Naras | Daan Yahya/Republika

Sastra

Naras

Cerpen Darju Prasetya

Oleh DARJU PRASETYA

 

Di tengah malam yang sunyi, Naras berdiri di depan pohon tua yang tertunduk layu di kebun belakang rumahnya. Pohon itu pernah hijau, rindang, dan menjulang, seperti harapan yang dulu ia tanam bersama Wira, murid yang dulu ia percayai sepenuh hati. Namun kini, dahan-dahannya patah, kulit kayunya penuh luka menganga, dan akarnya terlihat rapuh, seakan pohon itu memikul beban yang tak terlihat oleh mata. Naras menarik napas panjang, merasakan dingin embun yang meresap hingga tulang. Ia tahu ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang tidak lagi sejalan dengan nilai yang telah ia perjuangkan seumur hidup. Dan perubahan itu berawal dari orang yang paling ia percayai.

Naras tidak pernah membayangkan bahwa pohon yang ia tanam bersama Wira akan menjadi lambang dari sesuatu yang hilang. Setiap daun yang jatuh terasa seperti pertanda; setiap retakan di batang, seperti luka yang semakin menganga. Ia masih ingat hari-hari ketika Wira datang sebagai sosok muda yang penuh semangat. Wira adalah simbol harapan bagi banyak orang—seseorang yang ia angkat dari akar rumput dan yang diyakini akan menjadi penerus jalan perjuangan mereka.

Namun, seiring waktu, ia menyaksikan Wira mulai mengambil langkah-langkah yang tidak lagi mencerminkan prinsip-prinsip partai. Kebijakan-kebijakannya terasa asing, seolah-olah ia lupa akan janji-janji yang pernah diucapkannya. Keputusan-keputusan penting diambil tanpa berdiskusi dengannya. Bahkan, Naras mulai mendengar bisik-bisik di antara anggota partai, bahwa Wira sedang berusaha membangun kekuasaan yang terpisah, mengabaikan nilai-nilai yang dahulu mereka perjuangkan bersama.

Suatu hari, Naras memanggil Wira untuk berbicara di rumahnya. Ia ingin mendengar langsung dari mulut Wira, ingin tahu apakah bisikan itu benar atau hanya angin lalu. "Wira," katanya dengan nada yang lembut namun tegas, "Apa yang sedang kau lakukan? Mengapa jalan yang kau pilih kini tampak begitu jauh dari kita?"

Wira menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Naras, zaman telah berubah. Kita harus fleksibel dalam menghadapi perubahan, atau kita akan tertinggal."

"Aku paham soal perubahan, Wira, tapi prinsip tidak bisa berubah begitu saja. Kita membangun ini bersama, kau dan aku. Jangan lupakan siapa yang membawamu ke sini."

Wira menghela napas. "Aku tidak melupakan, Naras. Tapi cara-cara lama tidak selalu bisa menyelesaikan masalah baru. Aku harus mengambil keputusan yang menurutku benar, meskipun itu tidak selalu populer."

 
Tapi cara-cara lama tidak selalu bisa menyelesaikan masalah baru.
   

Percakapan itu meninggalkan perasaan getir di hati Naras. Hari demi hari, ia semakin merasa bahwa Wira bukan lagi orang yang ia kenal. Dia melihat tanda-tanda bahwa Wira mulai mengumpulkan kekuasaan untuk dirinya sendiri, mengabaikan suara partai, bahkan mungkin mempersiapkan seseorang dari lingkaran dalamnya untuk mengambil alih kepemimpinan setelah dia pergi.

Puncaknya terjadi ketika Wira secara terang-terangan mendukung sebuah kebijakan yang bertentangan dengan prinsip dasar partai. Naras merasa bagai ditikam dari belakang, dan seluruh kepercayaannya hancur berkeping-keping. Pohon tua itu, yang semakin rapuh, tampak seperti simbol dari ikatan mereka yang kini tak lebih dari sisa-sisa masa lalu.

Di akhir cerita, Naras kembali berdiri di bawah pohon itu, menyadari bahwa pohon tersebut tidak bisa diselamatkan lagi. Seperti dirinya, pohon itu harus merelakan satu per satu dahannya jatuh, karena akarnya telah rusak. Mungkin, pikirnya, ini adalah waktunya untuk menanam bibit baru—yang lebih kuat dan tahan dari segala pengkhianatan.

Malam itu, Naras berdiri lebih lama dari biasanya di bawah pohon tua yang semakin rapuh. Ia memandangi dahan-dahan yang tersisa, yang kini bergetar diterpa angin malam. Seolah-olah pohon itu berusaha menyampaikan sesuatu kepadanya—sebuah pesan terakhir dari masa lalu yang penuh makna. Ia tahu, tidak ada gunanya menyesali keputusan-keputusan yang telah diambil Wira, atau mengharapkan waktu bisa diputar kembali. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan luka yang begitu dalam, seperti akar yang terjerat dan tak mampu lagi menyerap kehidupan dari tanah.

Suara langkah kaki memecah keheningan. Naras berbalik dan melihat Wira berdiri di sana, sosoknya terlihat kecil dalam gelapnya malam. "Mengapa kau di sini?" suara Naras terdengar parau, mencerminkan emosi yang selama ini ia pendam.

"Aku hanya ingin melihatmu," jawab Wira, nada suaranya penuh keraguan. "Aku tahu, kau kecewa padaku."

Naras tertawa kecil, namun tidak ada kegembiraan di dalamnya. "Kecewa adalah kata yang terlalu ringan, Wira. Kau bukan hanya menyimpang, kau menghancurkan apa yang pernah kita bangun bersama. Aku memberimu kepercayaan, tapi kau menggunakannya untuk kepentinganmu sendiri."

 
Naras tertawa kecil, namun tidak ada kegembiraan di dalamnya.
   

Wira tidak segera menjawab. Ia memandang Naras dengan mata yang seolah meminta pengertian, tapi Naras tahu, tidak ada kata-kata yang bisa menghapus kenyataan. Mereka berdiri dalam kebisuan yang panjang, seperti dua orang asing yang pernah saling mengenal tapi kini terpisah oleh jurang yang tak terlihat.

Setelah beberapa saat, Wira berkata, "Mungkin kau benar, Naras. Tapi aku tidak bisa kembali. Jalan ini sudah kupilih."

Naras mengangguk pelan, menerima kenyataan yang pahit. "Maka aku juga harus memilih jalanku sendiri, Wira. Jika kau telah memutuskan untuk meninggalkan prinsip yang kita pegang teguh, maka aku akan menanam bibit baru. Sebuah pohon yang tidak akan lagi mengandalkan satu akar, tetapi akan tumbuh dengan banyak cabang dan akar yang saling menopang."

Dengan kata-kata itu, Naras membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari pohon yang dulu ia dan Wira tanam bersama. Ia tidak akan membiarkan luka ini menjadi akhir dari segalanya. Sebaliknya, ia akan menggunakan rasa sakit ini sebagai pupuk untuk pertumbuhan baru. Ia akan mencari orang-orang baru yang siap berjuang untuk prinsip yang tidak akan goyah, tidak akan mudah terbawa arus perubahan yang mengikis.

Wira memandangi punggung Naras yang perlahan menjauh, menyadari bahwa di balik segala keputusan yang ia buat, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak akan pernah kembali. Di sana, di kebun yang sunyi itu, hanya tersisa pohon tua yang berdiri seperti saksi bisu dari persahabatan yang kini telah runtuh.

Namun, di balik semua itu, ada sebuah harapan baru yang tumbuh. Harapan bahwa dari akar-akar yang rapuh, akan muncul tunas-tunas baru yang lebih kuat, yang tidak akan goyah oleh tiupan angin perubahan. Naras tahu, perjuangannya belum berakhir. Ia akan terus menanam dan memupuk prinsip-prinsip yang diyakininya, meski harus memulai dari awal lagi. Karena hanya dengan begitu, pohon baru yang kokoh akan tumbuh, menjulang tinggi di atas reruntuhan masa lalu.

