Opini
Setahun Intifada, Thufan Al-Aqsa, dan Genosida Zionis Israel
Thufan al-Aqsa adalah perlawanan terbesar yang pernah dilakukan oleh pejuang Palestina.
Oleh M ANSHORULLAH, Presidium Aqsa Working Group
Thufan al-Aqsa hari ini telah genap berlangsung selama satu tahun. Sampai hari ke 365 ini, korban telah mencapai 41.825 syuhada. Angka itu terdiri dari 16.891 anak-anak, 11.458 perempuan. Sedangkan lebih dari 10.000 lainnya belum ditemukan di bawah reruntuhan. Untuk genosida itu, Zionis melakukan 3.651 kali pembantaian di seluruh wilayah Gaza. Selain itu, mereka juga menghancurkan masjid, gereja, rumah sakit, kampus, ratusan ribu rumah tinggal, dan ratusan kilometer jaringan jalan. Itu semua dilakukan dengan menjatuhkan lebih dari 85.000 ton bom.
Relawan Aqsa Working Group (AWG) secara konsisten membuat laporan genosida Zionis Israel di Gaza dan Tepi Barat termasuk al-Quds dan al-Aqsa setiap hari sejak minggu pertama Thufan al-Aqsa. Bukan hanya jumlah syuhada, data pertempuran di berbagai front dan dukungan internasional juga dirangkum. Rangkuman dampak genosida dibuat info grafis lalu diposting di media sosial mereka. Sedangkan rangkuman perlawanan dikompilasi sedemikian rupa hingga hari ini. Sumber utamanya adalah laporan Kementerian Kesehatan Palestina, media-media dan laporan pejuang sendiri. Umumnya data diakses dari akun Telegram pejuang, satu-satunya platform yang menolak pembatasan konten tentang Palestina. Semoga kelak, grafis dan kompilasi itu bisa diterbitkan menjadi pengingat kita semua tentang kejahatan Zionis, heroisme bangsa Palestina, dan pembelaan dunia pada Palestina dan Masjid Thufan al-Aqsa.
Thufan al-Aqsa adalah operasi atau pertempuran atau palagan (battle) dari perjuangan panjang kemerdekaan Palestina dan Pembebasan Masjid al-Aqsa. Perjuangan panjang itu sendiri telah berlangsung setidaknya sejak 1948 sampai nanti saat Palestina merdeka, Thufan al-Aqsa terbebaskan, dan Zionisme runtuh. Thufan al-Aqsa adalah perlawanan terbesar dan ‘tercanggih’ yang pernah dilakukan oleh pejuang Palestina sepanjang sejarah. Operasi itu adalah respon dari kezaliman Zionisme, bukan aksi teror seperti yang diframing oleh Zionis dan sekutunya.
Ada dua hal besar yang terkandung dalam operasi itu; perlawanan (Intifada) dan Genosida (on going Nakba). Dalam hal perlawanan, Thufan al-Aqsa membuka mata dunia tentang profil bangsa itu yang begitu berani, tabah, dan sabar merebut tanah mereka dan melindungi Masjid al-Aqsa. Slogan lan narhal (tidak akan pergi) menggambarkan bahwa mereka rela mengorbankan apa saja, termasuk jiwa mereka dari pada harus pergi mengungsi. Meninggalkan tanah mereka dan Masjid al-Aqsa lalu dicaplok oleh Zionis. Meskipun mereka menyadari sepenuhnya bahwa teknologi perang mereka jauh di belakang musuh, Zionis Israel. Di atas kertas, sulit untuk menang apalagi di belakang Zionis ada Amerika dan Inggris.
Tetapi bangsa Palestina yakin bahwa iman mereka pasti akan menang. Ini adalah perang antara iman (faith) yang berakar di setiap hati pribumi dari generasi ke generasi melawan mesin (steel) milik pemukim ilegal, bangsa yahudi yang datang merampas dan menjajah (faith vs steel). Mesin itu tidak akan bisa mengalahkan iman bangsa Palestina. Jika di belakang Zionis ada Amerika dan Inggris, maka di belakang bangsa Palestina ada Allah Ta’ala dan umat manusia. Inilah inti dari gerakan perlawanan nasional Palestina; Intifada.
Kemenangan Intifada
Thufan al-Aqsa adalah operasi kilat yang dilakukan pagi hari tanggal 7 Oktober 2023. Operasi ini direncanakan dan dilaksanakan oleh sayap militer seluruh faksi pejuang Palestina, bukan hanya Al Qassam sayap militer Hamas. Saraya Al Quds sayap militer Faksi Jihad Islam, Brigade Abu Ali Mustafa sayap militer Popular Front for Liberation of Palestine (PFLP), sampai Brigade al-Aqsa sayap militer Faksi Fatah yang merupakan basis dari Otoritas Palestina (PA) ikut operasi ini. Mereka bahkan memiliki Joint Operation Room di Jenin dan Gaza. Semua faksi merespon provokasi yang dilakukan oleh Zionis sejak pertengahan September dan tentu saja merespon penjajahan dan semua pelanggaran hukum Zionis sejak 1948. Operasi itu membawa dampak yang luar biasa. Bukan hanya di wilayah Palestina, bahkan disambut secara global oleh umat manusia.
Operasi Thufan al-Aqsa juga merupakan aksi politik yang dilakukan untuk menggugat stagnasi perundingan internasional tentang apa yang disebut dengan solusi dua negara (two state solution). Stagnasi sejak perundingan Oslo 1993 yang pada kenyataannya semakin menguntungkan Zionis. Bahkan patut diduga, stagnasi itu justru direncanakan oleh Zionis, Amerika, dan Inggris dengan tujuan meredakan perlawanan bangsa Palestina sekaligus memperluas wilayah pendudukan dan memperbanyak dukungan internasional pada Zionis. Misalnya dengan memperbanyak negara yang normalisasi diplomatik dengan mereka. Stagnasi juga semakin membuat rakyat Palestina menderita, tanah mereka semakin tergerus. Dan komplek Masjid al-Aqsa semakin sering dinistakan. Operasi itu juga merupakan gugatan dari rakyat Palestina atas pembiaran yang dilakukan oleh pemimpin Arab dan dunia yang membuat Zionis Israel makin kebal dari jeratan hukum humaniter internasional.
Thufan al-Aqsa telah menang sejak hari pertama. Ini diakui oleh Fadi Nahhas, akademisi pengamat militer dari Beit Berl College Israel. Menurut dia, operasi itu telah meruntuhkan 3 dari 4 pilar IOF (Israel Occupation Force). Yaitu peringatan dini (advance warning), pencegahan (deterrence), dan pertahanan (defense). Ketiga pilar yang diklaim paling kuat sedunia itu runtuh dalam beberapa jam operasi yang dipimpin oleh Hamas. Tembok pintar setinggi 8 meter, panjang ratusan kilometer dan sistem pengawasan Zionis yang didukung teknologi berbasis AI terhadap perangkat komunikasi pejuang Palestina, semuanya gagal mengantisipasi serangan. Pejuang Palestina berhasil merencanakan dan mengorganisasi serangan sehebat itu tanpa menggunakan sistem komunikasi elektronik, yang membuat teknologi peretasan Zionis gagal dan tampak bodoh dimata dunia intelejen. Sedangkan pilar keempat; adalah hasil akhir berupa kemenangan (victory). Nahhas merasa belum bisa menilai hasil dari pilar ini karena perang masih berlangsung. Tetapi bagi dunia, sampai hari ini, kemenangan semakin nampak telah menjadi milik pejuang Palestina.
Kerugian (baca kekalahan) Zionis setidaknya bisa dinilai dari tiga ranah. Ranah pertama adalah garis depan pertempuran. Di Front Gaza, mereka sama sekali belum bisa menghentikan perlawanan pejuang. Tank Merkava menjadi bulan-bulanan pejuang setiap hari. Yeidiot Ahronot melaporkan, dikutip oleh Anadolu (4/8), sedikitnya 10 ribu tentara Zionis tewas atau terluka pada Agustus 2024. Saat konfrontasi terbuka dengan Hizbullah dimulai, tentara Zionis yang tewas lebih banyak lagi. Saat ini Zionis menghadapi 7 fornt; Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Yaman, Suriah, Irak, dan Iran. Ronen Manelis, mantan juru bicara Zionis menilai, dari 7 front itu tak ada satupun yang mendekati kemenangan Zionis Israel (The Cradle, 6/10). Sementara itu, dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Israeli Broadcasting Corporation (IBC) dikutip oleh The Cradle (7/10) menyimpulkan bahwa 73 persen orang Israel percaya bahwa mereka telah gagal melawan Hamas.
Ranah kedua adalah di wilayah domestik mereka sendiri. Politik domestik mereka pecah belah berantakan. Rezim Netanyahu yang terdiri dari koalisi konservatif ekstrimis menghadapi demonstrasi puluhan ribu warga mereka setiap hari. Puncaknya dicatat oleh Republika (9/9), 750.000 demonstran turun di Tel Aviv dan beberapa kota lainnya pada 7 September 2024 mengutuk Netanyahu yang mensabotase perundingan gencatan senjata dengan pejuang Palestina.
Sementara itu, dalam bidang ekonomi entitas Zionis itu juga berantakan karena kampanye militer (baca; genosida) mereka di Gaza dan Tepi Barat. The Conversation (5/9) memperkirakan 60.000 unit usaha Zionis Israel akan tutup di akhir tahun 2024 ini. Biaya perang yang sangat tinggi, ketidakpastian gencatan senjata, bahkan potensi perang regional pasca serangan Iran akan semakin memperburuk situasi ekonomi domestik mereka.
Di sisi lain, kepanikan pemukim ilegal di seluruh wilayah yang diduduki tak dapat dibendung. Menurut jajak pendapat yang dipublikasi The Times of Israel (6/10), setidaknya seperempat warganya (baca; pemukim ilegal) berencana meninggalkan wilayah yang mereka duduki, kembali ke Eropa, Amerika dan negara-negara tempat mereka dan leluhurnya berasal. Jika populasi orang yahudi pemukim ilegal di wilayah yang diduduki sebanyak 7.5 juta jiwa (The Times of Israel, 30/8/2022), maka hampir 1.9 juta diantara mereka berencana pergi. Sebelumnya, sejak awal perang ratusan ribu pemukim ilegal telah pergi mengungsi. Mereka, jutaan pemukim ilegal itu memang bukan berasal dari tanah Palestina. Pikiran dan batin mereka tidak akan pernah benar-benar terikat dengan tanah itu. Berbeda dengan bangsa Palestina pemilik sah tanah Palestina.
Jajak pendapat itu sendiri dilakukan beberapa hari setelah rudal balistik Iran bertubi-tubi menghantam obyek vital pangkalan udara militer Zionis di Nevatim, bahkan ada yang jatuh dan meledak hanya beberapa puluh meter dari markas besar Mossad di Tel Aviv. Iron Dome dan David Sling kebanggaan Zionis tak ada gunanya dihadapan rudal balistik dan hipersonik Iran. Tak mampu menjamin keamanan jutaan pemukim ilegal itu. Padahal Iran 1.900 km jauhnya dari Tel Aviv.
Ranah ketiga, tentu saja dukungan global kepada Palestina yang membuat Zionis Israel terkucil. Dukungan militer secara langsung telah dilakukan oleh 5 negara Timur Tengah; Iran, Lebanon, Yaman, Suriah, dan Irak. Sedangkan dukungan politik luar biasa ditunjukan oleh ratusan negara di dunia. Setelah Palestina ditingkatkan statusnya di PBB menjadi anggota Istimewa, pada Sidang Umum PBB 18 September 2024, 124 negara anggota PBB menyetujui resolusi yang diajukan oleh Palestina. Isinya menyatakan bahwa pendudukan Zionis Israel di wilayah Palestina sejak 1967 adalah melanggar hukum internasional. Dan Zionis Israel dituntut untuk segera angkat kaki dari wilayah itu (Yerusalem Timur termasuk komplek al-Aqsa, Tepi Barat, dan Gaza) selambatnya 12 bulan sejak hari pemungutan suara.
Sementara itu dukungan sipil dari berbagai kalangan datang tak terhitung jumlahnya di seluruh belahan benua. Bahkan di negeri sokoguru sekutu Zionis, Amerika dan Inggris sendiri. Anak-anak muda profil tinggi dunia ramai-ramai membela Palestina. Mulai dari Greta Thunberg, Macklemore, Roger Waters, Mark Rufallo, Susan Sarandon, Lowkey, sampai Neo Sora, sturadara terkenal asal Jepang. Semuanya bersama jutaan masyarakat sipil dengan berbagai latar belakang sedunia, mengutuk kejahatan penjajahan Zionis Israel. Mereka tidak mau dicatat oleh sejarah berdiri di sisi yang salah membela narasi Zionis.
Zionisme memang mungkin belum akan bubar secepat yang kita harapkan, karena saat ini senjata utama mereka; Money and Media (uang dan media), sedang bekerja keras membalikan opini dunia dan meyakinkan sekutu mereka untuk tidak berhenti mempersenjatai mereka. Apalagi perang regional sudah diambang mata akan meletus. Tetapi bagaimanapun, Thufan al-Aqsa telah menjadi momentum yang menghentikan pesta penipuan mereka pada dunia. Kesadaran dunia telah demikan terbuka, kematian Zionisme tinggal menunggu waktu. Secara de facto, saat ini Zionis israel telah dikucilkan menjadi pariah state di komunitas internasional.
Genosida Kesetanan
Jika Thufan al-Aqsa adalah operasi perlawanan dan kemenangan, maka sebaliknya Zionis Israel dengan Operasi Iron Sword-nya dimata dunia adalah aksi genosida. Zionis bersusah payah meyakinkan dunia bahwa operasi mereka adalah aksi membela diri, memburu dan menumpas Hamas. Tetapi dunia tidak percaya, Iron Sword justru membuka mata semua orang akan wajah asli dzalim Zionisme yang ditunjukan oleh rezim Netanyahu yang kesetanan.
Bagaimana bisa, mereka membom satu blok berisi belasan tower apartemen beserta ribuan penghuninya hanya karena menduga ada seorang pejuang yang bersembunyi di sana. Bagaimana bisa mereka mengepung Hind Rajab dengan tank lalu menghujani gadis kecil berusia 6 tahun itu dengan 355 peluru. Bagaimana bisa mereka membom sekolah UNRWA, tempat ratusan anak mengungsi dan berlindung dan membuat tubuh-tubuh tak berdosa itu hancur. Bagaimana bisa mereka membom jamaah sholat shubuh di At Tabiin, padahal mayoritas jamaah adalah anak-anak, perempuan, dan lansia. Bagaimana bisa mereka (tentara IOF laki-laki) memperkosa tahanan di Sde Teiman (yang juga laki-laki) lalu dibela bahkan dilegitimasi dengan ayat-ayat Talmud. Bagaimana bisa, mereka membunuhi wartawan, pekerja medis dan tim penyelamat, relawan, bahkan staf PBB tanpa ampun. Bagaimana bisa mereka membom rumah sakit, masjid, dan gereja yang merupakan tempat-tempat yang dilindungi oleh hukum internasional.
Bagaimana bisa kekejian yang dilakukan secara terang-terangan lalu dibiarkan di era dimana pernyataan verbal yang menyinggung saja bisa dipidanakan. Bagaimana bisa orang yang melakukan pembantaian secara gelap mata terhadap belasan ribu anak-anak, lalu menyebutnya sebagai aksi bela diri. Bagaimana bisa tamu dari negeri yang jauh diterima dan disambut dengan baik, tetapi belakangan malah mempersekusi, mengusir, membunuhi tuan rumah, dan merebut rumahnya. Dan saat tuan rumahnya melawan, mereka stigma sebagai aksi terorisme. Bagaimana bisa, setelah kedzaliman demi kedzaliman itu mereka mengklaim sebagai tentara paling bermoral (most moral army) di dunia yang lahir dari bangsa pilihan (choosen people).
Bagaiamana bisa mereka menerobos kedaulatan dan menyerang 5 negara sekaligus tanpa ada sanaksi, sementara negara lain yang menyerang 1 tetangganya dijatuhi multi sanksi internasional. Dan bagaimana bisa, Amerika dan Inggris berdiri tanpa malu, pasang badan bahkan mempersenjatai segunung kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mengklaim sebagai tentara paling bermoral dari bangsa pilihan itu?
Retno, Reza dan Fikri
Sebagai penutup dari catatan satu tahun intifada Thufan al-Aqsa ini, saya ingin menghighlight peran Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan pembelaan pada Masjid al-Aqsa. Peran itu adalah di dua lapangan internasional; diplomasi politik dan kemanusiaan. Ada tiga nama yang menurut saya dapat dijadikan teladan. Nama pertama, Retno Marsudi tentu sudah tidak asing lagi sebagai komandan diplomasi Indonesia. Kiprahnya telah menjadi legasi dan benchmark pembelaan Palestina bagi pemimpin Indonesia di masa depan. Beberapa hari yang lalu, MUI menobatkan menteri luar negeri Indonesia perempuan pertama itu sebagai Mujahidah Diplomacy.
Sedangkan dua nama terakhir, Reza Aldilla Kurniawan dan Fikri Rofiul Haq adalah pemuda putra Indonesia alumni dari jaringan Tarbiyah Al Fatah yang datang ke Gaza sebagai relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C). Selain bertugas melakukan misi kemanusiaan, mereka juga belajar melanjutkan studi S1 di Universitas Islam Gaza. Hari ini kampus mereka telah tengkurap menjadi puing, rata dengan tanah dibom oleh Zionis Israel. Senasib dengan kampus-kampus lainnya di seluruh Jalur Gaza. Reza yang lebih dulu datang ke Gaza sedikit beruntung, berhasil menyelesaikan studinya dan diwisuda sebelum kampusnya hancur.
Sebenarnya banyak relawan Indonesia yang datang ke Gaza, termasuk Farid Zanjabil yang berangkat bersama Fikri. Tetapi duo Reza-Fikri buat saya istimewa karena mereka memilih tetap membersamai rakyat Palestina di Gaza di masa-masa paling sulit, meskipun pemerintah melalui Kemlu beberapa kali menyarankan dan akan memfasilitasi mereka untuk segera evakuasi. Keputusan menetap itu tidak lepas dari peran Imaam Yakhsyallah Mansur, pembina utama Al Fatah. Reza-Fikri adalah utusan Imaam Yakhsyallah yang sebelumnya diminta oleh presidium MER-C untuk mengirimkan relawan melanjutkan pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) tahap keempat.
Saat datang seruan evakuasi dari Kemlu, dua pemuda itu meminta pengarahan dari Imaam Yakhsyallah. Pembina Al Fatah itu meminta mereka untuk tetap membersamai rakyat Palestina, tidak pulang. Menurut Imaam, mereka menjadi satu-satunya tim Indonesia yang menjadi mata dan telinga seluruh bangsa atas penderitaan rakyat Palestina di Gaza sekaligus saksi atas kedzaliman Zionis Israel. Justru di saat paling sulit inilah, kehadiran kita bangsa Indonesia di Gaza amat diperlukan. Bangsa Indonesia tidak hanya membersamai rakyat Palestina di saat mudah, tetapi juga di masa-masa yang paling sulit.
Amanat yang menggetarkan hati itu disambut dan ditunaikan oleh dua pemuda itu sampai hari ini. Padahal bom bertalu-talu di telinga mereka dan ratusan korban dengan kondisi mengerikan mereka saksikan setiap hari. Jiwa mereka bahkan terancam serangan Zionis, terutama saat RSI diinvasi. Mereka tetap melaksanakan tugas kemanusiaannya bersama MER-C. Jika Ibu Retno dinobatkan sebagai Mujahidah Diplomacy, rasanya tidak berlebihan jika dua pemuda itu dinobatkan sebagai Mujahidin of Humanity. Meskipun saya yakin mereka berdua tidak sempat memikirkan apalagi mengharapkan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Israel tak Kuat Amat, Ia Jadi Kuat Lantaran Didukung AS
Tak aneh bila kemudian Iran menyebut Israel dan AS sebagai satu paket setan.
SELENGKAPNYASetahun Genosida, Apa Kabar Gerakan Boikot di Indonesia?
Aksi boikot dinilai akan terus menggema sebelum okupasi Israel berhenti.
SELENGKAPNYASetahun Genosida, Israel Tak Mampu Lumpuhkan Perlawanan
Israel justru kian terjebak dalam konflik dengan kekuatan pendukung Palestina.
SELENGKAPNYA