Geuchik Marzuki | Daan Yahya/Republika

Sastra

Geuchik Marzuki

Cerpen Rinal Sahputra

Oleh RINAL SAHPUTRA

Marzuki dulunya bukan siapa-siapa. Dia hanyalah seorang petani lada di sebuah desa kecil di Aceh yang dikelilingi pohon aren dan batang padi. Setiap pagi, Marzuki berangkat ke ladang dengan cangkul di pundak, mengenakan baju lusuh yang warnanya sudah pudar. Kehidupannya sederhana, seperti kebanyakan warga desa lainnya. Tapi beberapa tahun yang lalu, lelaki dengan wajah teduh itu muncul di kampung kami dengan janji-janji yang membuat warga tergugah.

"Kalau saya jadi geuchik, jalan-jalan di desa ini tidak akan lagi berlumpur. Meunasah dan tempat pengajian yang baru akan dibangun. Sekolah juga akan saya perbaiki sehingga anak-anak kita tidak perlu lagi belajar di sekolah yang atapnya bocor," katanya suatu sore di balai desa yang beratap daun rumbia.

Suara jangkrik bersahutan, menemani pidato sederhana Marzuki yang penuh keyakinan. Dia tidak menggunakan bahasa mewah atau slogan politik yang mengawang-awang. Kata-katanya mengalir apa adanya, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya.

Dengan mengenakan sarung dan peci hitam, Marzuki sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang haus kekuasaan. Dia seperti seorang saudara yang duduk di tengah-tengah keluarga besarnya. Warga di sini, yang sebagian besarnya adalah petani dan nelayan, merasa suara mereka akhirnya didengar.

Saat pemilihan digelar, Marzuki menang telak. Dia bukan hanya menang angka, tetapi juga hati para warga. Orang-orang percaya bahwa Marzuki adalah jawaban atas doa-doa panjang mereka selama ini.

Pada tahun pertama kepemimpinannya, jalan desa yang dulu penuh lumpur mulai diperbaiki. Truk-truk pengangkut material datang hampir setiap hari, membawa batu dan semen. Suara mesin-mesin pengeras jalan menggantikan keheningan desa yang biasanya hanya diisi suara burung dan gemericik air sungai. Warga yang melihat pekerjaan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh semakin yakin bahwa Marzuki adalah pemimpin yang tepat.

Tidak hanya itu, irigasi yang dulu rusak parah diperbaiki hingga sawah-sawah kembali terairi dengan baik. Meunasah lama yang hampir roboh juga diganti dengan bangunan beton kokoh, bercat putih bersih. Atapnya dari seng berkualitas, tidak lagi dari daun rumbia. Di dalamnya, lantai keramik baru memantulkan cahaya matahari yang masuk dari jendela. 

Untuk merayakan semua itu, Marzuki mengadakan kenduri besar di meunasah baru. Kuah beulangong dimasak dalam belanga besar, asapnya mengepul harum ke udara. Warga datang berbondong-bondong dengan membawa serta keluarga mereka. Di bawah pohon kelapa yang rindang, tawa dan cerita warga mengalir sambil menikmati nasi dan lauk-pauk yang disajikan.

"Ini semua untuk kita bersama," kata Marzuki sambil tersenyum dengan wajah yang bersinar.

Namun, seiring berjalannya waktu, warga mulai melihat sisi lain dari Marzuki. Pada tahun kedua, proyek-proyek pembangunan yang semula berjalan lancar mulai melambat. Beberapa warga juga mulai bertanya-tanya tentang dana untuk kelompok tani mereka yang tidak lagi cair seperti tahun sebelumnya. Sebagian lagi mendengar kabar bahwa Marzuki sering bepergian ke kota dengan alasan rapat penting, tetapi tidak ada hasil nyata yang terlihat.

"Saya dengar, Marzuki beli tanah baru di ujung desa," bisik seorang ibu saat menumbuk padi di lesung.

"Dan saya dengar, adik iparnya sekarang jadi kepala proyek pengairan," timpal seorang perempuan tua yang lain.

Kecurigaan mulai tumbuh seperti rumput liar. Meski banyak warga masih mempercayai dan menghormati Marzuki, tidak sedikit yang mulai mempertanyakan niat Marzuki yang sebenarnya. Apakah dia masih menjadi pemimpin seperti yang mereka pilih dulu atau dia telah berubah menjadi seseorang yang lupa pada janji-janji awalnya?

