Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Menjadi Umat Terbaik

Umat terbaik niscaya unggul dalam semua aspek kehidupan umat.

Oleh PROF HAEDAR NASHIR

OLEH PROF HAEDAR NASHIR

Umat Islam Indonesia mayoritas di negeri ini. Menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, terdapat  238,09 juta jiwa atau 86,93 persen dari total jumlah penduduk Indonesia 273,87 juta jiwa pada 31 Desember 2021. Angka tersebut bertambah 1,64 juta jiwa dibandingkan dengan posisi 30 Juni 2021 sebanyak 272,23 juta jiwa.

Namun mayoritas umat Islam Indonesia masih banyak masalah berat, khususnya ekonomi. Menurut Wapres dua periode, Jusuf Kalla, bila ada 100 orang terkaya di negeri ini, maka hanya sepuluh pengusaha Muslim. Sebaliknya, dari 100 orang termiskin, 90 orang adalah Muslim.

Hal senada dikemukakan oleh Wapres KH Ma’ruf Amin. "Kondisi sosial dan ekonomi umat masih jauh dari harapan. Pada kondisi sosial ekonomi dimaksud di antaranya adanya kesenjangan ekonomi yang dirasakan makin melebar," kata Kiai Ma'ruf dalam acara pelantikan pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) 2021-2023, di Jakarta, Senin (22/3/2021).

Padahal, umat Islam sebagaimana diidealisasikan Alquran diharapkan menjadi khayra ummah atau umat terbaik (QS Ali Imran [3]: 110). Bagaimana dapat menjadi umat terbaik bila secara ekonomi rentan.

 
Umat yang ekonominya dhuafa sering menjadi sasaran eksploitasi ekonomi, politik, dan keagamaan oleh pihak yang kuat.
 
 

Umat yang ekonominya lemah biasanya pendidikan, kesehatan, politik, sosial, dan kesejahteraannya pun ringkih. Umat yang ekonominya dhuafa sering menjadi sasaran eksploitasi ekonomi, politik, dan keagamaan oleh pihak yang kuat. 

Sungguh menjadi tantangan bagi para tokoh dan organisasi Islam bagaimana menjadikan umat Islam Indonesia bertumbuh kekuatan ekonominya sehingga terwujud cita-cita umat terbaik. Agar tidak selalu kalah dan menjadi objek dari minoritas yang kuat secara ekonomi.

Perhatian penting diarahkan dan difokuskan pada pemberdayaan ekonomi umat yang nyata, signifikan, dan tersistem. Terlalu asyik pada perhatian isu-isu politik, apalagi yang kontraproduktif, akan meninabobokan umat dan kekuatan Islam dari persoalan ekonomi yang menjadi masalah berat di negeri ini.

Masyarakat Islam

Umat terbaik dalam Alquran disebut “khayra ummah” sebagai karakter utama masyarakat Islam. Masyarakat Islam (al-Mujtama al-Islamy) sebagai suatu golongan secara normatif memiliki karakter yang melekat dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Konsep ”masyarakat Islam” dikenal lama dalam perkembangan peradaban Islam di dunia Muslim. Para pemikir Islam klasik memperkenalkannya sebagai konsep al-mujtama’ al-Islamy atau al-mujtama al-fadhilah.  

Ahmad Shalaby dalam karyanya Al-Mujtama Al-Islamy  menyebutkan bahwa masyarakat Islam telah dimulai oleh dan tumbuh di zaman Nabi Muhammad SAW ketika di Madinah. Masyarakat yang dibina Nabi SAW hingga akhir hayatnya itu profil dasar dari masyarakat Islam. Sedangkan ketika di Makkah, Nabi SAW membentuk sosok pribadi-pribadi Muslim yang di kemudian hari menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat Islam di Madinah.

Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimun dalam kurun sekitar 23 tahun itu lebih kuat orientasinya pada pembentukan masyarakat Islam ketimbang negara Islam. Lahirlah al-Madinah al-Munawwarah, masyarakat kota yang berperadaban tercerahkan.

Karakteristik masyarakat Islam di Madinah ditandai oleh ciri-ciri perubahan dari masyarakat Jahiliyah, yakni sebagai berikut.

