Sastra
Petualangan Singkat Bersama Penggembala Unta
Cerpen Shofia Kayyisa Maftuha
Oleh SHOFIA KAYYISA MAFTUHA
Suara bel rumah berbunyi terlihat. Terlihat dari CCTV yang terpasang di depan gerbang seseorang dengan seragam dan berseragam dan topi berwarna merah meletakkan kardus besar dengan lapisan pelindung yang ramah lingkungan. Pintu rumah terbuka setelah beberapa saat orang berseragam dan bertopi merah itu pergi.
“Ka ayo cepat bantu aku ambil paketnya nanti keburu hujan! Langit sudah mulai mendung soalnya” teriak seorang anak laki-laki dengan baju bergambarkan pesawat luar angkasa sembari menarik lengan kakaknya.
“Ali sabar dong! Aku masih nyari kerudung aku nih, tapi paket yang diberikan Paman Hazir kenapa bisa sampai secepat ini?”
“Cepatlah, kan yang bawa paketnya naik pesawat luar angkasa” gurau sang adik, tidak sabar membuka isi paket tersebut. Kakaknya, lelah dengan gurauan adiknya, memilih diam sembari mengenakan kerudungnya.
Di bawah langit yang mendung, kakak dan adik itu mengambil paket yang berada di depan gerbang rumah mereka. Kakak perempuan Ali yang bernama Lea terpaksa membawa paket tersebut ke dalam rumah. Adiknya terlalu kecil untuk membawa paket besar itu.
Mereka melewati taman kecil halaman rumah, halaman rumah tersebut sangat hijau walaupun arsitektur dan segala perabotan di dalamnya serba modern. “Aku nggak sabar deh Ka mau buka paketnya, pasti keren! habis ini aku mau menelepon ayah dan bilang mainan yang dikirimkan Paman Hazir sudah datang.” Kakaknya hanya mengangguk. Paket yang ia bawa lama kelamaan terasa berat.
Ali meletakkan ibu jarinya di sensor sidik jari pintu depan rumah mereka. Pintu terbuka secara otomatis kemudian menutup setelah sensor memindai mereka berdua masuk kedalam rumah. Ali berlari menuju ruang kerja ayahnya untuk menggunakan tabletnya yang sengaja ia letakkan di sana.
Lea meletakkan kotak besar tersebut di sebelah Ali yang sedang mencari kontak ayahnya di tablet. Setelah panggilan tersambung Ali menghubungkan layar tablet dengan televisi dengan fitur lengkap berukuran 52 inci di depannya. Sudah dilengkapi dengan kamera, ia dapat melihat wajah ayahnya dengan layar yang lebih besar. Biasanya televisi itu digunakan ayah Ali rapat bersama krunya, melihat kurva-kurva desain bangunan yang terkadang tidak Ali dan Lea mengerti. Wajah ayah kedua anak itu terlihat jelas di dalam televisi.
“Ayah! Ali seneng banget mainan yang dikirimkan paman Hazir sudah datang” seru Ali sembari membuka kardus besar itu. Tangannya sangat lihai karena hampir setiap dua bulan sekali Ali selalu mendapatkan paket baru dari pamannya itu. “Tapi Yah paket yang Ali terima kali ini kotaknya besar sekali sampai-sampai harus aku yang membawanya bukan Ali sendiri” protes Lea kepada ayahnya. Walaupun sebenarnya ia sangat senang jika adiknya meminta bantuannya.
Ayah kedua anak tersebut hanya tersenyum ke arah mereka. Di tengah kesibukannya ia masih tetap menyempatkan waktu untuk mengangkat panggilan video mereka. Setelah kepergian bundanya Ali benar-benar kehilangan sosok ibu yang selalu berada disampingnya.
Suara hujan terdengar. Bertepatan saat petir pertama, Ali terlompat dan tidak sengaja tangannya menyenggol Menara dari mainannya sampai terjatuh ke lantai. Sambungan listrik tiba-tiba mati. Lampu darurat menyala. Jaringan wifi dan televisi di depan mereka sudah mati.
Ali mencoba menyalakan tabletnya tapi gagal. Lea menggandeng Ali untuk melihat sekeliling rumah . Mengecek lampu darurat lain juga menyala. Lea dan Ali beranjak keluar dari ruang kerja ayah mereka. Hanya lampu darurat di ruang kerja ayahnya yang menyala. Mereka memutuskan untuk kembali ke ruang itu.
