Sastra
Mahkota tanpa Kepala
Cerpen Dinar Khair
Oleh DINAR KHAIR
Siang itu, riuh rendah suara knalpot terdengar saling bersahutan. Ningsih yang bertubuh mungil itu berada di tengah-tengah desakan bangunan yang saling berimpitan. Semakin terlihat kecil seperti debu di antara tumpukan jerami yang menggunung.
Ningsih berjongkok di depan ember berwarna hitam, menanti airnya penuh hingga ke permukaan. Kucuran air dari kran tembok tetangga Ningsih nantikan dengan setia. Sesekali Ningsih membetulkan kerudung berwarna putih kekuningan yang merosot hingga ke dahinya. Matanya yang bening itu menatap dengan antusias pada riak-riak air di dalam ember. Sorot tatapnya begitu bersih, kontras dengan kulitnya yang gelap.
"Ibu, makasih banyak airnya. Ningsih pulang dulu, ya!" teriak Ningsih dari pekarangan rumah Bu Yana yang sempit itu. Bangunan rumah tingkat dua yang berada di dalam gang sempit ini merupakan rumah paling mewah. Selebihnya, hanya bangunan rumah petak yang didirikan asal. Jangan tanya soal tata letak estetika sebuah wilayah. Asal ada tempat berteduh saja, merupakan hal yang sangat disyukuri oleh warga Kampung Anyar ini.
"Sama-sama, Sih. Awas kepleset lu ya! Licin itu lantainya!" Teriakan dengan logat betawi terdengar dari dalam rumah. Ibu berbadan besar itu tidak keluar. Mungkin sedang sibuk memasak jengkol di dapur. Aromanya merebak begitu menyengat, menyebar ke seluruh tempat, termasuk pada hidung Ningsih yang pesek.
Ningsih tergopoh-gopoh membawa ember hitam itu. Airnya tumpah ke mana-mana.
Ningsih tergopoh-gopoh membawa ember hitam itu. Airnya tumpah ke mana-mana. Sekuat tenaga anak kelas satu sekolah dasar ini menyeimbangkan langkahnya.
"Bego lu! Bukannya ngomong ama Abang. Sini biar Abang aja yang bawa." Ditoyornya kepala Ningsih hingga langkah gadis kecil itu terhenti. "Minggir, Sih, gua mau berak." Remaja bernama Rizky itu meninggalkan adiknya dengan langkah yang begitu cepat. Ningsih mengusap-usap kepalanya lalu menggeleng pelan. "Kebiasaan!" gerutunya pelan.
***
Sesampainya di rumah, Ningsih menyaksikan wanita berkerudung panjang sedang berbicara dengan ibunya di ruang tamu. Ya ... bukan ruang tamu seperti lazimnya ruang tamu, melainkan sepetak ruangan dengan tegel abu-abu khas lantai rumah zaman dahulu. Dilengkapi sehelai karpet lusuh berwarna merah.
"Bagaimana, Bu? Ningsih bisa bersekolah gratis. Sayang, Bu, Ningsih itu cepat sekali menghafal Alquran."
Tanpa kata, Ningsih langsung masuk ke dalam setelah menyalami ustazah TPA-nya dengan takzim. Ustazah Dinda, namanya. Wajah meneduhkan dan suara merdu itulah yang selalu membuat Ningsih betah berlama-lama mendengar lantunan ayat suci Alquran setiap sore di mushala.
Wajah meneduhkan dan suara merdu itulah yang selalu membuat Ningsih betah berlama-lama mendengar lantunan ayat suci Alquran setiap sore di mushala.
"Aduh, gimana ya, Bu Guru." Jamilah menggosok-gosok telapak tangannya pada paha. Ia ingin cepat mengakhiri percakapan ini, tetapi tak enak dengan Ustazah Dinda yang dihormati warga.
"Ada apa, Ibu? Apakah ada kendala?" tanya wanita berkerudung merah muda itu lembut. Statusnya sebagai relawan gerakan Sahabat Kecil Qur'ani di Kampung Anyar ini membuatnya aktif untuk melihat potensi-potensi tersembunyi. Tak terkecuali Ningsih, si manis bermata jeli.