(1) Dari mata pedang ke jalan damai, (2) Dari kekuatan ke undang-undang, (3) Dari balas dendam ke hukum pampasan (qisas), (4) Dari serba halal ke kesucian, (5) Dari sifat suka merampas ke kepercayaan, (6) Dari sifat suka mengasingkan diri ke arah dapat menguasai negeri Persia dan Romawi, (7) Dari kehidupan kesukuan berganti dengan sifat  rasa tanggung jawab pribadi, (8) Dari penyembahan berhala ke akidah tauhid, (9) Dari memandang rendah kaum wanita menjadi memuliakannya, dan (10) Dari sistim berkasta-kasta ke persamaan (Shalaby, 1957).

Di Indonesia, Muhammadiyah merupakan organisasi yang paling menonjol usaha dan tujuannya untuk mewujudkan “Masyarakat Islam”, yakni “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Menurut William Shepard, kekuatan Muhammadiyah disebut sebagai gerakan Islam modern yang moderat, karena usaha dan tujuannya membentuk masyarakat Islam, ketimbang membangun negara Islam.

 
Tujuan pada pembentukan masyarakat Islam itulah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan Islamisme dan revivalisme di dunia Muslim.
 
 

Tujuan pada pembentukan masyarakat Islam itulah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan Islamisme dan revivalisme di dunia Muslim. Dalam usaha mewujudkan tujuannya itu Muhammadiyah memiliki usaha-usaha sistematik yang terorganisasi melalui lembaga pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan pembentukan jamaah atau komunitas secara luas. Termasuk yang dilakukan oleh 'Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah yang mengembangkan amal usaha maju dan gerak praksis di basis komunitas.

Masyarakat Islam menurut pandangan Muhammadiyah adalah suatu masyarakat di mana ajaran Islam berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan, yang mengandung ciri-ciri sebagai berikut.

a. ber-Tuhan dan beragama. b. persaudaraan. c. berakhlak dan beradab. d. berhukum syar'i. e. berkesejahteraan. f. bermusyawarah. g. ikhsan. h. berkemajuan. i. berpemimpin dan tertib.” (PP  Muhammadiyah, 1968).

Organisasi Islam modern terbesar tersebut memformulasikan tujuan idealnya yakni terwujudnya masyarakat Islam yang terintegrasi dalam " Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah“.

Konsep “masyarakat Islam” yang dibangunnya tidak ekslusif, tetapi inklusif cerminan “Piagam Madinah”. Gerakan tajdid atau pembaruan keagamaannya melekat kuat dengan modernisasi seluruh aspek kehidupan umat dan bangsa yang mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan.

Reorientasi pandangan

Umat Islam Indonesia sebagai mayoritas niscaya hadir menjadi umat terbaik di dunia nyata. Perdebatan teologis yang tak berkesudahan, apalagi melahirkan perpecahan di tubuh kaum muslimin maupun dengan umat beragama lain mesti dihentikan.

Kesibukan dalam percaturan dan isu-isu politik partisan khususnya di lingkungan organisasi kemasyarakat-keagamaan, dialihkan energinya untuk membangun kehidupan umat yang lebih maju. Apalagi menjadi kuda-tunggang politik atas nama apa pun.

Orientasi politik ormas keumatan diwujudkan dalam gerak kebangsaan berwawasan dakwah yang melintas-batas dan nonpartisan.

 
Orientasi politik ormas keumatan diwujudkan dalam gerak kebangsaan berwawasan dakwah yang melintas-batas dan nonpartisan.
 
 

Jika kelemahan umat Islam yang paling menonjol itu di bidang ekonomi, maka menjadi wajib hukumnya membangun kekuatan ekonomi umat. Menurut kaidah, “taqdim al-aham min al-muhim”, utamakan yang terpenting dari hal penting.

Umat Islam jika ingin maju, penting memiliki prioritas memperkuat kemandirian dirinya melalui ekonomi. Kekuatan ekonomi akan menentukan kehidupan politik, budaya, dan keagamaan.

Siapa menguasai ekonomi maka akan menentukan hitam-putihnya bangsa dan negara. Kondisi Indonesia saat ini sejatinya dikuasai oleh aktor-aktor dan kekuatan-kekuatan ekonomi. Di belakang oligarki politik itu terdapat “invisible hand” oligarki ekonomi.

 
Siapa menguasai ekonomi maka akan menentukan hitam-putihnya bangsa dan negara.
 
 

Organisasi Islam di manapun jika ingin kuat, maka perkuat ekonominya. Organisasi Islam tidak bisa menggantungkan diri pada pihak lain, termasuk pada negara atau pemerintah. Beban pemerintah setiap periode selalu berat, sehingga semestinya organisasi-organisasi Islam dapat bergerak secara lebih mandiri.

