
Internasional
Agar Perang Dunia III tak Terjadi
Indonesia terus melobi agar Perang Dunia III tak terjadi.
OLEH AMRI AMRULLAH, KAMRAN DIKARMA
Perang antara Rusia dan Ukraina masih berkecamuk dan cenderung terus memanas dalam beberapa waktu ke depan. Hal itu tidak terlepas dari sikap Amerika Serikat dan negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang terus memasok persenjataan canggih ke Ukraina, sementara Rusia mulai menggunakan senjata canggih dengan daya rusak hebat, termasuk mengancam penggunaan hulu ledak nuklir.
Ancaman penggunaan hulu ledak nuklir itu disampaikan mantan presiden Rusia dan perdana menteri Rusia Dmitry Medvedev. Ia memperingatkan NATO, kekalahan Moskow di Ukraina dapat memicu perang nuklir. Belakangan, kekhawatiran muncul karena Rusia mulai mempersiapkan hulu ledak Poseidonnya.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Teuku Faizasyah mengatakan, Indonesia hingga saat ini terus berupaya melobi semua negara yang terlibat dalam perang Rusia-Ukraina agar mau menyudahi perang tersebut. Sebab, dampak perang ini telah merugikan hampir semua negara dunia, bukan hanya dari sisi politik dan keamanan, melainkan juga stabilitas ekonomi global.
"Bagi Indonesia, harapannya sekalipun sulit memprediksi kapan peperangan akan berakhir, pihak-pihak yg terlibat secara langsung dalam perang ataupun tidak secara langsung melalui bantuan persenjataan berketetapan untuk tidak menggunakan senjata pembunuh massal, yakni senjata nuklir," kata Teuku Faizasyah kepada wartawan, Kamis (26/1).

Mengenai perang yang akan mengarah ke penggunaan senjata nuklir dan pecahnya Perang Dunia III, Teuku Faizasyah menyebut tidak ada negara yang menghendaki hal itu terjadi. Sebab, penggunaan nuklir hanya akan menimbulkan kehancuran yang masif.
Karena itu, kata dia, Kemenlu RI terus melobi dan mengimbau agar pihak-pihak yang bertikai menempuh solusi damai. Dia mengakui, Indonesia sudah menyampaikan ajakan itu ke masing-masing pihak, baik Rusia dan sekutunya maupun Eropa dan negara negara anggota NATO.
"Indonesia juga menyampaikan dukungannya pada beberapa resolusi di PBB terkait isu yg berkembang di seputar konflik Ukraina ini," kata Teuku Faizasyah.
Menurut Federasi Ilmuwan Amerika, Rusia memiliki 5.977 hulu ledak nuklir, sementara Amerika Serikat memiliki 5.428. Di sisi lain, Cina memiliki 350 hulu ledak nuklir, Prancis 290 dan Inggris 225.

Sejauh ini, Washington belum mengungkapkan rencana langkah antisipasi jika Putin memerintahkan penggunaan senjata nuklir. Sementara itu, dalam hal senjata nuklir, Rusia memiliki keunggulan nuklir atas aliansi NATO.
Sementara itu, Amerika Serikat dan beberapa negara NATO terus mengirimkan bantuan senjata dan dana kepada Ukraina. Jerman telah menjanjikan pengiriman tank Leopard 2 buatannya ke Ukraina. Amerika Serikat juga menjanjikan pengiriman tank Abrams. Beberapa negara anggota NATO lain, seperti Polandia, sudah berkomitmen untuk mengirimkan puluhan tank Leopard ke Ukraina.
Pemerintah Rusia menilai keputusan Amerika Serikat (AS) dan Jerman menjadi bukti keterlibatan langsung AS dan Eropa dalam konflik di Ukraina. “Ada pernyataan konstan dari ibu kota Eropa dan Washington bahwa pengiriman berbagai sistem senjata ke Ukraina, termasuk tank, sama sekali tidak menandakan keterlibatan negara-negara ini atau aliansi dalam permusuhan di Ukraina. Kami sangat tidak setuju dengan ini,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, Kamis (26/1).
Peskov menekankan, semua yang dilakukan Barat untuk Ukraina merupakan keterlibatan langsung mereka dalam konflik. “Kami melihat bahwa ini akan berkembang,” ujar Peskov.