"Iyak, ntu anak mau saya sekolahin biasa aja dah kayaknya. Abis selesai sekolah pan harusnya dia bisa langsung kerja bantu-bantu orang tua kayak kakak-kakaknya."
Dinda menghela napasnya pelan sambil terus berusaha tersenyum. Jawaban seperti ini, sering sekali ia dengar. Pada akhirnya justru orang tuanyalah yang menjadi kendala terbesar.
"Emm... sebetulnya ini sayang sekali kalau dilewatkan, Bu. Ningsih bisa sekolah gratis, tapi sambil dapet ilmu agama juga. Ibu pasti bangga kalau suatu hari nanti Ningsih jadi hafizah."
Jamilah menggaruk-garuk kepalanya yang memang berketombe. Dalam hatinya menggerutu, mengapa orang ini gigih sekali. Saban hari selalu datang membujuknya walau pada akhirnya jawaban itu selalu sama: tidak!
"Kagak dah, Bu Guru. Di sekolah negeri juga si Ningsih kaga bayar apa-apa. Nanti udah lulus SD bisa bantu-bantu nyetrika di kota sonoh. Di sono mah ada aja yang nyariin pembantu. Lumayan tiga juta sebulan dapet." Jamilah nyengir. Dengan bangga ia ceritakan potensi uang yang mungkin dihasilkan anaknya nanti. "Lagian, Bu Guru, kalau belajar agama begitu doangan mah kaga ada duitnya! Gak bikin perut kenyang. He-he-he. Mon maap ni yak Bu Guru, tapi udah dah kaga usah ngajak-ngajak Ningsih lagi."
Lagian, Bu Guru, kalau belajar agama begitu doangan mah kaga ada duitnya!
Kalimat itu jadi pukulan terakhir bagi Dinda dari orang tua Ningsih. Bak gerbang yang sudah tertutup, ia hanya bisa menyaksikan wajah sedih Ningsih yang tertunduk lesu saat ia hendak berpamitan pulang.
"Nanti Ustazah coba lagi ya, Sayang," bisiknya pada Ningsih, sekaligus jadi janji yang sedikit menghibur hatinya yang kelabu.
***
Pada malam hari setelah kedatangan Dinda, Ningsih mengamuk. Gadis kecil pendiam itu menangis meraung-raung sambil menendangi tembok, dan melempar semua benda-benda yang ada di depannya. Ningsih sudah terlalu banyak menelan kecewa.
"Pokoknya Ningsih mau ikut Ustazah Dinda! Mamak jangan jahat sama Ningsih, Mak. Ningsih mau jadi hafizah. Mau pakein mahkota."
"Mahkota ... mahkota apaan lu! Yang pake mahkota noh pangeran kerajaan. Lu mah kaga punya mahkota-mahkotaan. Gak usah sok-sokan deh lu, Ningsih! Lu mau idup susah kayak Mamak sama Bapak?" Jamilah sebetulnya sudah lelah berdebat dengan anak bungsunya itu. Namun, ternyata Ningsih cukup gigih. Sudah setahunan ini ia hanya mengharap dan menyebutkan hal yang sama pada ibunya: mau jadi hafizah!
Emangnya Mamak gak mau masuk surga? Neraka itu panas, Mak.
"Emangnya Mamak gak mau masuk surga? Neraka itu panas, Mak. Biarin Ningsih aja yang ngapalin Quran. Mamak gak usah."
"Sok tau lu! Gini pan jadinya? Lu jadi suka lawan orang tua. Ngaji apaan yang ngajarin begitu!"
"Abis Ningsih pusing, Mamak nyuruh Ningsih jadi pembantu mulu! Ningsih gak mau, Mak!" rengeknya dengan suara yang mulai memelan.
"Bebal amat lu jadi anak! Serah lu dah! Gua gak mau peduli kalo nanti lu kelaperan gak ada duit. Makan aja tuh kertas-kertasnya sekalian!"
Ningsih menangis di dalam kamar. Ia sedih, mengapa ibunya tidak mengerti bahwa dekat dengan lantunan ayat-ayat suci itu begitu menenangkan. Mengapa yang dipikirkan ibunya hanya uang?