Ormas keagamaan tidak bergantung pada APBN, apalagi dengan cara politisasi dan rezimentasi agama. Ormas selama masih berbasis “proposal” tidak akan naik kelas. Ormas yang masih mengandalkan “pesta politik lima tahunan” tidak akan bertumbuh kuat, bahkan ikut memperlemah budaya politik demokrasi yang bermartabat.

Bila terlalu bergantung, selain tidak akan bertumbuh kemandirian, pada jangka panjang akan memperlemah diri sendiri. Benalu di pohon rindang tetaplah rentan.

Kemandirian tidak otomatis dimaknai organisasi keagamaan tidak membutuhkan negara atau pemerintah, apalagi bersifat konfrontasi dan opisisi. Kemandirian meniscayakan kerja sama, kolaborasi, dan jaringan yang saling membutuhkan dan memajukan untuk kepentingan hidup bersama. Apalagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia meniscayakan kebersamaan dan persatuan secara “mutuality of interest” atau bersimbiosis-mutualistik.

 
Kemandirian tidak otomatis dimaknai organisasi keagamaan tidak membutuhkan negara atau pemerintah.
 
 

Kemandirian bukan menjadikan diri ekslusif, enclave, dan antipihak lain. Bantuan pemerintah dan pihak lain hasil kolaborasi yang elegan dan tidak merusak sistem dapat dimanfaatkan untuk memperkuat “capacity building” dan pemberdayaan masyarakat.

Organisasi kemasyarakatan di Indonesia seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain tidak sama-sebangun dengan masyarakat sipil (civil society) ala Barat yang keberadaanya vis a vis negara.

Kelahiran ormas-ormas besar tersebut mendahului dan ikut mendirikan Negara Indonesia, sehingga memiliki posisi tersendiri yang berbeda dengan keberadaan masyarakat sipil di negara-negara lain. Ormas-ormas Islam tidak diperhadapkan dengan negara, sebaliknya bukan subordinasi dari negara.

Posisi moderat merupakan titik temu ormas dan negara dalam relasi yang dinamis. Keliru bila ada pihak yang menyejajarkan ormas-ormas keagamaan sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO (non-govermental organization) dalam bangunan masyarakat sipil Barat.

Kini sudah tinggi waktunya memperkuat “capacity building” umat Islam dengan strategi pembangunan yang simultan. Di antara agenda yang mendesak dan strategis ialah membangun kekuatan ekonomi umat Islam Indonesia.

Nabi SAW mengajarkan agar umat Islam berposisi sebagai “yadu al-ulya” (tangan di atas) dan bukan “yadu al-sufla” (tangan di bawah). Kata pepatah, faqid asy-syayi la yu’ti, pihak yang tak punya apa-apa tidak mungkin memberi apapun.

 
Islam di tangan umatnya niscaya hadir sebagai ajaran membumi dalam praktik hidup utama yang unggul-berkemajuan berwawasan rahmatan lil-‘alamin!
 
 

Umat Islam jangan seperti pohon kering tak berbuah, lalu akhirnya mati. Orientasi keagamaan yang serbadogmatis, normatif, dan konservatif penting bertransformasi menjadi pemahaman keislaman yang profetik, aplikatif, dan progresif untuk terbangunnya umat terbaik.

Bangunan teologis “khayra ummah” atau umat terbaik merupakan idealisasi keagamaan yang meniscayakan aktualisasi dalam kehidupan nyata. Umat terbaik niscaya unggul dalam semua aspek kehidupan umat. Unggul dalam kualitas akidah, ibadah, dan akhlak sekaligus tercermin dalam seluruh aspek kehidupan muamalah seperti ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan sebagainya.

Ajaran akidah, ibadah, dan akhlak mesti fungsional dalam praktik hidup umat yang melahirkan kesalehan diri dan kesalehan sosial. Islam dalam berbagai dimensi ajarannya tidak berhenti dalam keagungan teologis di atas langit.

Islam di tangan umatnya niscaya hadir sebagai ajaran membumi dalam praktik hidup utama yang unggul-berkemajuan berwawasan rahmatan lil-‘alamin!

Arah Baru Perda Anti LGBT

Perda anti LGBT perlu lebih mengarah pada tumbuhnya norma dan etika.

SELENGKAPNYA

Agar Perang Dunia III tak Terjadi

Indonesia terus melobi agar Perang Dunia III tak terjadi.

SELENGKAPNYA

Belajar Sabar dari Nabi Ayyub

Kisah hidup Nabi Ayyub AS ini menjadi inspirasi dan pelajaran berharga.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya