Sastra
Ingatan Kromo
Cerpen Darju Prasetya
Oleh DARJU PRASETYA
Kromo menatap kalender di dinding ruang tamunya. Tanggal 10 November tercetak tebal, mengingatkannya bahwa hari ini adalah Hari Pahlawan. Dia menghela napas panjang, pikirannya melayang pada masa lalu.
***
Kromo ingat betul bagaimana ayahnya dulu selalu mengomel setiap kali peringatan Hari Pahlawan tiba. "Pahlawan macam apa yang dirayakan? Yang mengangkat senjata dan menumpahkan darah?" gerutunya. "Padahal ada pahlawan-pahlawan yang tak pernah mengangkat senjata, tapi berjuang mati-matian untuk keluarga."
Saat itu, Kromo kecil hanya bisa terdiam mendengar ocehan ayahnya. Dia belum mengerti sepenuhnya makna di balik kata-kata itu. Yang dia tahu, ayahnya selalu berangkat pagi-pagi sekali ke pasar, membawa gerobak berisi sayur-mayur untuk dijual. Pulangnya selalu larut malam, dengan wajah lelah namun tetap tersenyum saat melihat Kromo dan adik-adiknya.
"Bapak pulang," ucapnya lembut setiap malam. "Ayo makan dulu."
Di atas meja makan sederhana mereka, selalu tersaji nasi putih hangat dan lauk seadanya. Terkadang hanya tempe goreng dan sambal, namun bagi Kromo kecil, itu adalah hidangan paling lezat di dunia.
"Makan yang banyak ya, Nak," ujar ibunya sambil menyendokkan nasi ke piring Kromo. "Biar besok bisa belajar dengan semangat di sekolah."
Kromo mengangguk patuh. Dia tahu betapa sulitnya orang tuanya berjuang agar dia dan adik-adiknya bisa terus bersekolah. Setiap hari, ibunya menjahit hingga larut malam, menerima pesanan baju dari tetangga-tetangga. Tangannya yang kasar dan penuh bekas jarum adalah bukti perjuangannya.
"Ibu tidak apa-apa," kata ibunya saat Kromo bertanya mengapa tangannya selalu terluka. "Yang penting kalian bisa sekolah. Ibu ingin kalian punya masa depan yang lebih baik."
***
Bertahun-tahun berlalu. Kromo kini telah dewasa, namun kenangan akan perjuangan orang tuanya masih terpatri kuat dalam ingatannya. Dia menatap foto ayah dan ibunya yang terpajang di dinding, tersenyum penuh haru.
"Bapak, Ibu," bisiknya lirih. "Kalianlah pahlawan sesungguhnya."
Kromo teringat bagaimana dulu, di tengah kesulitan ekonomi yang melanda, ayah dan ibunya tetap bersikeras menyekolahkan dia dan adik-adiknya. Mereka rela tidak makan demi membeli buku dan seragam sekolah. Bahkan ketika krisis moneter melanda di tahun 1998, saat harga-harga melambung tinggi, orang tuanya tetap berusaha sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa terus bersekolah.
"Pendidikan itu penting," kata ayahnya suatu malam. "Bapak dan Ibu mungkin tidak bisa memberikan warisan harta, tapi kami akan berjuang agar kalian bisa sekolah setinggi mungkin. Itu warisan terbaik yang bisa kami berikan."
Kromo ingat bagaimana dia sering melihat ayahnya pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan saat berjualan. Atau ibunya yang terkadang jatuh sakit karena terlalu lelah menjahit semalaman. Namun mereka tidak pernah mengeluh. Yang ada hanya senyum dan semangat untuk terus berjuang demi masa depan anak-anaknya.
"Kami ini pahlawan tanpa tanda jasa," canda ayahnya suatu hari. "Tidak ada yang akan mengingat kami di buku sejarah. Tapi tidak apa-apa, asalkan kalian bisa sukses dan bahagia."
***
Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, Kromo akhirnya mengerti makna di balik kata-kata ayahnya dulu. Dia sadar bahwa pahlawan tidak selalu identik dengan mereka yang mengangkat senjata di medan perang. Ada pahlawan-pahlawan lain yang berjuang dalam diam, tanpa gemerlap dan sorotan kamera.
Mereka adalah para orang tua yang rela bangun pagi buta demi menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya sebelum berangkat sekolah. Para buruh pabrik yang bekerja lembur demi bisa membeli buku pelajaran. Para petani yang mengais rezeki di bawah terik matahari agar anaknya bisa duduk nyaman di bangku sekolah.
Kromo teringat pada tetangganya, Pak Karso, yang bekerja sebagai tukang becak. Setiap hari, di bawah terik matahari atau guyuran hujan, Pak Karso mengayuh becaknya keliling kota. Tubuhnya yang kurus dan kulitnya yang menghitam adalah bukti perjuangannya. Namun Pak Karso selalu tersenyum bangga saat menceritakan prestasi anaknya di sekolah.
"Anak saya ranking satu lho, Mas Kromo," ujarnya suatu hari. "Katanya mau jadi dokter. Ya saya bilang, belajar yang rajin. Bapak akan terus mengayuh becak ini sampai kamu bisa pakai jas putih."
Lalu ada Bu Minah, penjual nasi uduk di ujung gang. Setiap subuh dia sudah sibuk memasak, menyiapkan dagangan yang akan dijual. Siang hari dia menjaga warung, lalu malamnya dia menjahit baju pesanan tetangga. Semua itu dia lakukan demi bisa menyekolahkan ketiga anaknya.
