Sastra
Dukun Muda di Kampung Penyalai
Cerpen Joni Hendri
Oleh JONI HENDRI
Ngah Mat tinggal di rumah panggung sederhana yang terbuat dari kayu meranti. Kayu yang kini sudah langka, sulit untuk didapatkan disebabkan terjadinya penebangan dan pembakaran lahan. Di dalam rumahnya, ada berbagai benda pusaka seperti keris, botol kecil berisi minyak wangi, dan kain merah yang dianggap keramat. Masyarakat Penyalai sering datang ke rumah itu dengan berbagai keperluan. Pada suatu pagi, seorang pemuda bernama Ajes mengetuk pintu rumah Ngah Mat. Wajahnya cemas, seperti menyimpan masalah yang berat. Wajah tak dapat disembunyikan ketika menyimpan beban. Menyimpan sesuatu yang kaku.
"Assalamualaikum, Ngah," Suara Ajes dari luar, dengan nada cemas penuh ketakutan. Badannya gemetar, beserta keringat dingin.
"Waalaikumussalam. Masuklah, Ajes. Apa yang membawa kakimu kemari pagi-pagi begini?" Tanya Ngah Mat sambil mempersilakan Ajes duduk di tikar pandan. Yang terbentang luas. Tikar pandan anyaman tangannya sendiri.
“Ada sedikit yang harus aku ceritakan.” Jawab Ajes, masuk ke dalam rumah lalu duduk bersila. Layaknya tamu yang datang ke rumah orang Melayu.
Ajes bercerita tentang keluarganya yang diganggu oleh sesuatu yang aneh di rumah mereka. Setiap malam, terdengar suara langkah kaki di atas atap, tetapi ketika dicek, tak ada apa-apa. Kadang-kadang, piring dan gelas jatuh tanpa sebab. Bahkan pintu sering terbuka dengan sendirinya. Sangat mengerikan.
"Saya khawatir, Ngah. Mak saya jadi sakit-sakitan karena terlalu takut," ujar Ajes, hampir menangis. Matanya berkunang-kunang. Ia sangat takut kehilangan Maknya. Ia memang dibesarkan oleh Mak. Setelah usia sembilan tahun ditinggal Ayahnya.
Ngah Mat mengangguk-angguk. "Ini tanda-tanda ada gangguan dari makhluk halus. Jangan takut, Jes. Saya akan mencoba mengatasinya." Ngah Mat mencoba menenangkan. Memberi semangat dari kekuatan. Lalu Ngah Mat meminta Ajes pulang dan menyiapkan beberapa benda, seperti kelapa hijau, beras, dan air tujuh sumur di rumah yang tinggal. Ngah Mat menyatakan akan datang ke rumah Ajes pada malam itu.
“Jangan terlalu lama mengumpulkan bahan-baha! Malam ini aku akan ke rumah Ajes.” Kata Ngah Mat ketika Ajes melangkah pulang ke rumah.
***
Dengan pakaian serba putih dan kain merah melilit di pinggang, Ngah Mat datang. Tanpa basa basi. Ia langsung memulai ritual. Ajes yang melihat Ngah Mat merasa kaget. Sebab Ngah Mat tak menunggu waktu untuk meminta izin kepada orang di dalam rumah tersebut. Sebab Ngah Mat khawatir makhluk halus itu akan bersembunyi sehingga sulit untuk mengusirnya. Maka Ngah Mat bergegas melakukan ritual tersebut.
Ngah Mat menaburkan beras di empat sudut rumah sambil membaca mantra yang diwariskan oleh leluhurnya. Ia juga memecahkan kelapa di depan pintu utama dan menyiramkan air sumur di sekitar rumah panggung itu. Keluarga Ajes yang berada di dalam rumah tersebut hanya menonton riatul Ngah Mat.
"Makhluk-makhluk yang mengganggu, aku peringatkan kalian. Pergilah dengan baik-baik. Jangan sakiti penghuni rumah ini. Pergilah kalian ke kantor-kantor yang mewah itu. Mereka di sana butuh gangguan agar tidak tertidur saat jam kerja." Ucap Ngah Mat dengan tegas.
Setelah selesai, Ngah Mat duduk bersila dan memejamkan mata. Ia terlihat seperti berbicara dengan sesuatu yang tak kasat mata. Ajes dan keluarganya hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk. Setelah beberapa saat, Ngah Mat membuka mata.
"Sudah selesai. Mereka pergi. Tapi ingat, jagalah adab dan jangan lupa berdoa. Gangguan seperti ini sering muncul kalau ada yang lupa menjaga keseimbangan antara dunia kita dan dunia mereka." Ngah Mat memberi nasehat.
“Akan kami ikuti apa yang disarankan Ngah.” Jawab Ajes sambil tersenyum.
Kemudian Ajes mengeluarkan amplop dari sakunya. “Ini ada sedikit untuk membeli minyak kenderaan Ngah.”
“Tak, saya tidak butuh ini!” kata Ngah Mat menegaskan. Ngah Mat menolak yang pemberian Ajes.
"Aku hanya menjalankan amanah sebagai penjaga tradisi dan pelindung masyarakat. Jangan lupa, teruslah berbuat baik," ucapnya sambil tersenyum.