NGING! NGING! NGING! Suara itu berasal dari ruang kerja ayahnya. Ali langsung melihat ke arah kakaknya. Ali melepas genggaman kakaknya, ia berlari ke dalam ruang kerja ayahnya.
“KAKA! LIHAT KA!” Lea yang sebelumnya hanya berjalan biasa terkejut mendengar itu lalu Lea langsung lari menyusul adiknya. Ali dan Lea termangu melihat mainan yang tadi mereka buka merupakan miniatur dari sebuah masjid bukan mainan pesawat luar angkasa yang Ali maksud. Mereka belum selesai membuka paket tersebut dan seluruh miniatur masjid itu sudah keluar dari kardusnya.
Lea berinisiatif untuk mengembalikan menara yang Ali jatuhkan sebelumnya. Memasangkan kembali menara tersebut ke tempat sebelumnya. Petir kedua menyambar. Muncul percikan cahaya dari sela-sela menara yang patah. Petir ketiga menyambar. Percikan cahaya itu semakin membesar. Petir keempat menyambar. Percikan cahaya itu perlahan memenuhi ruang kerja ayah mereka. Ali dan Lea saling bertatapan. Ali memegang erat tangan kakaknya, apa yang sebenarnya terjadi?
***
Cahaya yang memenuhi seisi ruang kerja ayah mereka perlahan-lahan menghilang. Seketika angin mengenai wajah mereka berdua. Cahaya yang memenuhi seisi ruang kerja ayah mereka digantikan oleh terangnya matahari di antara gumpalan-gumpalan awan.
Ali dan Lea saling bertatapan. Kita sebenarnya dimana? Mereka berdua memutuskan untuk melihat sekitar. Lea melihat kebelakang mereka berdua. Ia seperti pernah melihat bangunan ini.
Sementara Ali masih takjub karena di depannya banyak unta yang berlalu Lalang, di seberang mereka berdua Ali melihat terdapat banyak sekali tenda-tenda yang didalamnya terdapat berbagai macam makanan dan barang-barang. Ali teringat dengan bazaar yang pernah ia kunjungi bersama ayah dan kakaknya.
Tiba-tiba, seorang pemuda tinggi mengenakan gamis putih dengan luarannya jubah panjang berbelahan di bagian depan serta mengenakan sorban berwarna putih, dengan bagian ujung tangan dan bagian berbelahan berwarna emas. “Wahai anak muda sebenarnya kalian mencari apa? Aku melihat kalian keluar dari kilatan cahaya. Dan aku tidak pernah melihat pakaian yang kau kenakan wahai anak laki-laki.” Lea dan Ali tak pandai berbahasa Arab, anehnya mereka dapat mengerti apa yang pemuda itu katakan.
“Eh…. aku tidak mengerti apakah kamu bisa mengerti perkataan kami atau tidak, tapi kami juga tidak tahu kenapa kami bisa berada di sini,” ucap Lea dengan ragu-ragu karena takut pemuda itu tidak mengerti apa yang mereka katakan. Wajah pemuda itu terlihat sedikit kebingungan
“Em… aku tidak pernah mendengar Bahasa yang kamu ucapkan tapi aku mengerti apa yang kamu ucapkan.” Ali menatap kakaknya, apakah ini semua disebabkan oleh mainan barunya?
“Jadi bisakah kalian menjelaskan apa yang terjadi kepada kalian?” pemuda itu bertanya.
“Aku harap kamu tidak kebingungan, sebelumnya aku Lea dan ini” belum selesai Lea berbicara “aku Ali, kami tidak mengerti apa yang terjadi pada kami, tapi kami sebelumnya berada di ruangan kerja ayah kami….” Ali menjelaskan apa yang dia dan kakaknya rasakan, sepertinya kami melakukan perjalanan waktu.
"Apa yang kamu katakan sepertinya benar Ali. Disini, sekarang, detik ini, ini baru tahun 817 Masehi. Dan apa? 2057? Aku bahkan tidak menyangka umat manusia pada masa itu masih hidup. Dan lihat pakaian kalian aku tidak pernah melihat pakaian seaneh yang kau kenakan Ali. Wajah Lea dan Ali kebingungan, 817 Masehi?
“Aku ingin kalian berdua mencoba mengenakan pakaian khas dari sini karena sepertinya jika kalian berjalan-jalan dengan baju itu akan membuat orang-orang kebingungan dengan keberadaan kalian. Perkenalkan nama aku Zhafir dan aku merupakan pemilik dari unta-unta yang sedari tadi berlalu lalang.”
Zhafir mengajak mereka berdua ke dalam salah satu tenda. Di sana terdapat jubah-jubah (untuk laki-laki) dan juga banyak sekali abaya untuk perempuan dengan motif bermacam-macam. “Wah aku kira isi dari tenda ini tidak akan sebanyak ini Tuan Zhafir, dan abaya di masa kami lebih banyak hanya memiliki manik-manik yang berwarna gelap saja tidak memiliki motif yang beragam ini” ucap Lea yang sedang melihat-lihat abaya disebelah kirinya.
“Baik. Karena sebenarnya ada hal yang perlu aku selesaikan dengan unta-unta ku, aku akan meninggalkan kalian. Jika kalian sudah selesai segera tiup terompet kecil ini. Nah aku pergi dulu ya!” ucap Zhafir dengan girangnya ia berjalan dengan sedikit lompat. Zhafir pun sudah keluar dari tenda itu.
***
Lea sudah selesai dengan abaya dan Ali sudah selesai dengan Jubahnya. Wajah ketimuran Lea dan Ali benar-benar cocok dengan pakaian yang mereka kenakan, mereka sudah seperti masyarakat setempat.
Ali bersiap-siap meniup terompet kecil itu. TEEEEEEEEEET! Ali meniupnya. Tak lama kemudian muncul dua unta dengan pelana yang siap mengantar mereka berdua ke tujuan yang sudah ditentukan oleh Zhafir.
Lea menaiki unta itu dengan mudah karena ia sudah terbiasa menunggangi kuda dengan abaya di sekolahnya. Berbeda dengan Ali ia kebingungan bagaimana cara ia menaiki unta itu. Tapi ajaibnya unta tersebut tanpa disuruh sudah menurunkan sedikit badannya agar Ali dapat naik dengan mudah.
Unta mereka berjalan dengan cepat menuju tujuan, sampai-sampai Ali hampir terjatuh dari untanya karena kehilangan konsentrasi. Mereka tiba di bangunan bergaya Timur Tengah dengan banyak tiang di depannya dan juga memiliki hamparan rumput hijau yang diatasnya terdapat pohon-pohon serta bunga yang bermekaran.
Ali dan Lea turun pas sekali di depan menara-menara menuju pintu utama. Saat mereka turun Zhafir berjalan menuju mereka berdua. “Wah ternyata kalian cepat juga sampai disini.” Bagaimana tidak cepat unta ini tadi hampir saja ingin membuatku terjatuh, batin Ali sambil melihat ke arah unta yang tadi ia tunggangi.
“Baiklah ini pas sekali, karena sebentar lagi peresmian Masjid Haydar-Khana akan dimulai, dan di dalam kita akan melaksanakan makan malam sebelum adzan maghrib berkumandang lalu kita akan beramai-ramai menuju Masjid Haydar-Khana karena jaraknya tidak terlalu jauh.” Zhafir diikuti oleh Lea dan Ali di belakangnya berjalan menuju ruangan utama tempat mereka akan makan malam.
Mereka disuguhi dengan banyak makanan khas Timur Tengah. Di sana terhidang menu utama yakni nasi briyani yang merupakan nasi yang dimasak dengan rempah-rempah serta tambahan yoghurt. Lea dan Ali serta seluruh orang di ruangan itu sudah selesai menyantap makan malam mereka. “Baik semuanya karena kita sudah selesai menyantap makan malam kita, ini waktunya kita untuk berjalan menuju Masjid Haydar-Khana dan melaksanakan shalat berjamaah di sana.” Tentu saja itu suara lantang Zhafir menyeru kepada seluruh orang.
***
Dalam perjalanan menuju Masjid Haydar-Khana ternyata cuaca tiba-tiba mendung. Ali reflektif mendongak ke atas melihat langit kenapa tiba-tiba sekali langitnya mendung. Bertepatan saat Ali dan Lea di depan menara dengan kubah biru, petir menyambar. Kali ini tanpa ada aba-aba tidak seperti sebelumnya. Kali ini baru satu sambaran petir cahaya keluar dari sela-sela batu bata. Ali dan Lea berpegangan tangan.
***
Kilatan cahaya itu mulai menghilang digantikan cahaya lampu darurat tanda bahwa Ali dan Lea sudah selesai dengan petualangan singkatnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.