Pada Rabu (25/1), AS membatalkan keputusannya untuk tidak mengirim tank tempur M1 Abrams ke Ukraina. Washington memutuskan akan mengirim 31 tank tersebut untuk Kiev. Presiden AS Joe Biden mengatakan, tank-tank tersebut tidak menimbulkan ancaman ofensif terhadap Rusia.
“(Ukraina) meminta kemampuan kendaraan lapis baja baru untuk mempertahankan wilayah mereka, mempersiapkan serangan balasan baru, dan meningkatkan keamanan jangka panjang mereka,” kata seorang pejabat senior pemerintahan Presiden AS Joe Biden.
AS mengirim 31 tank karena jumlah itu yang dibutuhkan untuk membentuk satu batalion tank Ukraina. “Jadi, kami secara khusus memenuhi persyaratan itu,” kata pejabat itu.
Pejabat itu mengungkapkan, AS mengharapkan "negara lain" mengumumkan kontribusi kemampuan lapis baja tambahan, termasuk beberapa yang tersedia di medan perang dalam beberapa pekan dan bulan mendatang.

Pemerintah Ukraina mengatakan, Rusia menggelar gelombang serangan rudal dan drone bunuh diri ke negara itu pada Kamis (26/1). Sirine peringatan serangan udara berbunyi di seluruh penjuru Ukraina.
Belum ada laporan tentang target serangan, tapi Wali Kota Kiev Vitali Klitschko mengatakan, rudal Rusia menewaskan satu orang, kematian pertama dari serangan udara sejak malam tahun baru. Klitschko mengatakan, dua orang turut terluka karena serangan tersebut.
Kepala Pemerintah Kota Kiev Serhii Popko mengatakan, 15 rudal jelajah berhasil ditembak jatuh. Popko mengatakan, rudal itu ditembakkan "ke arah Kiev", tapi belum jelas jika ibu kota Ukraina itu memang targetnya.
Gubernur Wilayah Odesa Maksym Marchenk melaporkan, tidak hanya fasilitas infrastruktur energi Odesa yang rusak, tapi juga wilayah Ukraina lainnya. "(Itu menyebabkan) masalah besar pada pasokan listrik," katanya, Kamis (26/1). Serangan itu digelar setelah Jerman dan AS mengumumkan pengiriman tank tempur ke Ukraina.

Potensi perang
Pengamat militer dan pakar hubungan internasional yang juga peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Kusnanto Anggoro, menilai Rusia bisa saja benar-benar menggunakan senjata nuklirnya untuk berperang melawan Ukraina. Terlebih bila negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bersikap gegabah di Ukraina.
Hal itu ia ungkapkan kala menanggapi kekhawatiran banyak pihak bahwa perang antara Rusia dan Ukraina akan berlanjut hingga penggunaan senjata nuklir serta memungkinkan Perang Dunia III pecah. Prediksi itu didukung pernyataan mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev yang juga menjabat wakil ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia.
"Mengarah ke penggunaan senjata nuklir bisa saja. Ke perang Dunia III bisa jadi, meski lebih kecil kemungkinannya dibanding perang nuklir. Kalaupun Rusia menggunakan dengan cara seperti itu, tergantung reaksi NATO/Amerika. Kalau mereka hati-hati dan terukur, tak akan ada eskalasi ke perang nuklir. Tapi, kalau mereka gegabah dan Rusia membalas secara berlebihan, bisa saja," ujar Kusnanto.
Namun, ia menyebutkan, misalkan Rusia akan menggunakan senjata nuklir, hal itu tidak mungkin siap dalam enam bulan ke depan. Kalaupun akhirnya Rusia menggunakannya, ia memperkirakan itu akan berupa theatre nuclear yang sebenarnya masih termasuk dalam kategori senjata konvensional. "Paling diarahkan ke daerah yang tak banyak risiko korban manusianya," ujar dia.