***
Ngah Mat bukanlah dukun biasa. Walaupun tampilannya memakai jubah lusuh dengan tongkat kayu yang diukir tulisan-tulisan arab Melayu. Namun ia kerap dimintai tolong untuk berbagai hal mengobati penyakit misterius, melarung roh jahat, hingga meminta restu sebelum berlayar. Akan tetapi tak ada yang tahu beban berat yang Ngah Mat pikul. Setiap malam ia sering didatangi oleh makhluk-makhluk halus. Karena banyak makhluk halus yang menyimpan dendam kepadanya.
Suatu malam, badai besar mengguncang Penyalai. Sebab Penyalai kampung yang kecil dikelilingi oleh laut. Petir menggelegar seperti amarah langit. Orang-orang yang bekerja mencari ikan di laut buru-buru menarik jaring mereka, sementara orang-orang di darat yang tidak ke laut. Sibuk mereka berkumpul di surau kecil, memanjat doa agar badai segera reda. Namun, di gubuk Ngah Mat, suasana mencekam.
"Mattt! Engkau telah melanggar janji!" Suara itu menggema di dalam kepalanya. Ngah Mat bergidik. Ia tahu, itu suara datang dari laut, makhluk yang telah ia janjikan sesaji berupa kepala kambing hitam saat bulan terang. Janji itu belum bisa ia tunaikan. Karena Ngah Mat orang yang miskin tidak punya uang untuk membeli kambing. Walaupun ia kaya dengan pengetahuan terhadap makhluk halus.
***
Ngah Mat memutuskan untuk menghadap langsung ke pantai, di tempat ia biasa melarung sesaji. Dengan membawa tongkat dan sebilah keris pusaka, ia berharap bisa meredakan murka laut.
Di tepi pantai yang gelap, bayangan besar muncul di tengah ombak. Makhluk itu menjulang tinggi, menyerupai bayangan manusia namun dengan sirip di punggungnya. Matanya merah menyala, dan suaranya seperti deru ombak yang pecah di karang.
"Janji adalah harga mati, Mat!” Makhluk itu menggeram.
“Ya, aku tahu itu...” Jawab Ngah Mat.
“Cepat tunaikan. Kita sama-sama hidup dalam genggaman Tuhan. Jadi saling menghargai. Janji harus dibayar!”
"Aku tak akan menunaikannya. Kalau aku menunaikannya, artinya aku tidak percaya kepada Tuhan! Aku adalah penjaga tanah ini, dan aku akan melindungi Penyalai dari amarahmu!" Seru Ngah Mat sambil menusukkan kerisnya ke pasir. Dari keris itu, mengeluarkan cahaya biru yang membentuk perisai di sekitarnya.
Pertarungan antara Ngah Mat dan hantu laut berlangsung hingga menjelang pagi. Gelombang tinggi menerjang pantai, sementara angin membawa bau garam yang menusuk hidung. Namun, dengan mantra-mantra yang Ngah Mat ucapkan dan keberanian yang tak tergoyahkan, Ngah Mat berhasil mengurung makhluk itu di dalam lingkaran api.
"Ini belum selesai, Mat! Aku akan kembali, dan kau akan menyesal!" Makhluk itu menghilang di lingkaran api, meninggalkan gemuruh ombak yang perlahan mereda. Ngah Mat jatuh terduduk. Tubuhnya lemah, Ngah Mat tahu ia telah menyelamatkan desanya.
Namun sejak hari itu, Ngah Mat berubah. Ia jarang keluar rumah, dan sering terlihat termenung di depan pintu gubuknya memandangi langit. Walaupun ia telah diakui masyarakat kampung sebagai pelindung kampung. Ia tetap menyimpan kerisauan yang dalam. Ia mempunyai niat ingin memberikan petunjuk dan doa kepada siapa saja yang membutuhkan. Ia merasa umurnya tidak akan panjang lagi.
Ajes datang ke rumah Ngah Mat pada malam hari di saat bulan purnama. Sesampainya di rumah Ngah Mat, Ajes langsung mengungkapkan niatnya.
"Ngah, aku ingin belajar Ngah. Ajarkan aku cara melindungi Penyalai," katanya Ajes secara tiba-tiba. Ngah Mat terdiam, tak lama kemudian memandangi wajah Ajes.
"Aku sudah tua, Jes.”
“Justru sudah tua itu, ajarkan aku.”
“Memang tanah ini butuh penjaga baru. Jika kau siap menerima beban ini, aku akan mengajarkanmu," jawab Ngah Mat.
“Tanda aku siap, maka aku datang.”
***
Di penghujung usia, Ngah Mat duduk di tepi pantai, memandang laut yang pernah menjadi musuh sekaligus kawan. Ia melihat kehidupan masa lalunya. Jiwanya penuh kecemasan. Disebabkan segala pekerjaannya masa lalu semuanya berkaitan dengan Tuhan dan laut. Ia seperti merasa akan datang waktunya untuk mempertanggungjawabkan segalanya yang pernah dilakukan itu.
"Penyalai akan selalu menjadi tanah bertuah, selama ada yang berani menjaga keseimbangan," gumamnya sebelum akhirnya menutup mata. Sambil berbaring di muka pintu.
Gading Marpoyan, 2024
Joni Hendri kelahiran Teluk Dalam, Pelalawan-Riau. 12 Agustus. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Dan juga alumnus UNILAK Jurusan Sastra Indonesia. Karya-karya berupa naskah drama, esai, cerpen, dan puisi. Sudah dimuat di beberapa antologi dan media. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau. Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.