketika seraya memelukku
yang basah kuyup oleh kemarau
maka, manalah mungkin tak kutangisi kepergianmu
meski engkau hanyalah ilusi yang diciptakan oleh pergantian musim
“fatamorgana selalu lebih menggetarkan ketimbang ketiadaan asa,”
kata sepenggal sejarah yang enggan diungkap identitasnya
aku pernah bernama tiada dan ditelan hampa
sehingga tak aku risau untuk sekali lagi tiada dan hampa
apalagi kutahu, ilusi akan selalu menciptakanmu.
2023
***
Tentang Gerimis yang Menebal Itu
suatu ketika ada serombongan gerimis menuju desa
mereka tipis pada mulanya, lalu menebal
persis sebelum tiba di perbatasan
melihat para petani yang riang menyambutnya,
engkau, angin, berbisik muram kepadaku,
“percuma, ini bukan hujan dari musim yang mereka tunggu…”
engkau lalu berfilsafat tentang tanda-tanda
yang tak selalu menjadi peristiwa
tentang asal mula kata-kata:
suka, bahagia, duka, nestapa, harapan, dan kecewa
yang bermula dari hulu yang sama: tiada
engkau lantas berbagi nasihat purba
tentang adab seorang kelana
yang sebaiknya tak bicara apa-apa
tentang perkara yang tak ada jalan keluarnya
aku tak tahu mengapa kau bicara begitu
aku tak tahu adakah kau kelana bagiku
2023
***
Abdullah Muzi Marpaung, teman-teman dekatnya memanggilnya “Bang Muzi”, lahir dan besar di Pulau Bintan. Ia adalah seorang dosen Teknologi Pangan di Swiss German University. Ia mulai menulis puisi sejak remaja dan puisi-puisinya telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Sejak 2015 ia mulai aktif menulis cerita pendek. Ia sudah menghasilkan dua buku kumpulan cerita pendek berjudul “Lelaki yang Tak Pernah Bertemu Hujan” dan “Ruas Jalan yang Selalu Kusapu Untukmu”, serta dua buku kumpulan puisi berjudul “Catatan Hari Kemarin" dan “Kusapa Engkau”.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.