Sastra
Embun di Kaca
Puisi Abdullah Muzi Marpaung
Oleh ABDULLAH MUZI MARPAUNG
Embun di Kaca
Di jalan bebas hambatan
pada kecepatan lebih dari 80 km/jam
aku melihatmu mengembun di kaca.
Sekali lagi masa lalu terkondensasi.
Aku selalu percaya bahwa berdusta
akan membuat seseorang lebih dewasa.
Tetapi kau malah bertanya perkara yang tak aku suka,
kau pilih mana: dewasa atau bahagia?
Aku lalu teringat pada surat yang
batal kukirimkan kepadamu.
Entah pada lipatan sepi yang mana
ia kini berada.
Kepadamu yang kini mengembun di kaca itu
kukutipkan bagian penting dari surat itu:
hanya kepadamu aku tak pernah berdusta.
2022
Tanda Kiamat
Tanda-tanda kiamat itu tak diberitakan
melalui media online
melainkan hanya melalui surat kabar cetak
yang dicetak dengan sisa darah wartawan
Entah apakah aku harus gembira
sebab tak sengaja berjumpa
dengan seorang penjual koran
yang tersesat jalan
Lalu kubeli tanda-tanda kiamat itu
dengan sisa darahku
yang seharusnya kudonorkan
bagi peradaban
Atau seharusnya kuhapus saja kebimbanganku
untuk memenuhi undangan makan siangmu?
2022
Sebab, Satu Persen itu Menyakitkan
Kaubilang pantaslah kita bergembira
99 mahasiswa kita lulus jadi sarjana
satu saja yang tertahan, Liane yang malang.
Kau bilang, salahnya sendiri
99 percent success rate adalah tanda kehebatan kita
tetapi, aku menangis untuk Liane
tangis yang kusembunyikan bahkan dari diriku sendiri.
100 persen itu utopia, sempurna itu tak ada.
Ya, tetapi itu taklah menjadi alasan
untuk menjadikan Liane sekadar angka.
Seseorang harus menemaninya
Agar 1 persen itu tak menjadi belati yang mengiris hatinya
hingga pagi tiba.
2022
Pada Lewat Pukul 12 Malam
hidup telah menjadi seperti
buku teks yang kian tak kaupahami
sementara lampu-lampu mulai rebah
kacamata bacamu mulai pasrah
berkali-kali matamu melirik ke jarum jam
atau membelalak kepada angka-angka pada almanak
sungguh, kesendirian adalah simfoni yang menyesatkan
ia melebihi luka yang menguasai pikiran
biarkan aku tidur sebentar,
ucapmu kepada adegan film yang tak lagi menghiraukanmu
tetapi penat tak sanggup membuatmu lelap
masih kaurisaukan ke mana perginya makan malam tadi.
masih kauomelkan bagaimana seharusnya kacamata baca,
lampu-lampu, jarum jam, almanak dan adegan film bersikap kepadamu
sungguh, kesendirian adalah simfoni yang menyesatkan
ia melebihi luka yang menguasai pikiran
sementara itu adegan film telah tiba
pada adegan yang paling romantis
adegan yang membuatmu punya alasan
buat melempar televisi dengan sisa kesadaran.
2022
Eksekusi
Sering aku merasa terlalu dekat kepada hari ini
sehingga tak dapat kuhargai lagi sketsa wajahku
yang kaugambar pada kabut yang pagi tadi berlalu.
Pada saat semacam itu aku perlu secangkir kopi
tetapi hidup sudah terlalu sempit untuk secangkir kopi.
Kadang-kadang aku masih mendengar engkau menembang
dari balik kamar yang kaurahasiakan:
Cintaku padamu, bukan cinta sembarang
Atau engkau menari dalam kegelapan:
Pejamkan matamu, akan kautemukan keindahanku
Seharusnya aku bahagia masih dapat mengenangmu
duduk berdua dengan secangkir kopi
menghadiri prosesi senja menjalani takdirnya
Tetapi aku terlalu dekat kepada hari ini
khususnya hari ini yang ini
saat aku akan mati
di tiang gantungan sore nanti
Sementara kulihat di kalender,
hari ini belumlah dimulai.
2022
Abdullah Muzi Marpaung lahir di Pulau Bintan pada 23 Juni 1967, telah menulis puisi sejak remaja, dan mulai aktif menulis cerita pendek sejak tahun 2015. Ia saat ini mengabdi sebagai seorang dosen di program studi Teknologi Pangan Pangan, Swiss German University. Ia sudah menghasilkan satu buku kumpulan cerita pendek berjudul “Lelaki yang Tak Pernah Bertemu Hujan” dan satu buku kumpulan puisi berjudul “Catatan Hari Kemarin”.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.