Tualang Elang | Daan Yahya/Republika

Sastra

Tualang Elang

Puisi M Allan Hanafi

Tualang Elang

: A.K.

 

Memang benar hatimu

terbuat dari banjir.

Tempat suamimu mendayung perahu

menyelamatkan perempuan asing

yang hampir tenggelam.

 

Kemudian mereka hibuk tualang,

tembus ilalang. Hingga tahu cara

untuk terbang seperti elang

dalam bidikan bedil.

 

(Nanar benar hatimu.

Pemburu yang kau simpan di sana

tak pernah sampai menarik

pelatuk bedilnya. Meski sejak lama

ia telah membidik.)

 

Kemudian mereka buat sarang

di tinggi ranting. Melahirkan anak

dengan lengkung paruh begitu runcing.

Hingga mampu mencabik hatimu,

yang tak kau tahu, ia masih berada di sana.

 

(16-24)

***

 

Kami Melihat Waktu

 

Aroma minyak telon mendekap

Bayi ini

Popok, asi, lampin, kado-kado kecil

Mencintainya

 

Ayahnya sibuk sebagai debu

di buku-buku perpustakaan

Mamanya, penat tentang travel

Dari satu bandara ke bandara lain

Dari negara asing ke negara bising

 

Aroma minyak telon menggendong

Bayi ini

Mbahnya sudah membuka pintu

Bagi usia

Niniknya penuh ketika tulang-

Belulang berdatangan

 

Bayi ini hanya dicintai minyak telon,

Popok, asi, lampin, dan kado-kado kecil

Yang mengitarinya

 

Dan saat kami melihat waktu

Ia membawa cermin raksasa

Menampakkan diri kami

Yang tidak ada

 

(2024)

***

 

Jadikan Aku Bayi

 

Jadikan aku bayi dan

Tinggalkan di bawah petir itu

Biarkan aku menangis dan

Merindukan air susu ibu

 

Jadikan aku bayi dan

Lepaskan sebuah api biru

Agar menyala sedihku dan

Memanggil hujan berpisau

 

Jadikan aku bayi dan

Taburlah bedak di mataku

Biarkan aku buta dan

Tak melihat lagi kedewasaanku

 

(2024)

***

 

Suara Ibu yang Memukul-Mukul Dadanya

 

setelah membakar selinting tembakau

sintetis yang dicampur ganja.

ia tanggalkan tempat tinggalnya

sambil memukul-mukul dadanya.

lalu berjalan menenteng sebuah poster

berisi potret orang hilang.

 

tiba-tiba dari poster itu muncul

seseorang dan merenyukkan otaknya,

“bukankah wajah kita serupa belaka?”

     “wajah kita?”

“yang kaucari telah tercuri dari hatimu.

malam-malammu terasa lama

seakan di dalam alam cermin.”

     “alam cermin?”

“sebab udara yang kauhirup telah asing.”

     “telah asing?”

“ya, telah asing. lihatlah angin 

yang terbelah itu. seperti itulah wajah kita.”

 

seketika ia lenyap.

namun suara itu permanen

menggema di kepalanya.

 

ia tersadar dan hendak membakar lagi tembakau itu;

untuk mendengar suara tadi yang mirip gorila;

suara samar yang ia kenali juga sebagai suara ibu;

suara ibu yang memukul-mukul dadanya;

membakar kehendaknya hingga yang tercuri

dari hatinya kembali; untuk menyadari bahwa

bukan itulah apa yang selama ini ia cari.

 

(151724)

***

 

Gol

 

Punggungmu lapangan sepak bola;

bermain bocah umur sepuluh tahun.

Hatimu adalah gawangnya.

 

Berkali-kali bocah itu menendang bola

ke arah hatimu. Dan angka tak bisa menghitung

sebanyak apa ia telah mencetak gol.

 

(16-24)

***

 

Mengompol

 

aku terpeleset ke kali

dan terbawa arus

 

saat menangkap kunang-kunang

untuk ditaruh di botol

yang akan hiasi kamarmu

(meski sudah tak lagi ada

napasmu di sana)

 

tapi kunang-kunang menyelam

menyelamatkanku

 

dan aku terbangun

celanaku basah

 

ibu, sekarang kamu sedang apa, ya,

di sana?

 

(162123)

***

 

Mencoba Tidur

 

malam ini, bantalku bulan

selimutku pelangi, anyaman kurcaci

atapku, langit berbintang

 

peri datang, membawa serbuk

ditabur di mataku, agar aku tertidur

 

tapi aku tidak tertidur

malah aku terjaga dari kantuk

 

sebab di umurku yang hampir tiga puluhan ini

anakku sudah tahu cara untuk membunuhku

 

(15-21)

***

 

Azazil

 

surga sudah penuh

saat aku datang

jadi aku pulang sebentar

(mungkin ada yang akan dikeluarkan)

untuk bertemu ibu di rumah

 

setiba di rumah

diantar oleh bus janah

ternyata ada orang sedang duduk

di ruang tamu dengan ibuku

 

seluruh tubuhnya diselimuti api

berwarna hitam

 

aku lihat ibuku memberikan orang itu

sekoper uang

 

menyadari keberadaanku

ia buru-buru berpamitan,


“saya pamit dulu, ya, ibu pendosa.

nanti kalau sudah sampai di neraka,

saya akan menghubungi

penjaga surga.”

 

(162124)

***

 

Sekitar Umur 11 Tahun

 

tetap saja kita bertemu

meski masih aku mengompol

dan sering batalkan puasa

di suatu siang yang bolong

 

lalu jelas terkenang kala itu

kautimbun uangmu di dalam pasir

 

kita pun lari ceburkan diri di pantai

menjadi sepasang ikan kecil

 

kita kembali untuk menggali pasir itu

tapi tak kautemukan yang kausimpan

 

suasana jadi sedikit haru

dan kita pulang seperti tak ada yang terjadi

 

di suatu siang bolong yang lain

aku batalkan puasa

memakai apa yang kautimbun

di dalam pasir

 

(151723)

***

 

Teruslah Menangis

 

Teruslah menangis, istriku, anakku.

24 jam waktuku adalah wadah

Bagi air matamu.

 

“Tidak bisakah butir-butir air matamu

Menjelma kepingan-kepingan emas?”

 

Teruslah menangis, istriku, anakku.

28 tahun umurku adalah wadah

Bagi air matamu.

 

“Tak mampukah bulir-bulir air matamu

Menjadi batang-batang emas?

Tanya istriku lagi, sambil memeluk

Kedua anaknya yang serupa tisu.

 

Lantas aku berusaha menangis,

Hingga menemukan diriku tertawa

Pada masa remajaku.

 

(2024)

***

 

M Allan Hanafi lahir di Ampenan, Lombok, 29 Februari 1996. Bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram, NTB. Buku puisinya berjudul Supersonik (2024).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Roti Lapis Isi Srikaya

Cerpen Rinal Sahputra

SELENGKAPNYA

Berita Dari Kolong Tol

Puisi-puisi Heru Patria

SELENGKAPNYA

Petualangan Singkat Bersama Penggembala Unta

Cerpen Shofia Kayyisa Maftuha

SELENGKAPNYA