Akan tetapi, melihat kondisi sekarang, ia menilai peperangan belum sampai ke penggunaan nuklir. Sebab, NATO sendiri sudah terpecah dalam posisi mendukung sepenuhnya Ukraina untuk terus berperang melawan Rusia. Sebagai contoh, kata dia, Jerman sempat ragu-ragu untuk mengirimkan tank-tank Leopard ke Ukraina.
"Negara NATO yang setuju akan ikut kirim cuma negara 'kecil', seperti Polandia, Spanyol, Belanda, sementara Prancis dan Inggris sampai sekarang tidak mau," katanya.
Amerika Serikat memang akan mengirimkan tank Abrams miliknya. Namun, menurut Kusnanto, tank Leopard dan Abrams tidak cocok untuk berperang pada musim dingin. Pengiriman itu pun ia sebut baru akan terealisasi sampai di Ukraina setelah April 2023.
Kusnanto menekankan, apa yang terjadi pada NATO saat ini adalah perpecahan di internal walaupun bukan berarti NATO akan bubar. Perpecahan itu juga diperparah setelah kemarahan Turki mengenai pembakaran Alquran oleh politisi Denmark di Swedia. "Sementara tanpa NATO, kekuatan negara Eropa juga akan lemah melawan Rusia," ujarnya.
Karena itu, kehadiran AS sangat diperlukan. Kusnanto mengatakan, tanpa AS dan soliditas NATO, negara seperti Jerman, Prancis, dan Inggris akan "berkelahi" satu sama lain. Itulah salah satu alasan Amerika Serikat terus menyuplai senjata dan dana untuk NATO dan Ukraina.
Saya kira pertanyaannya bukan soal kalah-menang.
Melihat fakta itu, Kusnanto menilai pencarian jalan damai di antara kepentingan tersebut akan sulit terwujud. "Saya kira pertanyaannya bukan soal kalah-menang. Seharusnya kepentingan dengan risiko tinggi perlu dianggap sebagai momentum bagi kedua belah pihak (Rusia dan NATO, Red) untuk mencari jalan damai," ujarnya.
Pada akhirnya, ia mengungkapkan, Ukraina hanya menjadi medan perang antara Rusia dan NATO, dengan menggunakan Ukraina sebagai umpan untuk uji senjata dan uji determinasi Rusia di kawasan zona euro. Sementara itu, stok misil AS yang menipis akan diproduksi lagi.
"Sedangkan, kesepakatan AS dengan Kanada untuk produksi besar-besaran masih belum jalan, dan masih panjang jalan untuk uji coba. Rusia juga belum menggunakan misil hipersonik Kinzhal-nya yang tidak akan bisa dicegat oleh misil milik NATO," ungkapnya.
Faktanya, kata dia, sekarang Rusia baru akan menggeser lokasi Kinzhal miliknya ke dekat negara-negara Baltik dan tidak diarahkan ke Ukraina. Langkah itu, menurut dia, lebih merupakan tekanan politik kepada NATO daripada ancaman militer ke Ukraina. "Entah berapa lama Rusia akan tetap seperti itu, waktu paling pas antara Juni-Oktober," kata dia.
Lantas, apakah ini akan jadi peperangan antara Rusia melawan NATO? Kusnanto menilai hal itu bisa saja terjadi, tetapi Rusia akan mempertimbangkannya secara sangat terukur. "Menurut saya, itu belum menjadi opsi bagi Presiden Putin, minimal sampai bulan Juni 2023. Antara Februari-Maret, Rusia masih akan fokus di Ukraina, terutama di Ukraina tenggara yang dekat Semenanjung Krimea," kata dia.
Tank Jerman dan Trauma Perang Dunia II Rusia
Jerman menyerang Soviet pada 1941 berbekal ribuan tank.
SELENGKAPNYAAS Susul Jerman Kirim Tank ke Ukraina
Pemerintah Ukraina juga meminta pengiriman jet tempur.
SELENGKAPNYAJerman Terus Didesak Kirim Tank ke Ukraina
Korban meninggal perang Rusia-Ukraina mencapai ratusan ribu.
SELENGKAPNYA