![](https://static.republika.co.id/uploads/images/xlarge/_250217160301-840.png)
Nasional
Suramnya Pendidikan di Papua dan Penolakan MBG
Pegunungan Papua tertinggal secara pendidikan dari wilayah lain.
Oleh FITRIYAN ZAMZAMI, BAMBANG NOROYONO
JAYAWIJAYA – Suramnya pendidikan di Papua Pegunungan memicu aksi unjuk rasa menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kembali dilakukan pada Senin (17/2/2025). Perbaikan pendidikan dan pendidikan gratis dinilai lebih mendesak ketimbang program makan gratis.
Pada Senin, penolakan disampaikan murid sekolah dari berbagai tingkatan mewakili delapan kabupaten di Wamena, Jayawijaya, ibu kota Provinsi Papua Pegunungan. Saksi mata menuturkan pada Republika bahwa aksi dimulai di depan Honai Bupati Jayawijaya pada pagi hari. Dari lokasi itu, para peserta aksi yang terdiri dari ratusan murid dari SD hingga perguruan tinggi dikawal aparat keamanan bergerak ke Honai Gubernur Papua Pegunungan.
Para peserta aksi dilaporkan mewakili delapan wilayah di Papua Pegunungan yakni Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, dan Yahukimo. Meski begitu, terjadi juga kais penolakan program MBG di beberapa wilayah tersebut.
“Intinya mereka sampaikan menolak makanan gratis dan membutuhkan pendidikan gratis untuk masa depan anak-anak Papua,” kata Theo Hesegem, aktivi HAM senior Papua. Para pengunjuk rasa kemudian diterima Gubernur Papua Pegunungan.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/_250217160250-282.png)
“Gubernur menyatakan akan membawa aspirasi para murid di Papua Pegunungan ke pemerintah pusat,” kata Theo. Menurutnya, aspirasi itu akan dikawal Majelis Rakyat Papua (MRP), serta DPR di kabupaten dan provinsi Papua Pegunungan. “Saya juga nanti dari LSM dan pegiat HAM akan mengawal aspirasi tersebut.
Aksi kemarin yang kesekian dilakukan di Papua Pegunungan. Wilayah tersebut adalah salah satu pusat konflik bersenjata di Papua antara kelompok separatis dan TNI-Polri. Beberapa pekan lalu, ratusan pelajar melakukan aksi unjuk rasa di Yahukimo.
Memprihatinkannya sektor pendidikan, di Papua, utamanya Papua Pegunungan tergambar dalam angka-angka yang dilansir BPS. Merujuk BPS Pusat, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Papua Pegunungan adalah 5,10 tahun. Ini angka yang terendah di Indonesia, yang secara nasional reratanya adalah 9,22 tahun.
Demikian juga untuk angka partisipasi murni sekolah. Untuk sekolah dasar, angka partisipasi di Papua Pegunungan yang paling rendah, yakni 75,4 persen dibandingkan 97,94 persen rerata nasional. Untuk SMP dan sederajat, tingkat partisipasi di Papua Pegunungan juga rendah, pada 58,83 persen dibandingkan 81,73 persen rerata nasional. Sementara di tingkat SMA dan sederajat, di Papua Pegunungan angka partisipasi murninya hanya 45,60 persen dibandingkan rerata nasional pada 64,32 persen.
Merujuk pendataan kemendikbud, rasio kelas rusak di Papua Pegunungan juga tergolong tinggi. Dari 1.043 kelas, hanya 358 kelas yang tak rusak. Sementara yang rusak ringan mencapai 356 kelas, rusak sedang sebanyak 149 kelas, dan rusak berat 180 kelas.
Rasio guru-murid pada tingkat SD dan setingkatnya juga memprihatinkan di Papua Pegunungan. Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, setidaknya satu guru menangani 20 murid. Namun di ibu kota provinsi Jayawijaya, satu guru mengajar 29 murid. Sementara di Yahukimo, rasionya mencapai satu guru berbanding 68 murid dan di Tolikara satu guru menangani 41 murid.
