Tokoh
Ratna Sari, Singa Podium PERMI Asal Pariaman
Ratna Sari semasa hidupnya dikenang sebagai orator dengan suaranya yang menggelegar.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN; periset dan pengajar sejarah, pernah menjadi Visiting Scholar di Faculty of Art University of Melbourne
Nama Ratna Sari tiba-tiba melambung di panggung nasional. Peristiwa itu berhubungan dengan penyelenggaraan Kongres Perempuan Pribumi pada 20-24 Juli 1935. Ratna Sari sebagai perwakilan dari Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) Perempuan, mati-matian membela persoalan hijab dan poligami. Kontan saja, ia mendapat serangan dari Soewarni Pringgodigdo – seorang aktivis Isteri Sedar. Siapakah Ratna Sari?
Mengenal Sosok Ratna Sari
Ratna Sari – perempuan kelahiran Anduring, Nagari Kayu Tanam Afdeling Batipuh X Koto Pariaman pada Juni 1914 (Arsip Konstituante No.1701/XII-58). Ia terlahir dari pasangan Naimun Datuk Rajo Api dan Chadijah. Kedua orang tuanya berasal dari Kayu Tanam – yang kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Padang Pariaman.
Sebagaimana sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau, Ratna Sari mengikuti garis keturunan ibunya yang bersuku Guci. Ia terlahir sebagai anak bungsu dari tiga orang yang sekandung, masing-masing M Nur Datuk Garang dan Khazinar Sutan Tianso. Sedangkan untuk yang tidak sekandung, ia mempunyai enam orang saudara.
Terlahir dari keluarga yang mampu, sepupu dari dr M Djamil tersebut mengawali jenjang pendidikannya di Schakelschool Pariaman pada 1922. Ia menamatkan sekolahnya lima tahun kemudian– tepatnya ketika revolusi prematur yang digerakkan Kuminih meledak pada 1 Januari 1927 – atau yang dikenal sebagai Peristiwa Silungkang.
Selepas peristiwa tahun baru, Ratna Sari melanjutkan studinya di Madrasatu lil Banaat (kini: Diniyah Putri Padang Panjang) yang dipimpin oleh Rahmah El-Yunusiah. Di sekolah khusus putri ini, Ratna Sari berkenalan dengan Rasuna Said – seorang guru, sekaligus mentor politiknya.
Selama dididik Rasuna Said, Ratna Sari telah dibina kesadaraan kebangsaannya, mengukuhkan posisinya selaku perempuan penggerak, dan melatihnya dalam berorasi. Sehingga tidak mengherankan, Ratna Sari semasa hidupnya dikenang sebagai orator dengan suaranya yang menggelegar.
Setidaknya, ada empat muridnya yang mengikuti jejak langkah Rasuna Said di panggung pergerakan nasional, masing-masing Rasimah Ismail, Tinur M Noer (ibu penyair Taufiq Ismail), Ratna Sari, Chasjiah, dan Fatimah Hatta. Ratna Sari berhasil menamatkan studinya di Diniyah Putri pada 1931 (Arsip Konstituante No.1701/XII-58).
Selepas studi dari Diniyah Putri, Ratna Sari mengajar di Thawalib Putri Padang Panjang sejak Februari 1931. Sama halnya dengan mentor politiknya, selama mengajar di Thawalib, Ratna Sari menanamkan kesadaran sebagai perempuan yang nantinya menggerakkan kaumnya, serta menyadari dirinya sebagai anak bangsa yang terjajah. Pergerakannya di panggung politik pun dimulai, tatkala ia bergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia (P.M.I).
Singa Podiumnya PERMI
Narasi awal Persatuan Muslimin Indonesia ini bermula dari hasil Kongres Sumatra Thawalib 22-27 Mei 1930 di Fort de Kock (kini: Bukittinggi). Awalnya organisasi ini diberi akronim PMI Dua bulan kemudian, tepatnya 5-9 Agustus 1930, digelarlah Konferensi pertama P.M.I.
Konferensi itu mengukuhkan Haji Abdul Madjid selaku ketua, Haji Iljas Jacob (wakil ketua), dan Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo selaku sekretaris umum. Bagaimana posisinya mentor politiknya Ratna Sari? Saat itu, Rasuna Said menjabat ketua urusan putri di P.M.I (Datuk Palimo Kayo, 1980).
Setahun berselang, P.M.I berganti akronim menjadi PERMI. Perubahan ini terjadi pada Konferensi II pada 9-10 Maret 1931. Dalam putusannya PERMI menegaskan sebagai partai yang non kooperatif terhadap Kolonial Belanda. Posisi ketua pun beralih ke Haji Djalaluddin Thaib asal Nagari Balingka Afdeling Oud Agam.
Hasil dari Konferensi II menarik untuk disimak. Satu diantaranya hak otonom diberikan pada perempuan yang bergerak di PERMI. Mereka dikukuhkan dengan nama PERMI Puteri – yang diketuai Rasuna Said. Adapun Ratna Sari menduduki posisi Wakil Ketua, dan dibantu oleh Fatimah Hatta, Chasjiah, dan Tinur M Nur. Sedangkan sahabatnya Rasimah Ismail, ditunjuk untuk memimpin PERMI Puteri di gemeente Padang (Datuk Palimo Kayo, 1980).
Sejak bertransformasi menjadi PERMI, partai lokal Sumatra Barat ini langsung menggeliat dengan menghadirkan corong pers Medan Rakjat, serta mendirikan Islamic College – untuk pembinaan kadernya. Dan, satu-satunya perempuan asal Pariaman yang menikmati pendidikan di Islamic College adalah Ratna Sari sejak 1931 dan menyelesaikannya pada 1935.
Selaku ketua PERMI Putri, Rasuna diberi mandat untuk mendirikan sekolah, membangun rumah kader-kader muda PERMI. Tujuannya adalah mengajari perempuan di PERMI beragam keterampilan, serta membaca dan menulis untuk kalangan perempuan yang tidak terdidik.
Dalam aktivitasnya sebagai propagandis, Ratna Sari kerap berorasi di hadapan publik untuk mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Di berbagai openbare Vereeniging, dalam orasinya Ratna Sari kerap mengritik Belanda yang membodohi dan melakukan praktik kapitalisme di bumi Indonesia. Karena keberaniannya mengkritik Belanda, Ratna Sari kerap disapa singa podiumnya PERMI.
Jerat vergader verbond pernah menimpa Ratna Sari. Bersama dengan adik kelasnya Fatimah Hatta, Ratna Sari menggelar openbare Vereeniging untuk PERMI Putri di Padang. Namun, acara yang diikuti massa itu, belum mendapatkan izin dari pemerintah gemeente Padang. Belum sempat menampilkan orasinya, dirinya bersama Fatimah Hatta dijerat dengan tuduhan melanggar aturan dalam Wetboek van Strafrecht.
Bila Rasuna Said dan Rasimah Ismail masa itu dihukum penjara satu tahun di sel Semarang (Dagblad Voor de Arbeiderspartij, 1933), adapun Ratna Sari dan Fatimah Hatta juga berurusan dengan Landraad Padang. Keduanya dijerat pasal karet, mengadakan rapat umum tanpa izin.
Baik Ratna Sari dan Fatimah Hatta, dijatuhi hukuman denda f 10 atau 10 hari penjara oleh Hakim Distrik di Padang. Meskipun banyak pihak mengklaim keduanya memilih untuk membayar denda, namun Ratna Sari dan Fatimah Hatta memilih hukuman 10 hari di penjara Muaro Padang (Sumatra Bode, 10 Juni 1933).
Berseteru dengan Soewarni
Selepas keluar dari sel, Ratna Sari tetap menjalankan profesinya sebagai guru di Thawalib Putri dan bergerak di PERMI. Momentum berikutnya yang kembali melambungkan nama Ratna Sari adalah ketika menjadi delegasi PERMI Putri di Kongres Perempuan Pribumi – yang diselenggarakan sejak 20-24 Juli 1935.
Acara yang diketuai oleh Sri Soelandari Mangoensarkoro itu diadakan, untuk menggalang persatuan di antara semua organisasi perempuan pribumi. Kisah debat panas bermula dari tampilnya Ratna Sari.
Singa podium PERMI itu dalam orasinya menegaskan, bahwa seorang muslimah seharusnya memakai kerudung, sebagai aturan dalam Islam untuk melindungi perempuan. Namun, ketika Ratna Sari mengemukakan persoalan poligami, suasana pun tiba-tiba menjadi riuh.
“Seorang perempuan, seharusnya menerima poligami sebagai bagian dari hukum perkawinan Islam” - serunya dengan suara menggelegar. Kontan saja, Soewarni Pringgodigdo dari Istri Sedar menginterupsi di tengah orasinya Ratna Sari.
Soewarni seorang nasionalis juga dikenal sebagai penentang hukum Islam yang ditudingnya sudah ketinggalan zaman. Suwarni dengan nada tersinggung pun langsung menuding Ratna Sari, “Saya tidak bisa menerima itu! Laki-laki persis seperti ayam jago, dimana-mana mau mencari betina!” (Burhanudin dan Fathurahman (ed), 2004).
Beberapa orang laki-laki yang turut menghadiri pertemuan itu, segera menimpali sergahan Soewarni untuk mereka. Setengah meledek, mereka bersama-sama menirukan suara ayam jago jantan, “kukuruyuk....”. Di tengah suara Soewarni yang heboh menginterupsi dan teriakan kokok ayam jantan, beberapa peserta perempuan tidak mampu menahan tawanya.
Belum puas, kembali Soewarni mengritik orasi dari Ratna Sari, bahwa Islam yang diyakininya tidak untuk menyakiti keberadaan perempuan. Oleh sebab itu, seorang laki-laki tidak berhak untuk menyakiti hati perempuan lewat poligami.
Kontan saja Ratna Sari dihentikan. Soewarni terus berdebat pada kongres tersebut, mengenai masalah-masalah yang tidak lagi dapat diterima oleh Soewarni, seperti keharusan tampil “berkerudung” di depan umum, dan masalah-masalah lainnya (De Advondpost, 7 Agustus 1935).
Di tengah debat panas itu, ada seorang perempuan dari Istri Sedar, yang mengagumi keberanian dari Ratna Sari. Dialah Maria Ulfah – yang kelak menjadi Menteri Sosial pada masa Kabinet Sjahrir.
Maria Ulfah mengenang sosok singa podium PERMI itu, “Ratna Sari dari PERMI berpidato berapi-api membela poligami sebagai kewajiban perempuan. Perempuan Minangkabau ini memang berapi-api, nasionalistis dan Islam yang hebat Ia memakai kerudung dan pakaian tradisional Islam.” (Saskia Wieringa, 1988).
Ketika kekuasaan Kolonial Belanda berakhir dan masuknya Dai Nippon, Ratna Sari didaulat sebagai anggota Gyugun Hooko Hokai Padang periode 1943-1945. Setelah itu. Ratna Sari tergabung dalam Majelis Islam Tinggi – yang kemudian berafiliasi dalam Partai Masyumi (Arsip Konstituante No.1701/XII-58).
Bagaimana kiprah Ratna Sari pasca kemerdekaan? Di awal kemerdekaan, ia diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Padang sejak 1945-1948. Tiga tahun kemudian sejak 1951, ia diangkat sebagai anggota DPDS Kota Besar Padang. Kiprah politik tertingginya, ketika ia terpilih duduk sebagai anggota Konstituante dari Partai Masyumi – sebagai hasil Pemilu 1955 (Arsip Konstituante No.1701/XII-58).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Awal Mula Islam Masuk ke Ranah Minang
Islam tiba di ranah Minangkabau antara lain berkat dakwah oleh ulama-sufi.
SELENGKAPNYADatuk Palimo Kayo, Sang Revolusioner Minangkabau
Ia tampil menyerang kebijakan Kolonial Belanda.
SELENGKAPNYA