Marzuki pun seolah paham bahwa menjadi seorang geuchik bukan hanya soal membangun jalan atau memperbaiki meunasah. Kekuasaan, baginya, adalah permainan panjang yang harus dikuasai, bukan sekadar janji-janji manis di awal. Dia mengerti bahwa untuk mempertahankan pengaruhnya, dia harus bermain cerdas dengan memanfaatkan segala peluang dan menciptakan jaringan yang tidak mudah digoyahkan.

Setiap acara adat atau hari besar menjadi panggung baginya. Di bawah terik matahari atau di bawah naungan payung khas Aceh, Marzuki selalu tampil mencolok. Dia kerap mengenakan pakaian adat Aceh lengkap, kopiah meukeutop di kepala, dan rencong yang terselip di pinggang. Cara bicaranya pun kini penuh percaya diri, kadang diselingi petuah yang membuat warga semakin hormat.

"Kita harus bangga dengan tradisi," katanya suatu kali, ketika menghadiri perayaan kenduri blang. Di hadapannya, padi yang hendak ditanam tersusun rapi. Di belakang kerumunan, timnya yang membawa kamera sibuk merekam setiap momen. Video dan foto Marzuki kemudian disebarkan, memperlihatkan citra seorang pemimpin yang mencintai adat dan tradisi.

Warga terpesona. Mereka melihat Marzuki bukan lagi sekadar geuchik, tetapi seperti uleebalang zaman dulu yang kharismatik dan berwibawa. Di warung kopi, di sawah, bahkan di meunasah, nama Marzuki sering disebut dengan penuh kekaguman. "Jarang ada pemimpin seperti Marzuki sekarang ini," ujar seorang lelaki tua, disetujui oleh teman-temannya yang lain. 

Tanpa disadari oleh para warga di kampung kami, Marzuki mulai membangun catur kekuasaan. Dia paham, kekuatan seorang geuchik tidak hanya bergantung pada dukungan warga, tetapi juga pada hubungan dengan pihak-pihak berpengaruh di luar desa. Marzuki mulai mendekati aparat kepolisian, tokoh-tokoh kecamatan, dan para teungku di dayah. Dia mengundang mereka ke acara-acara desa, memberikan bingkisan atau sekadar mengobrol akrab di teras rumahnya yang kini lebih megah.

Lawan-lawan politiknya, terutama mereka yang diam-diam menentangnya, mulai menghadapi kesulitan. Salah seorang pemuda yang berencana mencalonkan diri sebagai geuchik tiba-tiba dipanggil oleh polisi karena dugaan penyalahgunaan dana masjid. Berita itu menyebar seperti api, meskipun tidak ada bukti yang jelas. Seorang warga lainnya, yang memiliki ladang di pinggir desa, menerima surat peringatan tentang kemungkinan penggusuran lahannya karena dianggap berada di kawasan hutan lindung.

Ketakutan mulai menyelimuti kampung kami. Warga yang biasanya bebas berpendapat kini memilih diam. Bahkan di warung kopi, pembicaraan tentang Marzuki dilakukan dengan bisik-bisik. 

Ketika masa jabatan pertama Marzuki hampir habis, dia mencalonkan diri untuk periode kedua. Proses pencalonan itu terlihat seperti formalitas belaka. Hanya ada dua kandidat lain yang mendaftar, itu pun dengan dukungan yang minim. Beberapa warga yang sempat berniat maju memilih mundur dengan alasan yang tidak jelas.

Saat kampanye, Marzuki kembali menggunakan taktik yang sama. Dia mengadakan kenduri, memberikan sumbangan untuk perbaikan jalan, dan menyalurkan bantuan berupa beras dan minyak goreng kepada warga miskin. Pada akhirnya, seperti yang sudah diduga, Marzuki kembali menang dengan suara mayoritas.

Di hari pelantikannya, Marzuki berdiri di tengah balai desa dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Sorak-sorai warga mengiringinya, meski di antara mereka ada yang bertepuk tangan dengan ragu.

 "Marzuki memang hebat," ujar seorang warga tua dengan lirih. Tapi dalam nada suaranya, ada keraguan yang tak terucapkan. Warga mulai menyadari bahwa Marzuki bukan lagi pemimpin sederhana yang dulu mereka pilih. Dia telah berubah menjadi seorang pemegang kekuasaan yang lihai dan sulit disentuh.

Di akhir masa jabatan keduanya, Marzuki mengumumkan rencana besar. "Sudah saatnya yang muda memimpin," katanya dalam sebuah pertemuan di meunasah. "Anak saya, Fatimah, akan melanjutkan apa yang telah kita bangun bersama."

Pernyataan itu mengejutkan banyak orang. Belum pernah ada geuchiek perempuan sebelumnya di kampung ini. Para warga di kampung pun memilih untuk melawan. Kelompok pemuda yang dipimpin oleh Ishak, seorang sarjana hukum yang baru pulang dari Banda Aceh, mulai menyusun perlawanan.

"Kita tidak bisa membiarkan kampung ini dikuasai seperti kerajaan," kata Ishak dalam sebuah rapat rahasia di rumah Pak Mahyuddin, seorang nelayan tua yang dihormati warga. "Kepemimpinan harus terbuka untuk semua orang."

Ishak dan kelompoknya berhasil meyakinkan Teungku Husin, seorang guru dayah yang dihormati, untuk mencalonkan diri melawan Fatimah. Kampung kami pun terbagi menjadi dua kubu, pendukung anaknya Marzuki dan pendukung Teungku Husin.

Ketegangan di antara kedua kubu kian memanas, terutama beberapa hari sebelum pemilihan. Malam itu, langit gelap tanpa bulan, angin dingin dari bukit membawa firasat buruk. Tiba-tiba saja, kebakaran besar terjadi. Api melahap beberapa rumah, termasuk rumah Ishak dan para pendukung Teungku Husin.

Warga panik. Suara takbir menggema di kampung, bercampur dengan tangis perempuan dan jeritan anak-anak. Beberapa orang mencoba memadamkan api dengan ember-ember air dari sungai, tapi usaha itu sia-sia. Api besar melahap semuanya. 

Keesokan paginya, Marzuki berdiri di meunasah. Wajahnya tampak penuh kesedihan. "Ini musibah. Kita harus bersatu," katanya. "Siapa pun pelakunya, biar aparat yang mengurus."

Namun, di balik nada suaranya yang lembut, ada sesuatu yang membuat warga bergidik. Tidak ada yang berani menuduh langsung, tetapi bisik-bisik mulai terdengar bahwa kebakaran itu bukan kebetulan.

Pemilihan tetap dilaksanakan di tengah suasana muram. Anaknya Marzuki menang telak. Kampung kami kini memiliki wajah baru. Jalan-jalan mulus, meunasah megah, dan sawah yang terairi dengan baik. Tapi ada sesuatu yang hilang. Wajah para warga tidak lagi bahagia. Semuanya seolah telah terkubur bersama abu rumah-rumah yang terbakar. Para warga hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, berapa lama lagi mereka harus hidup dalam bayang-bayang keluarga Marzuki?

 

Keterangan:

Geuchik: kepala desa

Meunasah: surau

Kuah beulangong: masakan tradisional khas Aceh serupa gulai kambing

Kopiah meukeutop: penutup kepala tradisional khas Aceh khusus untuk pria

Kenduri blang: acara syukuran disertai doa dan makan bersama yang dilaksanakan oleh para petani di Aceh ketika musim tanam dimulai

Uleebalang: golongan bangsawan yang menjadi penguasa daerah di Aceh pada masa dulu

Teungku: Ustaz

Rinal adalah alumni Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan cerita anak tersiar di sejumlah media massa cetak dan online. Kumpulan cerpennya, Para Perempuan di Tanah Serambi, terpilih sebagai salah satu finalis penghargaan Sastra Rasa 2022. Salah satu cerpennya, Piccadilly Gardens, terpilih dalam antologi “Minah dan 20 cerpen terbaik Waspada” yang diterbitkan FOSAD, November 2024.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Hirap Ditelan Arus

Puisi-puisi Hazuma Najihah

SELENGKAPNYA

Labirin di Kursi Kemudi

Cerpen Yepi Anita Asrulludin

SELENGKAPNYA

Aku Manusia Enam Setengah Tahun 

Cerpen Rusmin Sopian 

SELENGKAPNYA