Para anggota PERMI. | Dok Istimewa

Nostalgia

Dituduh Spreekdelict, Empat Perempuan PERMI Dibui

Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, peneliti, pengajar sejarah, dan pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne Australia

 

Empat orang perempuan Minang yang berhimpun dalam Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) dibui di lokasi berbeda pada tahun 1934. Mereka adalah Rasuna Said, Rasimah Ismail, Ratna Sari, dan Fatimah Hatta – aktivis perempuan PERMI yang dituduh spreekdelict, menebar kebencian terhadap pemerintah Kolonial Belanda, dan merusak rust en orde.

 

Bermula dari Empat Perempuan

Keempat perempuan yang bergerak di partai lokal PERMI, uniknya berasal dari sekolah yang sama, yakni Madrasatu lil Banaat –kini dikenal dengan nama Diniyah Putri Padang Panjang, binaan Rahmah El-Yunussiah. Siapa yang pernah menduga, dari sekolah khusus perempuan ini, lahir aktivis politik yang bergerak di bawah PERMI–yang mengusung warna ideologi Islam dan kebangsaan.

Rasuna Said perempuan yang dilahirkan di Maninjau pada 14 September 1910 di Nagari Panyinggahan Afdeling Oud Agam adalah perempuan yang telah malang melintang dalam dunia pergerakan. Rasuna mengawali pendidikannya di Volkschool Maninjau (1918), kemudian melanjutkan studinya di sekolah yang dibina Rahmah El-Yunusiah. Setamat dari Dinijah, ia langsung direkrut menjadi gurun bantu (Sufyan, 2022).

Gerakannya di panggung politik sudah dimulai, sejak aktif di sekretariat Sarekat Rakyat Padang Panjang (1925-1926). Pasca gagalnya Peristiwa Silungkang 1 Januari 1927, Rasuna yang frustasi kembali ke kampung halamannya. Kemudian ia dididik oleh orator ulung dari Partai Sarekat Islam, bernama Oedin Rahmani. Dari laki-laki yang pernah dibuang ke Boven Digoel Papua ini, Rasuna berubah menjadi singa podium.

Perempuan lainnya, bernama Rasimah Ismail. Perempuan kelahiran 1912 di Jambu Air, Fort de Kock (kini: Bukittinggi) – merupakan etek dari penyair terkenal Taufiq Ismail.  Usianya hanya terpaut satu tahun saja dengan ayahnya Taufik Ismail, yakni Ghafar Ismail. Rasimah mengawali pendidikannya di Volkschool Jambu Air, kemudian melanjutkannya di Diniyahschool Fort de Kock–yang dibina Mochtar Luthfie (Djaja, 1982). Setamat dari Diniyah, ia melanjutkan sekolahnya di Madrasatu lil Banaat. Di sana ia berjumpa Rasuna Said. Guru, sekaligus mentor politiknya (Sufyan, 2023).

Ratna Sari, perempuan yang lahir di bulan Juni tahun  1914 di Kayu Tanam onderafdeling Priaman. Terlahir dari keluarga mapan, Ratna Sari mengawali pendidikannya di Europesche Lagere School (ELS), kemudian melanjutkannya di Madrasatu lil Banaat selama tujuh tahun. Setamat dari Dinijah, ia meneruskan studinya di Islamic College (sekolah kadernya PERMI) selama empat tahun (Arsip Konstituante No.1701/XII-58). Siapa mentor politiknya? Tentu saja, Rasuna Said.

Dan yang paling muda bernama Fatimah Hatta lahir pada 15 November tahun 1917. Fatimah berasal dari negeri yang sama dengan Rasimah Ismail, yakni Jambu Air Fort de Kock. Mengawali pendidikannya di Volkschool, Fatimah melanjutkan studinya di sekolah yang dibina oleh Rahmah el- Yunussiah (Fatimah Hatta, 1980). Lagi dan lagi, mentor politiknya selama di Diniyah adalah Rasuna Said.

 

Geliat Perempuan PERMI

Keempat perempuan yang terafiliasi dalam Persatuan Muslimin Indonesia bermula dari hasil dari Kongres Sumatra Thawalib tanggal 22-27 Mei 1930 di Fort de Kock. Awalnya organisasi ini diberi akronim P.M.I. Dua bulan kemudian, tepatnya 5-9 Agustus 1930, digelarlah Konferensi pertama P.M.I (Sufyan dalam Kompas, 07 September 2024).

Konferensi itu mengukuhkan Haji Abdul Madjid selaku ketua, Haji Iljas Jacob (wakil ketua), dan Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo selaku sekretaris umum. Bagaimana posisinya Rasuna Said? Saat itu ia menjabat ketua urusan putri di PMI (Datuk Palimo Kayo, 1980).

Setahun berselang, P.M.I berganti akronim menjadi PERMI. Perubahan ini terjadi pada Konferensi II pada 9-10 Maret 1931. Dalam putusannya PERMI menegaskan sebagai partai yang nonkooperatif terhadap Kolonial Belanda. Posisi ketua beralih ke Haji Djalaluddin Thaib.