Malam itu, Naras berjalan pulang dengan langkah yang mantap. Ia tahu, esok hari akan menjadi awal dari sebuah perjalanan baru, sebuah perjuangan yang tidak akan pernah berhenti. Dan di dalam hatinya, ia membawa sebuah tekad yang tak tergoyahkan: untuk menjaga api perjuangan itu tetap menyala, meski harus membakar habis sisa-sisa masa lalu yang telah membusuk.

Hari-hari setelah pertemuan terakhirnya dengan Wira terasa bagai sebuah perjalanan panjang bagi Naras. Ia merasakan sebuah kepahitan yang tak terlukiskan, seolah seluruh perjuangannya selama ini telah dihancurkan oleh orang yang paling ia percayai. Namun di sisi lain, ada sebuah tekad membara yang tumbuh, sebuah determinasi untuk memulai kembali dari awal dan membangun sesuatu yang lebih kokoh dari sebelumnya.

Naras mulai mengumpulkan orang-orang di sekelilingnya yang masih memegang teguh prinsip-prinsip lama. Mereka adalah para pejuang sejati, yang tidak tergoyahkan oleh rayuan kekuasaan atau kepentingan pribadi. Bersama, mereka merenungkan kembali nilai-nilai yang mereka yakini, mengingatkan diri akan tujuan mulia yang pernah mereka perjuangkan bersama Wira di masa lalu.

Pertemuan demi pertemuan diadakan, diskusi-diskusi panjang berlangsung hingga larut malam. Naras mendengarkan dengan saksama setiap pendapat, mencari benang merah yang dapat mengikat mereka dalam sebuah visi baru. Ia tahu, kali ini mereka harus membangun sesuatu yang lebih kuat, lebih tahan terhadap godaan dan pengkhianatan.

Lambat laun, sebuah rencana mulai terbentuk. Mereka akan memulai dari akar rumput, menyebarkan benih-benih perubahan ke seluruh pelosok negeri. Kali ini, mereka tidak akan mengandalkan satu pemimpin atau satu figur sentral. Sebaliknya, mereka akan menjadi sebuah gerakan yang tersebar, dengan ribuan cabang dan akar yang saling menopang.

 
Mereka akan memulai dari akar rumput, menyebarkan benih-benih perubahan ke seluruh pelosok negeri.
   

Naras menjadi motor penggerak dari gerakan ini. Dengan semangatnya yang tak pernah padam, ia mengunjungi desa demi desa, berbicara dengan rakyat jelata, mendengarkan keluh kesah mereka, dan menanamkan kembali prinsip-prinsip yang telah lama dilupakan. Setiap kali ia berbicara, ada percikan api yang menyala di mata para pendengarnya, sebuah harapan baru yang tumbuh dari kepahitan masa lalu.

Perlahan tapi pasti, gerakan ini mulai menyebar bagaikan api yang merambat di padang kering. Orang-orang dari berbagai latar belakang bergabung, membawa semangat dan keyakinan mereka sendiri. Naras tidak lagi sendirian, ia kini dikelilingi oleh ribuan pejuang yang siap menghadapi tantangan apa pun demi mewujudkan cita-cita mereka.

Tentu saja, ada pihak-pihak yang mencoba menghalangi gerakan ini. Wira dan para pendukungnya melihat Naras sebagai ancaman bagi kekuasaan mereka. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mematahkan semangat Naras dan pengikutnya, mulai dari kampanye hitam hingga intimidasi fisik. Namun, semakin mereka mencoba memadamkan api perlawanan, semakin besar api itu berkobar.

Pada suatu malam, ketika Naras sedang mengadakan pertemuan rahasia dengan para pengikutnya, sekelompok orang menyerbu masuk dengan membawa senjata. Mereka adalah anak buah Wira, yang diperintahkan untuk menghancurkan gerakan perlawanan ini sekali dan untuk selamanya.

