Roti Lapis Isi Srikaya | Daan Yahya/Republika

Sastra

Roti Lapis Isi Srikaya

Cerpen Rinal Sahputra

Oleh RINAL SAHPUTRA

Radhia berdiri gelisah di depan pagar rumahnya. Rumah bata dua tingkat yang hampir selesai pembangunannya itu terlihat kokoh. Taman kecil di halaman depan dipenuhi aneka bunga yang sedang bermekaran. Radhia menggenggam erat plastik berisi roti lapis isi srikaya yang dia beli di bandara sebagai hadiah untuk Juned. Dari dulu, suaminya itu sangat menyukai roti lapis isi srikaya. Melihat taman yang tertata rapi dan jemuran baju yang dipenuhi popok kain bayi, Radhia merasakan sesak yang begitu hebat di dadanya. 

Suara motor terdengar mendekat. Dari jauh, Radhia mengenali sosok suaminya yang sedang mengendarai sepeda motor. Radhia tahu motor itu dibeli atas namanya, dari uang yang dia kirimkan selama merantau di Malaysia. Tiga tahun lebih Radhia berjuang di sana dan selalu mengirimkan setiap ringgit yang dia peroleh kepada Juned. Hatinya yang semula dipenuhi rindu, kini disergap rasa asing.

Seorang perempuan muda duduk di belakang Juned, menggendong bayi laki-laki mungil. Bayi itu menangis keras, seperti menggemakan tangisan dalam benak Radhia. Juned memarkirkan motornya dengan canggung. Lelaki tegap itu bahkan tidak berani menatap langsung ke arah Radhia. Perempuan di boncengannya juga terlihat gugup dan sesekali menoleh ke arah Radhia, seolah tahu bahwa dia sedang menjadi pusat perhatian.

Perempuan itu kemudian turun dengan cepat dari sepeda motor sambil menggendong bayinya yang masih menangis. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi sempat menunduk sebentar ke arah Radhia sebelum berjalan ke dalam rumah. Wajahnya asing bagi Radhia. Perempuan itu bukan dari kampungnya. Sebagian hati Radhia merasa lega karena perempuan itu bukan seseorang yang dia kenal. Tetapi di sisi lain, rasa cemburu merobek hatinya. Betapa mudahnya Juned melupakan Radhia dan menggantikannya dengan perempuan lain.

"Apa kabar, Radhia?" suara Juned terdengar pelan, nyaris tidak terdengar.

Radhia tetap diam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Angin sore yang berhembus membawa aroma tanah basah setelah hujan. Namun, Radhia merasa dadanya sesak dan matanya memanas. Radhia sekuat tenaga berusaha menahan air matanya. Dia tidak ingin Juned atau istri mudanya itu melihatnya menangis.

"Rumahnya bagus," ujar Radhia akhirnya, memecah keheningan. Suaranya bergetar, sarat dengan emosi yang dia coba tahan. "Hampir selesai, ya?"

Juned hanya mengangguk pelan. "Iya. Itu semua… dari uang yang kamu kirimkan."

Kalimat itu, meski mungkin dimaksudkan sebagai pengakuan, justru terdengar seperti hinaan di telinga Radhia. Semua jerih payahnya, semua malam tanpa tidur, dan semua ketakutan yang dia alami di negeri orang, kini telah terbayar dengan rumah megah ini. Rumah yang kini ditempati oleh Juned dan istri mudanya. 

Radhia menatap Juned dalam-dalam. Lelaki itu kini terlihat lebih rapi dan terurus.
   

Radhia menatap Juned dalam-dalam. Lelaki itu kini terlihat lebih rapi dan terurus. Kemeja dan celana kainnya tergosok dengan baik. Rambutnya tidak lagi segondrong dulu. Mata mereka beradu pandang. Radhia melihat rasa bersalah memantul dari tatapan Juned. Atau mungkin juga rasa takut kehilangan segalanya karena Radhia kini sudah kembali. Radhia menarik napas panjang dan memalingkan pandangannya. Di dalam hatinya, Radhia tahu bahwa Juned bukan lagi miliknya.

Radhia kembali ke rumah Ibunya yang menyambutnya dengan linangan air mata. Radhia mengingat masa-masa sulit ketika dia memutuskan meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Malaysia. Juned saat itu tidak bisa mencari nafkah karena situasi yang genting. Dituduh sebagai mata-mata tentara, Juned harus bersembunyi dan mengasingkan diri. 

Radhia yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang cuci pun memutuskan pergi merantau, mengikuti jejak beberapa perempuan lain di desanya. Ibunya yang sudah tua dia titipkan pada Cek Baiti, adik dari almarhum Ayahnya. Waktu itu, Radhia sepenuhnya abai dengan pergunjingan orang-orang. Tidak sedikit warga di kampungnya yang beranggapan bahwa perempuan yang bekerja di Malaysia itu sama seperti pelacur. Tetapi, Radhia bertahan. Dia abai dengan semua cemoohan yang orang tujukan padanya. 

Selama merantau di Malaysia, Radhia tidak pernah menjual diri. Pernah dia kelaparan selama berhari-hari. Dia juga terkadang harus bersembunyi di dalam guci besar untuk menghindari razia karena statusnya di Malaysia sebagai pekerja asing ilegal. Radhia melakukan semua pekerjaan halal yang bisa dia temukan hingga akhirnya bertemu Makcik Asma, seorang janda yang memberinya pekerjaan tetap dan membantu mengurus dokumen legalnya.

Semua kerja kerasnya di Malaysia dia lakukan untuk Juned. Untuk masa depan mereka yang lebih baik. Namun, semuanya kini terasa sia-sia.

Terisak di kamarnya, Radhia kembali mengingat pertemuannya dengan Juned tadi siang.

"Aku tidak tahu kamu akan pulang," ujar Juned pelan, mencoba menjelaskan. "Tidak ada yang memberitahuku. Aku..."

"Karena tidak ada yang tahu," potong Radhia cepat. "Aku ingin membuat kejutan. Aku ingin menjemputmu. Sekarang aku sudah punya izin tinggal di Malaysia. Aku boleh bekerja di sana dengan bebas dan kali ini kamu bisa ikut."

Juned terdiam. Kata-kata Radhia menggantung di udara, seperti mimpi yang baru saja dipatahkan oleh kenyataan.

"Dia siapa?" tanya Radhia akhirnya, matanya melirik ke arah pintu rumah yang sudah tertutup.

Juned menggaruk kepala yang tidak gatal. "Namanya Sari. Kami menikah tahun lalu. Bayi itu anakku."

Radhia tersenyum tipis, getir. "Bagus. Kamu sudah punya keluarga baru."

"Radhia, aku..."

Radhia tidak sanggup lagi menahan air matanta. Dia bergegas berbalik sambil menarik kopernya, menjauh dari Juned dan rumah yang dulunya pernah menjadi impian mereka berdua.

“Aku sudah ingin memberitahumu sejak lama tentang perselingkuhan Juned. Tapi aku tidak ingin dituduh yang macam-macam. Aku paham betapa besarnya cintamu pada lelaki itu.” Cek Baiti duduk di ujung ranjang. Bibinya itu ikut menangis bersama Radhia.

Radhia kini menangis lebih keras lagi. Rasa sakit di dadanya semakin tidak tertahankan. Radhia membenci dirinya sendiri. Meskipun sudah bertemu langsung dengan istri muda Juned, Radhia masih juga mencintai suaminya itu. 

“Semua terserah kepadamu. Kalau kau ingin menuntut cerai, aku dan Ibumu tidak akan menghentikanmu.” Cek Baiti memeluknya dengan erat.

Radhia terbangun dengan mata sembab keesokan harinya. Di sampingnya, Ibunya duduk dengan tenang, memintal benang sambil sesekali mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih. “Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Radhia?” Radhia dapat merasakan kegundahan di balik kelembutan suara Ibunya.

Radhia menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Bu. Hatiku seperti pecah berkeping-keping. Aku ingin marah dan menjambak perempuan itu, tapi aku juga tidak ingin kehilangan muka. Orang-orang pasti akan bergunjing dan aku tidak ingin mempermalukan Ibu lagi. Selama ini sudah cukup banyak pergunjingan mereka terhadap keputusanku merantau ke Malaysia.”

Ibunya menghentikan pintalan benangnya, menatap wajah putrinya yang penuh luka. “Radhia, hidup itu berat, tapi kamu tidak boleh kalah. Kamu sudah membuktikan dirimu bisa bertahan di negeri orang. Jangan biarkan keadaan ini mematahkanmu. Ibu dan Cek Baiti akan selalu mendukungmu.”

Sorenya, Juned mendatangi Radhia di rumah Ibunya. Radhia tidak menyangka bahwa suaminya akan mengunjunginya secepat ini. Aroma minyak wangi yang Juned pakai masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Radhia yang memilih minyak wangi itu dulu. Mata Radhia seketika berkaca-kaca. Dia masih belum yakin dengan keputusannya. Haruskah dia meninggalkan Juned sepenuhnya? Atau mencoba merebut kembali apa yang pernah menjadi miliknya?

“Kamu mau apa?” tanya Radhia dengan suara serak. Tatapannya tajam ke arah Juned.

Pertanyaan itu seperti tamparan keras bagi Juned. Dia terdiam lama, lalu mengalihkan pandangannya. “Aku masih mencintaimu, Radhia” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa menceraikan Sari. Aku tidak mungkin mengabaikan anak kami.”

Radhia tersenyum pahit. “Sebegitu mudahkah kau mencintai dua wanita secara bersamaan? Bertahun-tahun aku berjuang sendirian di Malaysia. Siang dan malam menjadi babu di perantauan. Kau tahu itu semua demi kita. Dan sekarang kau kesini untuk mengatakan bahwa kau tidak bisa meninggalkan perempuan itu?” Radhia sama sekali tidak mampu membendung air matanya.

Juned tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam, tapi itu tidak cukup untuk mengobati luka Radhia.

“Aku akan pergi,” lanjut Radhia. “Aku tidak akan tinggal di sini lagi. Rumah yang kau tempati dan motor yang kau miliki, biarlah semuanya menjadi milikmu. Tapi aku minta satu hal. Ceraikan aku dan jangan pernah menghubungiku lagi!”

Radhia berpaling menatap dinding rumah Ibunya yang sebagian sudah dimakan rayap. Rasa bersalah memenuhi benaknya. Selama ini dia seperti telah mengabaikan Ibunya dan hanya fokus membangun rumahnya sendiri. Padahal dia hanya ingin menjadi seorang istri yang berbakti sepenuhnya kepada suami. Bahu Radhia berguncang oleh isak yang tertahan.

Mata Juned berkaca-kaca. “Radhia, aku…”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi,” potong Radhia. “Aku sudah cukup terluka. Aku hanya ingin melanjutkan hidupku tanpa bayang-bayangmu.”

Radhia bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Juned yang masih terpaku di teras. Di saat yang bersamaan, Cek Baiti keluar sambil membawa nampan berisi kopi dan roti lapis isi srikaya yang Radhia bawa pulang kemarin siang.

“Silahkan dinikmati kopi dan roti lapisnya.” Cek Baiti sama sekali tidak tersenyum. Suaranya terdengar sangat dingin. Dia dari dulu tidak menyukai Juned. Tetapi dia tetap menghormati lelaki itu sebagai suami dari keponakannya. 

Juned masih termangu. Sejenak dia sempat ragu. Namun, akhirnya dia menyeruput kopinya dan memakan roti yang sudah dihidangkan. Rasanya manis dan lembut, tapi di balik itu ada pahit yang merayap di tenggorokannya. Untuk sesaat, Juned tersedak. Dia seketika meludahkan kembali sisa roti lapis isi srikaya yang di mulutnya ke halaman depan. Air matanya jatuh perlahan.

Rinal pernah menjadi ketua FLP Aceh dan bergabung dengan komunitas Tikar Pandan Dokarim. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan cerita anak tersiar di sejumlah media massa cetak dan online. Kumpulan cerpennya, Para Perempuan di Tanah Serambi, terpilih sebagai salah satu finalis penghargaan Sastra Rasa 2022. Rinal menerbitkan novel pertamanya, Hilangnya Sang Putri (e-book), melalui penerbit Tiga Serangkai pada Agustus 2023 yang lalu. Salah satu cerpennya, Piccadilly Gardens, terpilih dalam antologi “Minah dan 20 cerpen terbaik Waspada” yang diterbitkan FOSAD, November 2024.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kepada Jiwa-jiwa Kecil 

Puisi-puisi Ade Faulina 

SELENGKAPNYA

Petualangan Singkat Bersama Penggembala Unta

Cerpen Shofia Kayyisa Maftuha

SELENGKAPNYA

Di Gogoluas, dalam Pelukan Hujan

Cerpen Dody Widianto

SELENGKAPNYA