Di Gogoluas, dalam Pelukan Hujan | Daan Yahya/Republika

Sastra

Di Gogoluas, dalam Pelukan Hujan

Cerpen Dody Widianto

Oleh DODY WIDIANTO

Kelebat senja lalu berjatuhan di pucuk-pucuk pohon durian dan pohon cengkih. Saling berebut menerobos di antara dedaunan rimbun menuju tanah. Sur sesekali mengelus dada. Nyeri yang ia rasakan memang tak terlihat dari luar. Namun, rasanya sungguh menusuk-nusuk dada. Mau jadi apa bangsa ini jika generasinya berani kurang ajar terhadap para orang tua yang mendidiknya? Ia masih terus membatin.

Sur masih terus memikirkan apa yang terjadi tadi pagi. Ia yakin sekali jika apa yang dilakukannya demi kebaikan anak didiknya. Zaman telah berubah. Sur terus menggeleng. Betapa dulu anak-anak gampang sekali disuruh disiplin, menaati dan mengikuti segala aturan, mau menghormati yang lebih tua dan patuh pada tata krama. Sekarang, gempuran teknologi seakan menggerus adab dan sopan santun anak-anak itu.

Di antara kekalutan hatinya, ia masih terus mengumpulkan daun-daun yang telah berwarna cokelat dan sedikit mengerut itu dengan sapu lidi. Yang ia lakukan jika selesai mengajar di sekolah adalah mengumpulkan kleang, dedaunan cengkih kering untuk ia jual. Ia masukkan pada karung kecil. Ia akan menyerahkannya kepada pengepul. Satu kilo dihargai dua ribu. Kalau sedang mahal bisa tembus tiga ribu lima ratus. Kadang ia bisa mengumpulkan lima hingga enam kilo. Ini kesempatan besar sebelum musim hujan datang yang akan berganti dengan musim durian dan manggis.

Punggung tangan Sur mengusap dahi. Keringat mengalir menuju pipi. Masih beruntung, Sur punya sepetak pekarangan di lereng bukit peninggalan suami. Di umurnya yang hampir menginjak kepala empat, kerutan di dahi dan garis-garis lelah di bawah mata membuat raut wajahnya menua lebih cepat sepuluh tahun. Sebenarnya banyak yang berusaha dan menanyakan keseriusan Sur apakah ingin menikah lagi? Namun, Sur seolah ingin berfokus mendidik anak lelaki semata wayangnya. Juga anak-anak didiknya di sekolah. Hanya di sana, segala kepahitan dan kisah dukanya terobati. Melihat anak-anak yang juga seumuran dengan anaknya bisa bermain dan belajar bersama-sama.

Sur memanggul satu karung yang sudah penuh terisi kleang. Menuruni tebing-tebing. Berpegangan pada pohon-pohon singkong karet, sebab di bawahnya gemericik air terdengar dari sungai-sungai kecil yang mengalir. Salah langkah sedikit dan salah pijakan, bisa saja ia terperosok. Sur akan berjalan perlahan pulang dari Pagertengah, dari pekarangan sebelah rumah mertuanya, menuju rumahnya sendiri di Gogoluas. Sekali ia mampir dan menengok ibu mendiang suaminya yang juga sudah sangat renta. Setelah itu, ia akan melanjutkan setengah jam perjalanan pulang di tepi jalan aspal yang lebar dan tinggi menanjak. Sur ingat jika sebentar lagi, setelah senja meredup penuh, anaknya sudah pulang mengaji. Ia pasti akan meminta makan.

Kenapa telingamu?”

Pran, anak Sur menggeleng di depan piring putih yang masih kosong. Menunggu ibunya menuang nasi, sayur bayam panas dengan lauk tempe goreng. Sur sekali lagi melirik telinga Pran yang lebam, kemerahan. Ia tahu pasti itu ulah Pak Karim, guru ngajinya yang terkenal galak itu. Dulu, ia pun sering dimarahi oleh guru ngajinya yang sudah sangat sepuh, tetapi masih kuat naik turun gunung. Sur paham, anaknya pasti telah melakukan sesuatu.

“Pasti ada satu hal yang membuat Pak Karim marah? Coba ingat-ingat.” Sur membujuknya pelan.

Enggak sih Bu. Cuma tadi perang sarung sama si Joko itu. Eh sarungku terlempar ke wajah Pak Karim.”

Sur menggeleng. Meminta Pran jika besok ingin main-main di luar halaman langgar jika ia selesai mengajinya. Bukan di dalam ketika yang lain masih sibuk mendengar dan belajar mengaji. Tentu saja Sur akan membenarkan perlakuan Pak Karim. Namun, Pran tidak terima. Teknologi informasi membuat Pran yang baru kelas 2 SD lebih cepat dewasa dari yang seumurnnya ketika ia bilang akan melaporkannya ke polisi jika ia menjewer lagi sampai kesakitan. 

Kali ini Sur yang bergeming. Betapa mental anak-anak sekarang serupa tempe muda yang lembek. Sekali dimarahi, bukannya instropeksi diri malah menyalahkan orang lain. Mencari pembelaan seolah apa yang dilakukan adalah sebuah hak asasi yang harus dihormati. Tak pernah mencari kesalahan dalam diri dengan segala hal yang menimpanya. Aneh memang, tetapi nyata. Pikiran Sur menerawang lagi ketika Pran mendengar kata polisi. Dadanya tetiba sesak. Ia tak tahu apakah permasalahan pagi tadi akan berbuntut panjang dan bisa saja ia diseret ke persidangan. Sur menelan nasi bercampur sayur bayam dalam rasa yang sangat-sangat hambar.

“Pran besok harus minta maaf sama Pak Kiai.”

Hooh, Bu. Dari tadi pas pulang Pran mikir terus. Maafkan Pran ya Bu. Ibu juga ‘kan yang pernah bilang, kalau enggak ada Pak Kiai, enggak mungkin Pran bisa mengaji.”

Kali ini Sur mengangguk lembut. Apa yang seolah tercekat di tenggorokan, menahan marah untuk anaknya, berubah lega. Pran menyadari kesalahannya sendiri karena ia pun sering menasihatinya. Sebagai seorang pendidik, Sur selalu bilang ke Pran tentang batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar terhadap gurunya. Pran akan memahami itu ketika dewasa. Seorang pendidik, seorang guru, disiapkan bukan hanya untuk belajar, menghafal, dan memahami. Mereka semua ada juga untuk mengajarkan arti kedisiplinan dan taat aturan. Semuanya itu akan berguna bagi anak didiknya kelak jika mereka telah dewasa.

“Besar nanti Pran mau jadi polisi ah. Biar bisa nangkep orang-orang yang nakal. Pran sering dicegat sama Agus dan geng-nya Bu. Minta uang jajan.” Pran mengadu.

Sur menelan ludah. Tetiba tenggorok terasa nyeri. Andai ia tahu jika di lapangan tidak semudah angan-angan. Ia telah dengar para anak tetangganya banyak yang nyogok demi bisa jadi polisi. Tentu saja ada yang benar-benar ikut tes. Sangat cerdas, sangat sehat badannya. Namun, itu hanya hitungan jari dari ribuan orang. Ada juga yang bilang nitip ke pamannya. Sur tak heran. Hal yang tak akan pernah hilang di negara ini karena berkaitan dengan uang. Hubungan timbal balik yang menguntungkan.

“Pran yakin bisa jadi polisi yang jujur? Kalau mereka salah, Pran harus berani melawan. Kenapa tidak jadi tentara saja, atau pilot, atau dokter. Masih banyak pilihan bukan?”

“Pran tak suka kerja yang hanya duduk-duduk. Pran suka yang jalan-jalan dibayar Bu.”

Sur tersenyum. Pran pasti sering melihat polisi di pinggir jalan saat tilangan. Ia lalu menawarkan Pran agar jadi konten kreator Youtube saja. Biar jalan-jalan, lalu dapat penghasilan dari sana.

“Oh, ada yang seperti itu ya?”

“Tentu saja. Namun, mereka butuh puluhan tahun untuk itu. Tak ada hasil yang melimpah tanpa kerja keras yang melelahkan.”