Anak kecil berumur tujuh tahun itu tentu saja belum paham bahwa kehidupan ekonomi yang sulit sering kali menjauhkan seseorang dari keimanan. Karena urusan perut terasa sangat mendesak, seolah sedang protes pada Sang Pencipta, mengapa mereka dilahirkan dengan nasib demikian.
Walau terpaksa, akhirnya Ningsih melanjutkan sekolah di Sekolah Terpadu Sahabat Qur'ani asuhan Dinda dan kawan-kawan. Tanpa ridha dari orang tuanya, Ningsih melangkah dengan gagah berani walau dalam prosesnya begitu pedih untuk dijalani. Sindiran, cibiran, dan olok-olokan dari keluarganya terus ia terima di setiap malam.
Tanpa ridha dari orang tuanya, Ningsih melangkah dengan gagah berani walau dalam prosesnya begitu pedih untuk dijalani.
"Baca-bacaan begitu kalau ada duitnya udah kaya raya kayaknya kita ya, Ky," ucap Jamilah pada Rizky. Mereka sedang asyik menonton acara gosip di televisi.
"Nanti bisa dapet duit kali Mak. Kan, bisa jadi guru ngaji." Rizky mencoba berprasangka baik.
"Halah!" Bibir Jamilah mencebik, "Guru ngaji mana ada yang kaya, Ky?" Lalu tawanya pecah memenuhi ruangan tiga petak itu.
Ningsih yang sedang murajaah memejamkan matanya, terus berusaha melantunkan surat Al-Mulk. Memasukkan ayat demi ayat ke dalam kepalanya, lalu membiarkan ayat-ayat itu meresap dalam hati. Ningsih sangat sakit hati, tetapi kalimat-kalimat Dinda terus saja terngiang di kepalanya. "Ningsih, Allah sudah kasih kelebihan ke Ningsih berupa kecerdasan yang lebih dari anak lain. Harus bersyukur ya, Nak. Ayo semangat menghafalnya." Lalu usapan lembut di kepalanya kala itu membuat Ningsih merasa sangat bahagia.
***
Ningsih sempat berpikir untuk berhenti. Saat ia menginjak kelas 5 SD, saat itu pula semangatnya runtuh berserak. Bapaknya sakit, Ibunya kewalahan menerima orderan setrika dan beres-beres rumah. Biasanya kebutuhan rumah tangga bisa ditutupi dari gaji bapaknya sebagai tukang sapu di jalan. Namun, musibah itu tidak bisa dihindari. Bapaknya sakit-sakitan karena diabetes yang terus saja menggerogoti badan kurus itu.
"Ningsih, lu paham, kan, sekarang kenapa gua suruh-suruh elu kerja mulu? Ya begini maksudnya...." Malam itu Jamilah mengajak Ningsih berbicara dari hati ke hati. Ningsih pun luluh, tak tega dengan kondisi bapaknya yang semakin parah.
Mereka saling berpelukan, saling menguatkan.
"Ningsih mau berhenti aja, Ustazah. Maafin Ningsih, ya. Ningsih mau kerja aja." Kalimat yang Ningsih lontarkan di sore hari yang mendung itu mengalirkan air mata yang deras di wajah Dinda. Mereka saling berpelukan, saling menguatkan. Tentu saja Dinda tak ingin Ningsih melepaskan perjuangannya yang sudah sejauh ini. Umur sebelas tahun dengan hafalan 20 juz. Bahkan, tak ada satu murid pun di sekolah itu yang bisa menyusul hafalan Ningsih.
"Sedikit lagi perjuanganmu, Nak. Izinkan Ustazah membantu, ya."
Akhirnya Ningsih bekerja paruh waktu di rumah makan milik temannya Dinda. Ningsih tidak dibebankan pekerjaan berat, bahkan masih bisa belajar di tempat kerja. Namun, gaji setiap bulannya cukup untuk membantu biaya pengobatan bapaknya.
Ningsih bersyukur, sampai detik ini Allah terus saja menolongnya.
***
Pada hari yang cerah itu, perhelatan wisuda tahfiz bagi anak-anak hafiz Alquran ini pun digelar. Ruangan ber-AC dengan dekorasi meriah menambah keceriaan dan suasana suka cita. Balon-balon, banner dengan tulisan yang besar, juga bunga-bunga yang dirangkai begitu rapi menambah keindahan. Seluruh anak ceria pada hari itu, bersenda gurau dengan orang tuanya masing-masing.
