
Opini
Idul Fitri dan Mudik Spiritual
Kesalehan autentik diwujudkan dalam bentuk kesantunan, keberadaban, dan kewelasasihan.
MUHBIB ABDUL WAHAB, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Esensi Idul Fitri bukanlah mudik fisik dari kota ke kampung halaman, tetapi mudik mental spiritual, mudik rohani dari perbudakan hawa nafsu menuju penyucian diri dan spiritualisasi hati.
Mudik ke kampung halaman memang menjadi “tradisi nasional” tetapi perayaan Idul Fitri dengan mengumandangkan takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil, shalat berjamaah sejatinya ikhtiar memudikkan fitrah kemanusiaan menuju jalan kesucian, ketaatan, dan kedamaian.
Pesan utama Idul Fitri, peneguhan dan perekatan nilai kemanusiaan paling asasi: tetap hidup sehat, aman, damai dan harmoni dalam bingkai silaturahim keumatan dan kebangsaan.
Karena itu, sebelum Ramadhan diakhiri, zakat fitri wajib dibayarkan sebagai rasa empati terhadap fakir miskin. Zakat ini, tak hanya pembersih jiwa muzaki dari penyakit bakhil juga berperan membahagiakan fakir miskin dan peningkatan martabat mustahik.
Pesan utama Idul Fitri, peneguhan dan perekatan nilai kemanusiaan paling asasi: tetap hidup sehat, aman, damai dan harmoni dalam bingkai silaturahim keumatan dan kebangsaan.
Kesalehan autentik
Mudik paling ideal dalam konteks Idul Fitri adalah mudik spiritual. Pendidikan keimanan dan ketakwaan yang dihabituasi selama Ramadhan idealnya diwujudkan dalam kesalehan autentik berbentuk akhlak mulia dan karakter positif.
Kesalehan autentik adalah kesalehan lahir batin dengan spirit kemanusiaan, paralel dengan harapan lulusan Ramadhan untuk memohon maaf lahir dan batin kepada sesama. Ditunjukkan dengan amal sosial kemanusiaan.
Kesalehan autentik itu pernah diteladankan Nabi Muhammad SAW ketika mendapati seorang anak bersedih pada Idul Fitri. Beliau menghampirinya dan bertanya,’’ Nak, mengapa engkau menangis? Di manakah ayah dan ibumu?’’
Si anak hanya menggelengkan kepala sambil berkata terbata-bata.’’Tuan, orang tua saya telah tiada. Orang tua saya meninggal di medan perang bersama Rasulullah.’’
Kesalehan autentik adalah kesalehan lahir batin dengan spirit kemanusiaan, paralel dengan harapan lulusan Ramadhan untuk memohon maaf lahir dan batin kepada sesama.
Nabi dengan penuh kasih sayang lalu mengusap kepala anak itu sambil berkata,’’Nak, maukah engkau sekiranya Muhammad sebagai ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, Hasan dan Husain sebagai saudara dan teman bermainmu, dan rumah Muhammad sebagai tempat tinggalmu?’’
Kontan saja, wajah sedih anak itu berubah ceria. Itulah teladan Nabi. Kesalehan autentik itu menggembirakan, membahagiakan, dan memberdayakan sesama, tidak menyengsarakan, melemahkan, dan memiskinkan sesama.
Karena itu, Idul Fitri dirayakan dengan shalat berjamaah sebagai simbol kebersamaan dan kesatuan, dilanjutkan saling bermaaf-maafan dan silaturahim. Nilai-nilai silaturahim, sungguh sangat indah dan membahagiakan.
Memaafkan dan bersilaturahim merupakan energi positif dan modal sosial yang sangat dahsyat untuk mewujudkan integrasi, harmoni, sinergitas, dan kedamaian keumatan dan kebangsaan dalam bingkai kebinekaan NKRI.
Salah satu indikator kesalehan autentik adalah kemampuan pengendalian diri, sejurus dengan arti shiyam, dalam menjaga lisan, perbuatan, atau kekuasaannya untuk tidak menyakiti, menzalimi, menebar hoaks, ujaran kebencian, dan memfitnah orang lain.
Silaturahim menyadarkan jati diri kemanusiaan paling asasi, yaitu hidup bersatu, bersaudara, damai, dan harmoni.
Sebaliknya, kesalehan autentik diwujudkan dalam bentuk kesantunan, keberadaban, dan kewelasasihan. Dalam konteks ini, Nabi menegaskan,’’Orang Islam sejati adalah yang lisan dan tangannya dapat membuat orang lain aman, damai, selamat, dan sejahtera.’’(HR Muslim).
Silaturahim menyadarkan jati diri kemanusiaan paling asasi, yaitu hidup bersatu, bersaudara, damai, dan harmoni. Maka, silaturahim bukan sekadar temu-kangen, sambung rasa, dan saling mengunjungi sesama. Makna lebih substantifnya, komitmen merajut tali kasih persaudaraan.
Agenda silaturahim keumatan adalah merajut dan merekatkan kembali tali kekerabatan dan kekeluargaan. Ini harus dikembangkan dalam silaturahim kebangsaan yang menumbuhkan spirit kebersamaan dan kesatuan keluarga, yaitu keluarga bangsa Indonesia.
Silaturahim kebangsaan pada gilirannya harus membuahkan kesadaran kolektif bahwa kita semua itu bersatu, bersaudara, bersahabat, bersinergi, dan harus berkontribusi dalam menjaga dan memajukan NKRI.
Silaturahim kebangsaan pada gilirannya harus membuahkan kesadaran kolektif bahwa kita semua itu bersatu, bersaudara, bersahabat, bersinergi, dan harus berkontribusi dalam menjaga dan memajukan NKRI.
Rumah besar Indonesia harus dimiliki, dirawat, dan dijaga oleh semua komponen bangsa.
Jadi, silaturahim dalam momentum Idul Fitri sangat penting dirajut dan direkatkan oleh umat Islam dan warga bangsa demi terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia.
Silaturahim virtual melalui media sosial harus diaktulisasikan dalam berbagai aspek kehidupan dengan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta raya) yang dipahami dan diamalkan secara konsisten dalam berbangsa, dan bernegara.
Selamat Idul Fitri tahun 1443 H. Minal ‘aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.
Lelaki Buta yang Mencintai Rasulullah SAW
Meski tidak dianugerahi penglihatan, Ibnu Ummi Maktum mendapat keistimewaan berupa kecintaan terhadap agama meski nyawa taruhannya.
SELENGKAPNYAParadoks Dunia Antroposen
Manusia di dunia antroposen adalah titik sentral dari relasi alam dan lingkungannya.
SELENGKAPNYAPelabuhan Merak Makin Padat
Sebanyak 1,15 juta kendaraan telah meninggalkan wilayah Jabotabek.
SELENGKAPNYA