Sains
Lesatan Kepunahan Satwa Akibat Perubahan Iklim
Amfibi merupakan kelompok yang paling terancam punah.
Sebuah penelitian baru dari Queen's University Belfast di Irlandia Utara dan Tel Aviv University menemukan, perubahan iklim dapat berdampak besar pada spesies berdarah dingin, seperti reptil dan amfibi.
Para peneliti menguji dan menganalisis data dari lebih dari 4.100 spesies vertebrata darat dari seluruh dunia untuk menyelidiki teori “rate of living”. Teori ini menyatakan bahwa semakin cepat metabolisme hewan, semakin pendek harapan hidup mereka.
Oleh karena itu, teori ini menjelaskan mengapa beberapa katak hanya dapat hidup selama beberapa bulan. Sementara spesies seperti paus dan kura-kura dapat hidup selama berabad-abad.
Studi ini juga menemukan bahwa tingkat penuaan pada organisme berdarah dingin termasuk amfibi dan reptil terkait dengan suhu tinggi. “Semakin panas suhu di lingkungan, semakin cepat laju kehidupan mereka dan pada gilirannya menyebabkan penuaan yang lebih cepat dan umur yang lebih pendek,” kata salah satu penulis sekaligus dosen Evolusi & Makroekologi di Queen's University Belfast, Daniel Pincheira-Donoso, seperti dilansir Discover Wild Life, Rabu (18/10/2023).
Pincheira-Donoso mengatakan, temuan ini dapat memiliki implikasi penting untuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi pada kepunahan hewan berdarah dingin. Terutama pada zaman modern, di mana keanekaragaman hayati mulai menurun, hewan berdarah dingin terancam punah.
"Sekarang kita tahu bahwa harapan hidup vertebrata berdarah dingin, terkait dengan suhu lingkungan. Kita dapat memperkirakan bahwa masa hidup mereka akan semakin berkurang karena suhu terus meningkat akibat pemanasan global,” ujar Pincheira-Donoso.
Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature and Natural Research/ IUCN), amfibi merupakan kelompok yang paling terancam punah. Dengan demikian, diperkirakan satu dari lima dari sekitar 10 ribu spesies kadal, ular, kura-kura, buaya, dan reptil lainnya di dunia juga amat rentan terhadap kepunahan.
Gavin Stark, penulis utama dan mahasiswa PhD di Universitas Tel Aviv, menilai hubungan antara umur hewan berdarah dingin, seperti amfibi dan reptil, dengan suhu lingkungan dapat berarti bahwa mereka sangat rentan terhadap pemanasan global. Menurutnya, ini menjadi fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Memang, jika peningkatan suhu lingkungan mengurangi umur panjang, hal itu dapat membuat spesies ini lebih rentan punah seiring dengan menghangatnya iklim,” kata Stark.
Para peneliti kemudian mendorong penelitian lebih lanjut, guna mengetahui lebih lanjut tentang hubungan antara keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. “Hanya dengan berbekal pengetahuan, kita akan dapat menginformasikan kebijakan masa depan yang dapat mencegah kerusakan lebih lanjut pada ekosistem,” ujar peneliti.
Masa Kritis Katak Parit Raksasa
Populasi mountain chicken frog atau katak parit raksasa pernah begitu banyak, sehingga kerap dimasak sebagai hidangan nasional di Dominika. Setiap tahun, ribuan katak tersebut dipanggang dengan bawang putih dan lada untuk disantap oleh penduduk pulau dan wisatawan.
Dua dekade kemudian, hewan yang merupakan salah satu spesies katak terbesar di dunia ini menghilang dari pulau Karibia. Serangkaian bencana ekologis telah mengurangi populasi yang tadinya sehat dan stabil, dimana menurut survei terbaru para ilmuwan, katak tersebut kini tinggal 21 ekor saja dari semula ratusan ribu ekor.
Kecepatan penurunan populasi hewan bernama latin “Leptodactylus fallax” ini dianggap sebagai salah satu fenomena kemusnahan hewan liar tercepat yang pernah tercatat. "Ini adalah hewan yang luar biasa. Pulau ini dulunya ramai dengan suara katak chicken. Saat ini hanya ada kesunyian," kata Andrew Cunningham, kepala epidemiologi satwa liar untuk Zoological Society London (ZSL).
Menurutnya, katak parit raksasa, adalah spesies yang menghadapi kepunahan di alam liar, padahal beberapa dekade lalu masih dalam kondisi stabil. "Nasibnya memberikan peringatan yang sangat jelas kepada kita tentang bahaya yang dihadapi satwa liar di Bumi saat ini,” ujar Cunningham menjelaskan.
Penyebab awal kemusnahan katak parit raksasa adalah jamur chytrid yang menginfeksi kulit amfibi di tempat untuk minum dan bernapas. Setelah terinfeksi, katak menjadi lesu dan mati dalam waktu satu bulan.
Jamur ini telah disalahkan atas penurunan jumlah amfibi yang signifikan di berbagai belahan dunia. Tetapi, tidak ada yang dampaknya begitu cepat dan memakan banyak korban seperti yang terjadi di Pulau Dominika.
Dalam waktu 18 bulan sejak kemunculannya pertama kali pada 2002, ia telah melenyapkan 80 persen populasi katak parit raksasa di pulau itu. "Itu adalah penurunan yang mengerikan. Dan jumlahnya terus menurun hingga tidak terdeteksi lagi di alam liar di Dominika,” kata Cunningham seperti dilansir Guardian, Selasa (17/10/2023).
Hal yang lebih buruk terjadi kemudian. Katak parit raksasa pada saat itu hanya ditemukan di satu tempat lain di Bumi, yaitu Pulau Montserrat, yang terletak di Karibia. Para ilmuwan mendesak pihak berwenang di sana untuk menerapkan tindakan karantina yang ketat untuk menghentikan penyebaran penyakit ini ke seluruh pulau.
"Peringatan ini gagal, meskipun di satu sisi, kami telah bersiap untuk skenario terburuk mengingat apa yang telah terjadi di Dominika. Kami berhasil mengumpulkan beberapa katak di pulau itu sebelum penyakit mulai menyebar pada 2009 dan satwa-satwa ini sekarang ditempatkan di kandang biosecure di beberapa kebun binatang di Eropa, termasuk kebun binatang di London," kata Andrés Valenzuela, seorang ahli kesehatan satwa liar di Institut Zoologi ZSL.
Namun, ada satu berita menggembirakan, di mana beberapa katak yang masih hidup telah ditemukan dan hewan-hewan ini tampaknya secara alami kebal terhadap jamur chytrid.
"Segalanya tampak sedikit lebih baik, sampai Badai Maria menghantam pulau ini pada 2017. Itu adalah badai terkuat yang pernah pulau ini dan kehancurannya menghancurkan populasi katak yang sudah rapuh, mengurangi jumlahnya hingga lebih dari 90 persen," kata Jeanelle Brisbane, ahli ekologi satwa liar dari Divisi Kehutanan, Margasatwa, dan Taman di Dominika dan pendiri WildDominique.
Anggota Leptodactylus fallax yang bertahan di Dominika juga hanya tinggal dua populasi kecil di daratan. Selain itu, perubahan iklim memengaruhi kedua pulau tersebut, memicu kekeringan dan menghambat upaya untuk menyelamatkan spesies tersebut. Cunningham mengingatkan, saat ini masih ada waktu beberapa tahun untuk mencoba melakukan sesuatu, sebelum mountain chicken frog benar-benar punah di alam liar.
Nasibnya memberikan peringatan yang sangat jelas kepada kita tentang bahaya yang dihadapi satwa liar di Bumi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mahalnya Harga Menggunakan ChatGPT untuk Kelestarian Lingkungan
Pemanfaatan tenaga nuklir untuk menjalankan model AI masih menjadi perdebatan,
SELENGKAPNYASeberapa Penting Kehadiran Bursa Karbon untuk Lingkungan?
Dengan bursa karbon, korporasi dapat membuat komitmen pengurangan karbonnya menjadi lebih bernilai.
SELENGKAPNYA