Hasil dari Konfrerensi II yang patut dicatat adalah hak otonom diberikan pada perempuan yang bergerak di PERMI. Mereka dikukuhkan dengan nama PERMI Puteri – yang diketuai Rasuna Said, Ratna Sari selaku Wakil Ketua, dan dibantu oleh Fatimah Hatta, Chasjiah, Tinur M Nur (ibu Taufiq Ismail). Sedangkan Rasimah Ismail ditunjuk untuk memimpin PERMI Puteri di gemeente Padang (Datuk Palimo Kayo, 1980).

Sejak bertransformasi menjadi PERMI, partai lokal Sumatra Barat ini langsung menggeliat dengan menghadirkan corong pers Medan Rakjat, serta mendirikan Islamic College – untuk pembinaan kadernya.

 

Dituduh Spreekdelict, Berujung Penjara

Selaku ketua PERMI Putri, Rasuna diberi mandat untuk mendirikan sekolah, membangun rumah kader-kader muda PERMI. Tujuannya adalah mengajari perempuan di PERMI beragam keterampilan, serta  membaca dan menulis untuk kalangan perempuan yang tidak terdidik. 

Dalam aktivitasnya sebagai propagandis, Rasuna kerap berorasi di hadapan publik yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Di berbagai kesempatan, dalam pidatonya Rasuna mengecam cara Belanda memperbodoh dan memiskinkan bangsa Indonesia. Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda, ia pun dijuluki “singa betina”. 

Jerat spreekdelict menimpanya, saat tampil berorasi dalam Kongres Perempuan PERMI pada November 1932. “Perempuan-perempuan dalam pertemuan ini, termasuk orang-orang yang belum merdeka, tetapi suatu saat nanti yang pasti akan merdeka” (De Sumatra Post, 5 Desember 1932). Sontak saja, kata-kata Rasuna ini diiringi gemuruh tepuk tangan dari perempuan PERMI.

Kembali dengan suara yang meninggi, Rasoena Said menyerang pemerintah Kolonial Belanda “Kembali saya tegaskan! Cukup lama, orang Indonesia telah bersabar. Sekarang sedang bergolak untuk kemajuannya dan memperoleh kemerdekaannya dan akan bekerja untuk itu dengan semua kekuatan yang ada.” (Sumatra Bode, 2 Desember 1932).

Di tengah pidatonyo yang berapi-api, Rasuna beberapa kali diinterupsi Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Rasuna tetap bergeming. Ia tidak mengacuhkan, protes dari anggota PID untuk menghentikan pidatonya. Rasuna kembali menegaskan, bahwa PERMI tidak di bawah pengaruh partai politik lain.

Nasib yang sama juga menimpa Rasimah Ismail. Rasimah dituduh menyebarkan ujaran kebencian kepada pemerintah, ketika ia berorasi di depan 100 orang massa tanggal 23 Oktober  1932 di Nagari Sungai Puar, afdelung Oud Agam. “Tanah Indonesia sudah disait-sait, seperti roti  oleh perekonomian Kolonial Belanda!”–demikian seorang hakim ketua Landraad Fort de Kock membacakan kesaksian dari asisten demang Sungai Puar (Sumatra Bode, 10 Februari 1933).

Akibat terlalu lancang mengritik pemerintah Kolonial Belanda, Rasuna Said dan Rasimah Ismail pun berurusan dengan hukum. Pada 5 Januari 1933, Rasuna diadili dihadapan Landraad Payakumbuh. 

Hoofddjaksa Payakumbuh menuduh, pada November 1932, Rasuna dengan kata-kata yang menghasut dalam sebuah rapat umum untuk perempuan Politieke Inlichtingen Dienst (PID).

Sidang yang diikuti seribu orang tersebut, menjadi saksi terjeratnya Rasuna dalam aturan pasal vergader verbond. Usai menjalani persidangan, keduanya divonis 1 tahun 3 bulan penjara (Dagblad Voor de Arbeiderspartij, 1933).

Putusan yang sama turut menimpa diri Rasimah Ismail. Landraad Fort de Kock tetap memutus bersalah Rasimah Ismail, anggota perempuan  PERMI. Ia dituduh melanggar Artikelen 153-154 dalam Wetboek van Straftrecht. Rasimah dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara. Pengacara Rasimah kemudian mengajukan banding atas vonis yang tidak adil untuk seorang gadis yang masih berusia 21 tahun.

Pasca vonis untuk Rasuna dan Rasimah, demonstrasi digelar oleh kalangan nasionalis di Padang (De Locomotief, 5 April 1933). Tepatnya pada tanggal 14 Juni 1933 demonstrasi besar-besaran di gelar, setelah dipindahkannya Rasuna dan Rasimah ke Padang. Keduanya diangkut Kapal Linschoten menuju Batavia. Kemudian Rasuna dan Rasimah dibui di penjara Jawa Tengah.

Lalu bagaimana dengan perempuan PERMI lainnya? Ratna Sari dan Fatimah Hatta pun turut dihadapkan ke pengadilan. Keduanya terlibat menggelar acara PERMI Putri di gemeente Padang. Keduanya dijerat pasal karet, mengadakan rapat umum tanpa izin.

Baik Ratna Sari dan Fatimah Hatta, dijatuhi hukuman denda f 10 atau 10 hari penjara oleh Hakim Distrik di Padang. Meskipun banyak pihak mengklaim keduanya memilih untuk membayar denda, namun Ratna Sari dan Fatimah Hatta memilih hukuman 10 hari di penjara Muaro Padang (Sumatra Bode, 10 Juni 1933).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat