Sastra
Sutardji Jadi Lebih Religius
Sutardji Calzoum Bachri merayakan hari lahirnya yang ke-82.
JAKARTA – Penyair kawakan Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, merayakan hari lahirnya yang ke-82, pekan lalu. Ia kini menggeser kredo puisinya menjadi lebih religius. Tidak lagi membebaskan kata dari beban makna, tapi ke kredo puisi yang lebih agamis dan banyak merujuk pada Alquran dan Hadis Qudsi.
Kesimpulan itu muncul dari serangkaian acara peringatan HUT ke-82 penyair Sutardji yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) sejak 20 Juni hingga 24 Juni malam. Acara meliputi diskusi sastra, lomba baca puisi nasional, orasi sastra, dan pemotongan tumpeng ulang tahun.
Pergeseran itu dijekaskan Sutardji pada kredo barunya yang dimuat dalam kumpulan puisi terbarunya, Petiklah Aku, suntingan Nasruddin Anshori yang diterbitkan oleh Ilmu Giri. “Konsep puitika sajak dalam Petiklah Aku, sudah berbeda dengan konsep puitika dalam O Amuk Kapak,” kata Ahmadun Yosi Herfanda dalam diskusi sastra di auditorium PDS HB Jassin, TIM, Rabu sore.
Kredo Sutardji dalam Petiklah Aku, lanjut Ahmadun, sudah berbeda dengan kredo sebelumnya. Tidak lagi “membebaskan kata dari beban makna”, tetapi mempertegas kesaksian manusia di alam Ruh, bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam.
Mengutip kredo baru Sutardji, mantan wartawan Republika itu mengatakan, menulis puisi adalah seirama dengan pekerjaan atau aktivitas "Ruh", yakni bersaksi, melakukan penyaksian. Di alam Ruh, Tuhan berfirman: “Apakah Aku ini bukan Tuhanmu?” Ruh menjawab: “Ya kami bersaksi, Engkau adalah Tuhan kami.”
Khasanah tersembunyi
Puisi, menurut Sutardji, sebagai kesaksian yang otentik tidak bisa ditolak atau didustakan, bahkan oleh penyairnya sendiri. Sebagai kesaksian yang otentik, pada mulanya puisi adalah khazanah yang tersembunyi. Sebuah hadis qudsi mengatakan, “Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui,” kata Ahamadun mengutip hadis qudsi tersebut.
Tersimpan dan terkandung dalam Khasanah yang Tersembunyi, menurut Sutardji dalam kredonya, puisi juga ingin dikenal. Maka, disukakan pada penyair untuk mencari, menemukan, mengenal, serta menuliskan atau menyampaikan untuk orang lain keindahan/kesaksian yang ditemukannya itu.
Puisi, sebagai kesaksian, telah dituliskan dan tak bisa didustakan. Berakrab dengan kalbu – mengutip kredo Sutardji -- puisi selalu berada pada kebenaran. “Puisi selalu otentik. Ia tidak bisa dan mustahil untuk dipalsukan. Karena tiada Puisi selain Puisi,” kata Ahmadun, mengutip kredo baru Sutardji.
Diskusi dalam rangka HUT ke-82 Sutardji itu juga menampilkan kritikus sastra dari UI Maman S Mahayana, dengan moderator jurnalis Isson Khairul. Maman lebih banyak menyoroti sajak-sajak Sutardji dalam kumpulan O Amuk Kapak yang memberontak. Dengan kredo “membebaskan kata dari beban makna” pada era 1970-an Sutardji banyak mengusung puitika mantra dan puisi konkrit. “Pemberontakan Sutardji ini banyak mempengaruri penulisan puisi di Indonesia pada masa itu,” kata Maman.
Para pecinta puisi yang membaca O Amuk Kapak, sambung Ahmadun, umumnya memang tidak membicarakan sajak-sajak religius dari kumpulan puisi itu. Meskipun ada cukup banyak puisi religius seperti “Mawar”, “Tapi”, dan “Ah”, pembaca umumnya hanya menyebut sajak “Walau” sebagai satu-satunya puisi yang cahaya religiusitasnya begitu benderang, bahkan sufistik.
Puisi-puisi dalam buku kumpulan sajak tersebut memang lebih banyak mengedepankan puitika mantra dan puisi konkrit. Para pengamat puisi tampaknya tidak tergoda untuk membicarakan sajak religius dari kumpulan puisi tersebut. “Karena itu, religiusitas sajak-sajak Sutardji masih menjadi khasanah yang tersembunyi,” katanya.
Puisi, sebagai kesaksian, telah dituliskan dan tak bisa didustakan. Berakrab dengan kalbu – mengutip kredo Sutardji -- puisi selalu berada pada kebenaran. “Puisi selalu otentik. Ia tidak bisa dan mustahil untuk dipalsukan. Karena tiada Puisi selain Puisi,” kata Ahmadun, mengutip kredo baru Sutardji.
Malam ulang tahun Sutardji juga dimeriahkan dengan lomba baca puisi, pentas sastra, dan orasi sastra. Rangkaian acara ditutup dengan pemotongan tumpeng pas pada HUT Sutardji di teater kecil TIM pada 24 Juni malam.
Penyair Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rangat, Indragiri Hilir, Kepulauan Riau, pada 24 Juni 1941. Penyair bergelar Seri Datuk Pujangga Utama ini menerima Anugerah Seni dari DKJ tahun 1977 dan SEA Write Award tahun 1979.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.