Namun, apa yang mereka temukan di sana bukanlah sekelompok kecil pemberontak, melainkan sebuah pasukan yang solid dan tak tergoyahkan. Para pengikut Naras berdiri bersama, bahu membahu, siap menghadapi apa pun demi membela keyakinan mereka. Ketika pertempuran pecah, mereka tidak gentar sedikitpun. Sebaliknya, mereka bertempur dengan segenap jiwa raga, membuat para penyerang itu terpaksa mundur dengan kekalahan yang memalukan.

Peristiwa itu menjadi titik balik bagi gerakan Naras. Kemenangannya atas anak buah Wira menjadi simbol bahwa mereka tidak lagi bisa dianggap remeh. Rakyat yang semula ragu mulai berbondong-bondong bergabung, membawa harapan dan semangat baru dalam arus perubahan yang tak terbendung.

Pada akhirnya, Wira dan pendukung-pendukungnya tidak bisa lagi mempertahankan kekuasaan mereka. Mereka digulingkan oleh gelombang perubahan yang mereka coba tahan, digantikan oleh tatanan baru yang dibangun di atas prinsip-prinsip yang diperjuangkan Naras dan pengikutnya.

Di hari pelantikan pemerintahan baru, Naras berdiri di podium dengan senyum lebar terkembang di wajahnya yang dikerut usia. Ia memandang lautan manusia di hadapannya, ribuan wajah yang memancarkan harapan dan keyakinan. Lalu pandangannya jatuh pada sesosok pria tua yang berdiri di barisan terdepan, seseorang yang pernah menjadi sahabat karibnya di masa lalu.

Wira balas menatapnya, dengan sorot mata yang sulit diartikan. Mungkin ada penyesalan di sana, atau mungkin hanya kekosongan yang tersisa setelah semua yang telah terjadi. Namun Naras tidak lagi peduli. Ia telah menemukan jalannya sendiri, sebuah jalan yang dibangun di atas prinsip-prinsip yang tak tergoyahkan.

Ketika Naras membuka mulutnya untuk memberikan pidato pertamanya sebagai pemimpin baru, kata-katanya mengalir bagai air segar yang membasuh dahaga panjang rakyatnya. Ia berbicara tentang harapan, tentang keadilan, tentang masa depan yang lebih baik bagi semua orang. Dan di setiap kalimatnya, ada getaran semangat yang menular, sebuah keyakinan yang membara seperti api yang tak akan pernah padam.

Pada akhir pidatonya, Naras mengangkat tangannya ke udara, membuat gestur yang sudah lama dinanti-nantikan. Ribuan tangan lainnya terangkat, membentuk sebuah lautan kepalan tangan yang menggemakan tekad bersama. Di sanalah, di tengah kerumunan itu, Naras menyadari bahwa perjuangannya telah berbuah manis. Dari akar-akar yang rapuh, telah tumbuh sebuah pohon baru yang kokoh, dengan cabang-cabang yang menjulang tinggi dan akar-akar yang menembus jauh ke dalam tanah.

Saat itu, Naras tahu bahwa ia telah meninggalkan sebuah warisan yang abadi. Sebuah perjuangan yang tidak akan pernah berhenti, sebuah api yang akan selalu menyala di hati para penerusnya. Dan ketika suatu hari nanti ia harus pergi, ia tahu bahwa perjuangannya akan diteruskan oleh ribuan tangan yang siap memegang obor itu, membawanya menyongsong masa depan yang lebih cerah.

Darju Prasetya adalah pengajar di Jatirogo-Tuban. Telah menerbitkan beberapa buku antologi cerpen. Buku Antologi cerpen terbarunya berjudul “Dunia dalam Warna-Warni”. Bisa dihubungi di e-mail: prasetya58098@gmail.com

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Rumah Tanpa Tuan

Puisi-puisi Damay Ar-Rahman 

SELENGKAPNYA

Jangan Bunuh Mimpiku

Cerpen Polce Tifaona

SELENGKAPNYA

Batu

Cerpen Yin Ude

SELENGKAPNYA