Secara berkala, sekolah-sekolah di wilayah pegunungan tengah Papua juga jadi sasaran serangan kelompok separatis bersenjata. Selama 2023-2024, kepolisian mencatat 12 kasus pembakaran sekolah di wilayah pegunungan Papua. Yang terkini, pembakaran dilakukan terhadap sekolah SMP di provinsi tetangga Papua Pegunungan, yakni di SMP Agandugume, di Kabupaten Puncak, Papua Tengah pada Jumat (14/2/2025).
Konflik di Papua Pegunungan sejak 2018 juga memaksa hampir seribu siswa mengungsi hingga saat ini. Mereka mengungsi ke kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Jayawijaya. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Tahun 2024, sekitar 991 siswa pengungsi Nduga yang tersebar di beberapa yayasan pendidikan yang ada di Kabupaten Jayawijaya. Rinciannya pada jenjang PAUD sebanyak 181 siswa, SD sebanyak 716 siswa, SMP sebanyak 47 siswa, dan SMA sebanyak 47 siswa.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/_250217160237-290.png)
Merujuk lansiran Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Papua di Kemendikdasmen, kondisi belajar para siswa pengungsi ini memprihatinkan. Contohnya di Yayasan Pendidikan Papua Pegunungan (YPPP) Sapalek di Distrik Napua, Jayawijaya. “Sebanyak 456 siswa dengan rincian jenjang PAUD sebanyak 128 orang, jenjang SD sebanyak 283 orang dan jenjang SMP sebanyak 45 siswa memanfaatkan beberapa ruang kelas yang ada dengan beralaskan jerami/rumput kering untuk alas duduk,” bunyi lansiran BPMP Papua.
Tenaga pendidik mereka hanya berjumlah 15 orang, terdiri dari satu guru yang berstatus PPPK, 2 guru kontrak, 3 guru honorer, dan 9 guru yayasan.Jumlah guru yang ada dibagi lima guru mengajar PAUD, tujuh guru mengajar SD dan tiga guru mengajar SMP. Selain itu, para guru juga harus mengatur waktu untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan dengan serba terbatas baik dari fasilitas maupun sarana pendukung lainnya.
Dengan akumulasi kondisi pendidikan di Papua Pegunungan tersebut, tak heran, makan bergizi gratis jadi hal yang dianggap jauh dari prioritas. “Mereka (penolak) berpikirnya lebih baik sekolah gratis dari pada makan gratis,” kata Theo.
Ia menyatakan bagi warga Papua di pegunungan, biaya sekolah bukan murah. Ia juga menerangkan bahwa situasi perekonomian di Jawa jauh dibandingkan perekonomian di pedalaman Papua untuk menerapkan makan gratis. “Di sini Rp 15 ribu tidak cukup, tidak dapat apa-apa,” kata Theo. Yang bisa jadi makanan bergizi di Jawa tak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak Papua.
Kebijakan MBG juga ia pastikan memicu ketidakadilan dan kecemburuan di Papua. “Di wilayah Papua ini wilayah yang jangkauan sangat sulit. Makanan gratis hanya berlaku di kota. Kalau di wilayah terpencil tidak mungkin.”
Ia mencontohkan, di Yahukimo ada 51 distrik dengan 517 kampung. Untuk beperjalanan dari kampung ke kampung tak jarang harus menggunakan pesawat. “Jadi kalau Pemkab Yahukimo punya pesawat pribadi mungkin baru bisa.”
Persoalan lainnya, kata Theo adalah pelaksanaan di wilayah konflik. Di sejumlah wilayah yang diliputi konflik, anak-anak bahkan tak masuk sekolah. “Di Nduga semua sudah mengungsi keluar, sekolah tidak jalan dan jangkauan susah. Kebanyakan sudah di Wamena.” “Ini amankan dulu baru jalankan program makanan gratis. Anak sekolah saja masih mengungsi.”
Persoalan selanjutnya, sejauh ini yang melaksanakan program MBG adalah personel TNI-Polri. “Kalau TNI-Polri yang kelola, anak-anak di wilayah konflik akan merasakan trauma. Kecuali jika orang-orang yang betul-betul independen yang kelola makanan gratis atau sekolah yang kelola bisa.”
Ujung-ujungnya kata Theo, penolakan MBG ini terkait dengan kurangnya komunikasi antara pusat dan aktor-aktor di daerah. “Harus banyak bicara dengan warga setempat. Tanya masyarakat, mahasiswa mau seperti apa. Mungkin karena tidak sosialisasi, pemahaman tidak disampaikan sehingga mereka menolak,” ujar direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua tersebut.
Di Yahukimo, pada Senin, para pelajar yang menolak program MBG kembali membawa poster-poster di jalanan dengan narasi alternatif. “Aliansi Pelajar Seprovinsi Papua Pegunungan, Menolak Tegas Makanan Bergizi Gratis. Dan Menuntut Pendidikan Gratis,” begitu poster-poster para pelajar tersebut. “Tolak Makanan Gratis. Dan Berikan Kami Kesehatan Gratis,” dalam tulisan lain spanduk-spanduk yang dibawa para pelajar tersebut. “Kami Ingin Sekolah Gratis. Bukan Makan Gratis,” tulisan lain para pelajar. Aksi-aksi para pelajar menolak MBG juga terjadi di Tolikara, dan di Dogiyai.
Aksi penolakan para pelajar terhadap program MBG tersebut, mendapat dukungan dari kelompok separatis bersenjata Papua Merdeka. Juru Bicara Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB - OPM) Sebby Sambom menegaskan, program MBG bikinan Prabowo bukan solusi untuk mensejahterakan masyarakat di Papua. Kata dia masyarakat di Papua, lebih membutuhkan jaminan pendidikan gratis ketimbang makanan gratis.
“Jika pemerintah Indonesia niat baik untuk orang asli Papua (OAP), maka yang harus dilakukan adalah pendidikan gratis, bukan memberikan makanan gratis,” kata Sebby melalui pesan singkatnya, Senin (17/2/2025). Sebby menyarankan agar di Prabowo meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat pelajar di Papua untuk bisa lebih memiliki keahlian. “Lakukan kursus-kursus makanan, atau kursus-kursus masak-memasak, kursus pertanian untuk pengembangan ekonomi rakyat,” kata Sebby.
Dan kata Sebby, bukan makanan gratis yang dibutuhkan oleh para pelajar di Papua. Melainkan, kata dia, agar pemerintah Indonesia memberikan kepastian dalam kelanjutan pendidikan dengan pemberian beasiswa-beasiswa sekolah sampai perguruan tinggi. “Buatkan anggaran beasiswa untuk orang asli Papua dari TK (Taman Kanak-kanak) sampai perguruan tinggi,” kata Sebby. Kata dia, pemerintah berutang banyak dengan masyarakat Papua dari hasil pengerukan sumber daya alamnya.
Karena itu kata Sebby, para pelajar di Papua berhak untuk mendapatkan jatah pendidikan Rp 3 juta setiap bulannya. “Karena Indonesia sudah kuras semua sumber daya alam kami yang sangat besar. Papua adalah sumbangan terbesar untuk Indonesia. Jadi berikan dana Rp 3 juta setiap bulannya untuk anak-anak bersekolah. Dan itu sangat kecil dibandingkan apa yang Jakarta dapatkan dari Papua. Dan ini harus dilakukan oleh Indonesia sebelum Papua Merdeka,” ujar Sebby.
Belum ada tanggapan dari pihak pemerintah, maupun aparat keamanan terkait situasi terkini di Papua. Dari pihak kepolisian, maupun dari TNI tak memberikan respons atas aksi protes para pelajar atas program MBG yang dibubarkan paksa tersebut. Dan hingga kini, belum juga diketahui apakah aksi-aksi demonstrasi para pelajar tersebut meluas ke kota-kota utama di Bumi Cenderawasih tersebut.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Dana Zakat untuk MBG! Mungkinkah?
Menilik dana Zakat untuk modal Mustahik dalam Program Makan Bergizi Gratis
SELENGKAPNYAMengapa Makan Gratis Sekolah di Papua Ditolak?
Kelompok separatis bersenjata bantah ada di balik penolakan.
SELENGKAPNYAPengamat: Prabowo Prioritaskan MBG Ketimbang IKN
Pemerintah memblokir anggaran untuk IKN pada 2025
SELENGKAPNYA