"Kepada Ananda kelas enam, wisudawan-wisudawati tahfiz Sekolah Terpadu Sahabat Qur'ani dipersilakan maju ke depan."
Pembawa acara pun mempersilakan anak-anak untuk naik ke atas panggung. Barisan yang rapi dengan pakaian jubah serba hitam pun melangkah bersamaan. Mereka tampak seperti pasukan kaum muslimin yang siap menerjang musuh-musuh Allah di hadapan. Begitu gagah, juga cantik memesona.
Salah satunya adalah Ningsih, yang sedang meremas-remas tangannya yang dingin. Ia gugup, karena sebentar lagi waktu yang ia nantikan pun tiba.
Perjuangan murajaah juga ujian tasmi Qur'an masih membekas di benaknya. Dalam waktu yang sangat panjang, ia melalui proses tasmi* yang melelahkan. Ningsih berusaha menenangkan diri, mengembuskan napasnya perlahan untuk mencairkan kegugupan.
Ningsih berusaha menenangkan diri, mengembuskan napasnya perlahan untuk mencairkan kegugupan.
Satu per satu kawannya disebutkan namanya oleh pembawa acara, lengkap dengan nama kedua orang tua. Kemudian orang tua mereka maju ke atas panggung untuk memberikan penghargaan langsung pada anaknya tercinta. Sebaliknya, sang anak kemudian akan menyematkan mahkota di atas kepala orang tuanya. Sebagai simulasi, bahwa di akhirat kelak, mereka akan memberikannya kembali pada belahan jiwa yang selama ini mendampingi.
Sebuah suara terdengar melantunkan sebait puisi untuk mengiringi prosesi yang mengharukan itu.
"Wahai Ayah juga Ibu, aku persembahkan mahkota terbaik ini untukmu. Aku berjuang sekuat tenaga untuk menghadiahkan ini padamu. Terima kasih banyak, sudah membimbing dan menuntunku pada jalan yang indah ini. Aku berharap, kelak aku dikumpulkan kembali bersama Ummi dan Abi di surga yang abadi."
Semua kawan-kawan Ningsih menangis sambil memeluk orang tuanya. Suasana haru itu pecah, membaur bersama rasa bangga, syukur, juga sedih dalam sekali waktu.
Ningsih terdiam di atas panggung, menahan tangis dalam sunyi.
Ningsih terdiam di atas panggung, menahan tangis dalam sunyi. Dalam hatinya berandai-andai, bila saja ia mendapatkan dukungan yang sama, tentu semuanya akan lebih indah terasa. Ningsih pun mematung di sana, pasrah saat para ustaz dan ustazah mempersiapkannya sebagai acara puncak. Karena hanya Ningsihlah siswa yang berhasil menghafalkan 30 juz dengan predikat Jayid Jiddan(**) di sekolah itu.
Setelah prosesi pemberian mahkota selesai, pembawa acara kembali memimpin.
"Dan yang terakhir ... saya perkenalkan kepada ibu dan bapak semua, seorang anak berprestasi kebanggaan kami, Ningsih."
Ningsih maju ke tengah panggung. Tersenyum seraya tertunduk. Dari kejauhan terlihat Ustazah Dinda menampakkan wajah panik, mencari sosok yang seharusnya ada di sisi Ningsih. Sebelumnya, Ningsih bilang padanya bahwa ibunya siap untuk datang. Namun, entah mengapa, hingga saat ini ibunya belum juga tiba.
"Dengan perjuangan yang begitu berat, Ningsih berhasil menghafalkan 30 juz Alquran. Walau keluarganya penuh keterbatasan, Ningsih tak pernah menjadikannya alasan. Kami menyaksikannya sendiri ... saat Ningsih harus bekerja paruh waktu demi ikut membantu keluarga." Suara pembawa acara itu tercekat. Ia tak kuat menahan haru yang memenuhi dadanya saat ini.
Ningsih yang menggenggam mahkota di tangannya mulai gemetar. Sejak tadi ia mencari ibunya, wajahnya tak kunjung muncul juga.
Sejak tadi ia mencari ibunya, wajahnya tak kunjung muncul juga.
"Kepada Ibu Jamilah, kami persilakan untuk ke atas panggung," ucapnya memanggil Jamilah.
Hening. Tak ada yang maju ke depan hingga seluruh yang ada di dalam ruangan saling bertukar pandang. Berbisik-bisiklah mereka dengan suara yang semakin keras, ketika waktu semakin maju, tetapi yang dipanggil tak jua menampakkan batang hidung.
Ningsih berdiri di atas sana, merasa seperti orang dungu. Walau tertunduk, ia tahu bahwa ia disaksikan banyak mata dengan tatapan heran juga kasihan. Lalu, bayangan kejadian mengharukan yang baru saja dialami teman-temannya berputar di kepala. Adegan bahagia itu tak bisa ia alami karena orang tuanya tak peduli.
Ningsih sudah berusaha menahannya sekuat tenaga. Namun, karena ia yakin ibunya tak akan datang, pertahanan Ningsih runtuh juga. Segera ia menutup mukanya dengan mahkota yang sedang ia genggam, lalu menangis tersedu-sedu meluapkan sesak yang tertahan.
Semua orang tua murid yang hadir ikut menangis. Mereka tahu itu menyakitkan walau tak tahu cerita di balik tangis Ningsih yang memilukan.
Semua orang tua murid yang hadir ikut menangis.
Dari kejauhan Dinda berlari menuju panggung. Dengan gerakan cepat, ia tarik tubuh kurus Ningsih dalam pelukan. Lalu, pecahlah lagi tangis Ningsih hingga raungannya terdengar.
"Aku ibumu. Aku juga ibumu."
Dinda berlutut, kemudian mengangkat dagu Ningsih agar gadis kecil itu bisa menatapnya. "Aku tidak melahirkanmu, tapi aku menyaksikan perjuanganmu." Dinda menyeka air mata di pipi Ningsih.
"Ningsih ...." Hati Dinda terasa remuk. Ia tak bisa berkata lagi. Bahkan untuk sekadar menenangkannya, Dinda tak mampu.
Tak lama kemudian, terlihat Ningsih mengatur napasnya. Dengan lirih ia berkata, "Ustazah, boleh gak kalau mahkota ini saya simpan di kepala Ustazah? Saya gak punya siapa-siapa."
Terhenyak Dinda mendengar permintaan itu.
Terhenyak Dinda mendengar permintaan itu. Tangisnya semakin keluar tak tertahankan, padahal ia di sana berniat untuk menguatkan.
Hatinya ikut remuk, menyaksikan perjuangan Ningsih yang bahkan tak dipandang walau hanya sebelah mata. Dinda tahu, sebetulnya Ningsih sangat ingin memeluk kedua orang tuanya dan memberikan hadiah terindah ini untuk mereka. Sama seperti anak yang lainnya. Bahkan anak kecil itu masih sering berprasangka baik, mengatakan pada Dinda bahwa sebetulnya ibu dan bapaknya orang baik. Hanya saja, mereka belum paham.
Dinda mengangguk seraya tersenyum penuh haru. Tangan kecil Ningsih perlahan memakaikan mahkota di kepala Dinda. Ucapnya, "Terima kasih, Ustazah, sudah sabar membimbing Ningsih selama ini."
Dinda menariknya lagi dalam pelukan, lalu mencium kepala Ningsih seraya terpejam. "Aku yang berterima kasih padamu, Ningsih."
Semua yang hadir dalam ruangan kembali berurai air mata. Mereka semakin mengeratkan pelukan pada anak-anaknya, lalu menghujani kepala-kepala malaikat kecil itu dengan kecupan. Buncahan rasa syukur mengalir deras dalam dada mereka, yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk memeluk anak-anaknya dengan bangga.
Dalam hati orang tua-orang tua itu, berbisik kalimat lembut yang sama, melantunkan sebuah pelajaran: ternyata … mahkota yang dijanjikan oleh Allah selamanya akan tetap berkilau indah. Akan tetapi, jadi sangat menyakitkan, bila berakhir menjadi mahkota tanpa kepala.
Tasmi (*) : merupakan kegiatan kelulusan menghafal Qur’an yang ditandai dengan melantunkan bacaan Alquran di hadapan para penguji.
Jayyid jiddan(**) : bagus sekali
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.