"Capek sih, Mas," katanya saat Kromo bertanya. "Tapi kalau ingat anak-anak bisa sekolah, rasanya hilang semua capeknya. Saya tidak mau mereka bernasib seperti saya yang cuma tamat SD."
***
Kromo tersenyum getir mengingat semua itu. Dia sadar betapa beruntungnya dia, memiliki orang tua yang begitu berjuang demi masa depannya. Berkat perjuangan mereka, kini Kromo bisa menjadi seorang insinyur sukses. Adik-adiknya pun telah berhasil meraih gelar sarjana dan bekerja di perusahaan-perusahaan besar.
"Bapak, Ibu," bisiknya lagi. "Terima kasih telah menjadi pahlawan bagi kami."
Kromo lalu teringat pada anak-anaknya sendiri. Meski kini hidupnya jauh lebih mapan dibanding orang tuanya dulu, dia tetap berusaha menanamkan nilai-nilai perjuangan pada mereka. Dia ingin anak-anaknya mengerti bahwa kesuksesan tidak datang dengan mudah, bahwa ada pengorbanan di balik setiap pencapaian.
"Nak," katanya suatu hari pada putra sulungnya. "Kamu tahu tidak, dulu kakek dan nenekmu berjuang keras agar Ayah bisa sekolah?"
Dia lalu menceritakan kisah perjuangan orang tuanya, bagaimana mereka rela tidak makan demi membeli buku, bagaimana mereka bekerja siang malam agar anak-anaknya bisa terus bersekolah. Air mata Kromo menetes saat mengingat semua itu.
"Karena itu, Nak," lanjutnya. "Jangan sia-siakan kesempatan yang kamu miliki sekarang. Belajarlah sungguh-sungguh. Jadilah orang yang berguna bagi masyarakat. Itu cara terbaik untuk membalas jasa kakek dan nenekmu."
***
Lamunan Kromo buyar saat terdengar suara ketukan di pintu. Dia beranjak membuka, dan tampaklah wajah cerah putrinya yang baru pulang sekolah.
"Ayah, lihat!" serunya gembira. "Aku dapat nilai sempurna di ulangan matematika!"
Kromo tersenyum lebar, memeluk putrinya dengan bangga. "Wah, hebat sekali! Ayah bangga padamu, Nak."
Dia lalu teringat bagaimana dulu, saat masih kecil, dia juga berlari pulang ke rumah membawa hasil ulangan untuk ditunjukkan pada orang tuanya. Betapa bahagianya mereka saat itu, meski lelah setelah seharian bekerja keras.
"Nak," kata Kromo pada putrinya. "Kamu tahu tidak, hari ini adalah Hari Pahlawan?"
Putrinya mengangguk. "Iya, Yah. Tadi di sekolah kami upacara memperingati Hari Pahlawan."
"Bagus," Kromo tersenyum. "Tapi tahukah kamu, pahlawan itu tidak hanya mereka yang berperang di medan tempur. Ada pahlawan-pahlawan lain yang berjuang dalam kehidupan sehari-hari."
Dia lalu menceritakan pada putrinya tentang perjuangan kakek dan neneknya dulu. Tentang bagaimana mereka berjuang mati-matian agar anak-anaknya bisa sekolah dan meraih masa depan yang lebih baik. Tentang pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa yang ada di sekitar mereka.
"Jadi, Nak," kata Kromo mengakhiri ceritanya. "Ingatlah selalu bahwa di balik setiap kesuksesan, ada perjuangan dan pengorbanan. Hargailah itu, dan jadilah orang yang berguna bagi sesama. Itu cara terbaik untuk menghargai perjuangan para pahlawan."
Putrinya mengangguk paham. "Iya, Yah. Aku akan selalu ingat itu."
Kromo tersenyum, memeluk putrinya sekali lagi. Dalam hati, dia bersyukur bisa meneruskan nilai-nilai perjuangan yang dulu ditanamkan orang tuanya. Dia berharap, kelak putrinya juga akan meneruskan semangat itu pada generasi selanjutnya.
***
Malam harinya, sebelum tidur, Kromo kembali menatap foto orang tuanya. Dia tersenyum, membayangkan mereka tersenyum bangga melihat pencapaiannya kini. Dalam hati, dia berjanji untuk terus menghargai perjuangan mereka dengan berbuat yang terbaik bagi keluarga dan masyarakat.
"Selamat Hari Pahlawan, Bapak, Ibu," bisiknya lirih. "Terima kasih telah menjadi pahlawan sejati bagi kami. Semoga kami bisa meneruskan semangat perjuangan kalian."
Kromo lalu memejamkan mata, bersiap menyongsong hari esok. Hari di mana dia akan kembali berjuang, menjadi pahlawan bagi keluarganya, seperti yang telah dicontohkan orang tuanya dulu. Karena dia tahu, perjuangan tidak pernah berakhir. Selalu ada kesempatan untuk menjadi pahlawan, meski tanpa tanda jasa, dalam kehidupan sehari-hari.
Darju Prasetya adalah pengajar di Jatirogo-Tuban. Telah menerbitkan beberapa buku antologi cerpen, yang terbaru berjudul “Dunia dalam Warna-Warni. Bisa dihubungi di prasetya56098@gmail.com
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.