Tajuk
Tsunami Aceh dan Problem Kesadaran Bencana
Jujur, kewaspadaan kita semua akan bencana tetap minim.
Tragedi tsunami Aceh berumur 18 tahun kemarin. Warga Aceh mengingatnya dengan pahit, di tengah raungan sirene pada Senin pagi. Sebagian dari mereka, yang mengikuti acara di pusat berziarah ke kuburan massal Siron. Di situ, sebanyak 40 ribu warga Aceh dikuburkan bersama-sama. "Para Syuhada," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza, Ahad.
Pemerintah memberi tema 'Bangkit Lebih Kuat, Bangun Budaya Sadar Bencana'. Pesan ini, kita mafhum, bisa dianggap klise. Namun, tetaplah pesan yang amat kuat. Terutama bagian 'Bangun Budaya Sadar Bencana'. Sudah 18 tahun tsunami Aceh, kita tahu betul sejauh mana kesadaran masyarakat atas potensi bencana ini.
Jujur, kewaspadaan kita semua akan bencana tetap minim. Kalaupun tidak mau kita sebut abai. Padahal, bencana sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Masyarakat Indonesia hidup di deretan 'ring of fire' alias barisan gunung api yang siap memuntahkan laharnya kapan saja. Banjir dan angin topan akibat musim hujan juga kerap terjadi.
Jujur, kewaspadaan kita semua akan bencana tetap minim.
Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai 4 Desember kemarin memperlihatkan, ada 3.318 bencana alam terjadi di seluruh Indonesia. Ini berarti saban harinya warga Indonesia terkena sembilan bencana. Yang paling banyak adalah banjir, dengan 1.420 kejadian. Ini setara 42,8 persen dari total bencana. Kemudian ada cuaca ekstrem, diikuti tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi, dan lainnya.
Jawa Barat adalah provinsi yang terbanyak mengalami kejadian bencana alam dengan sebanyak 775 kali dalam setahun. Diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saban hari warga Jabar rata-rata mengalami dua kali bencana dalam setahun. Dari gambaran ini, terlihat juga bahwa seluruh wilayah Jawa tidak lepas dari daerah rawan bencana. Padahal, dari segi infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi ataupun kesejahteraan, Jawa adalah yang paling unggul dari seluruh pulau di Indonesia.
Sejauh mana pemerintah merespons kondisi bencana ini terlihat dari sejumlah langkah yang diambil. Di pusat, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Di daerah, pemerintah membentuk pula Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Di lingkungan yang lebih kecil lagi, di kelurahan dan kecamatan, dibuat program Desa Sadar Bencana. Kemudian dibentuk pula relawan taruna siaga bencana (tagana).
Dengan struktur yang demikian, idealnya kita akan melihat penanganan bencana ataupun tingkat kesadaran bencana masyarakat makin tinggi. Ternyata tidak. Pun berlaku di Jawa Barat, daerah dengan tingkat bencana tertinggi se-Indonesia. Ataupun di daerah lain.
Seolah tsunami Aceh 18 tahun lalu tidak mengajarkan apa-apa pada seluruh rakyat Indonesia.
Kita melihat publik dan pemerintah tetap tergopoh-gopoh, saat bencana besar mengadang. Apa yang harus dilakukan publik, atau bahkan satu keluarga saat terkena bencana tsunami, gempa bumi, banjir bandang, pun masih memperlihatkan bahwa mereka tidak mendapat pemahaman soal sadar bencana. Semua serba-terkaget-kaget.
Seolah tsunami Aceh 18 tahun lalu tidak mengajarkan apa-apa pada seluruh rakyat Indonesia. Gempa di Palu, yang diikuti oleh tsunami, lalu likuefaksi menjadi salah satu contoh terbaik dari kealpaan itu. Reaksi publik akan gempa bumi, tanah longsor, dan letusan gunung berapi juga dipenuhi oleh cerita kekalutan tanpa pemahaman bencana.
Di satu sisi, kita akui masih ada masyarakat yang abai akan sadar bencana ini. Tapi di sisi lain, ini menunjukkan, langkah pemerintah mengedukasi masyarakat soal waspada bencana ini belum berhasil betul. Padahal, pemerintah punya kewajiban untuk itu. Pemerintah berkewajiban melindungi dan menjaga warga negaranya. Di sisi lain, kita juga mengakui pemerintah turut andil lewat rencana tata ruang daerah yang tidak sinkron. Dengan mudah sekali investor bisa mengubah daerah-daerah yang seharusnya untuk konservasi alam menjadi daerah produksi, daerah investasi.
Delapan belas tahun tsunami Aceh harusnya membuat bangsa ini berubah lebih sadar bencana. Tetapi tampaknya belum. Ini jadi pekerjaan rumah kita bersama untuk tidak lagi mengingat tragedi tsunami Aceh sebagai kesedihan belaka. Ada persoalan yang belum bisa dituntaskan dari situ, yakni memupuk kesadaran bencana di tengah keluarga, sampai pada anak-anak kita.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Kemewahan dalam Alunan Suara
Respon pasar terhadap hadirnya pelantang premium ini cukup menjanjikan.
SELENGKAPNYAInspirasi Patung Kapten Muslihat untuk Anak Muda
Patung dipersembahkan untuk menghargai perjuangan Kapten Muslihat yang gugur ditembak lawan pada 25 Desember 1945..
SELENGKAPNYA