Pran tak menjawab. Sekali sendoknya berbenturan dengan piring dan menimbulkan bunyi ting. Sur terus melihat pipi anaknya sedikit menggembung. Ada sesuatu yang belum lembut dan belum selesai dikunyah di dalamnya.

“Ibu sepertinya sangat lelah. Nanti biar Pran saja yang cuci piring.”

Sur mengangguk. Andai ia tahu jika wajah mendung di wajahnya ada kaitannya dengan apa yang baru saja dikatakan Pran. Sebuah cita-citanya. Pran tak salah. Namun, pekerjaan yang dicita-citakan Pran akhir-akhir ini seolah mendapat citra buruk. Dan Pran tak tahu jika Sur mengalami hal yang sebetulnya menyumbat jalan pikirannya. Tentang hal yang telah dilakukannya atas nama adab dan sopan santun.

“Nanti ibu bertemu dengan beliau di kantor Polsek. Ada yang ingin dibicarakan. Ini menyangkut anak didik ibu dan sebuah luka di tangannya. Entah itu karena lemparan penghapus, sabetan gagang sapu, atau mungkin karena remasan tangan, ibu bisa ceritakan semua kejadian di sana. Ini murid ibu, ibu yang merawat dan mendidiknya.”

Sepagi itu tiga orang dengan tubuh tinggi gempal datang ke rumah kecilnya di tepi bukit. Rumah yang hanya berdinding anyaman ambu, lantai plester kasar, dengan teras sempit karena terbentur tanah lereng bukit. Gaji tiga ratus sebulan tentu tak ada sisa yang bisa ia gunakan untuk memperbaiki rumah. Enam belas tahun mengabdi jadi guru honorer, ia seolah tak dihiraukan pemerintah. Perjuangannya mencukupi kebutuhannnya sehari-hari hanya dari menjual kleang. Terkadang, ia sering menangis tanpa sebab jika ingat mendiang suaminya. Dengan mudah teman-temannya bilang untuk menikah lagi. Biar ada yang membantu mencarikan rezeki. Namun, jatuh cinta dan perjalanannya ke belakang tak akan semudah itu. Ia punya anak. Kalau si Pran mau, beruntung. Kalau si Pran berontak? Ia tak tahu kelanjutannya.

“Izinkan saya mengantar anak dulu ke sekolahnya Pak.”

Dari tadi Pran sejatinya bingung. Kenapa sepagi itu banyak orang di rumahnya. Namun, Sur meyakinkan tak ada apa-apa. Mereka datang untuk membantunya. Begitu ucap Sur menentramkan. Walau Sur pun tak tahu, kejadian apa yang bakal menimpanya nanti di kantor. Ia perempuan biasa. Guru yang dipandang sebelah mata karena hanya honorer. Dan tentang kenakalan muridnya yang membuat ia marah, Sur yakin asap tercipta karena ada api. Masih dalam ingatannya, anak itu memanggilnya tanpa sebutan ‘Ibu Sur’. Hanya nama saja. Dengan menunjuk-nunjuk wajahnya karena tak terima dinasihati. Ia akan melaporkan ke bapaknya yang seorang polisi. Biar Sur dipenjara katanya. Bapak dan ibunya saja tak pernah memarahinya.

Di depan gerbang sekolah yang berbeda, Pran menyalami dan mencium punggung tangan ibunya. Sur menunduk sayu. Ia sedikit berlutut di depan Pran. Mengelus kepala anaknya. Bulatan mata Sur seolah hendak menurunkan hujan walau ia tahan. Tak ada yang biasa ia ucapkan selain ucapan semangat belajar. Juga sebuah pesan.

“Jika sampai malam ibu belum pulang, kamu ke rumah nenek ya di Pagertengah.”

Gerimis lalu turun. Sur berlari kecil menuju mobil polisi. Kemudian roda melaju perlahan dalam pelukan hujan.

***

Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya tersiar di berbagai media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Kompas.id, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Bangka Pos, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Suara NTB, Rakyat Sultra, dll. Silakan kunjungi akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Persinggahan

Puisi-puisi Rudiana Ade Ginanjar

SELENGKAPNYA

Ingatan Kromo

Cerpen Darju Prasetya

SELENGKAPNYA

Naras

Cerpen Darju Prasetya

SELENGKAPNYA