
Kabar Utama
Aparat Buru Separatis Papua Penyandera Pilot Pesawat
Sandera warga Selandia Baru berada di tangan kelompok separatis Papua.
NDUGA -- Sebuah pesawat milik maskapai perintis Susi Air dibakar di Nduga, Papua, Selasa (7/2) pagi. Para penumpang dan pilot pesawat itu yang merupakan warga negara Selandia Baru belum diketahui nasibnya dan diklaim dalam penyanderaan oleh kelompok separatis di Papua.
Kabid Humas Polda Papua Komisaris Besar (Kombes) Ignatius Benny saat dihubungi Republika mengabarkan bahwa penyerangan dan pembakaran pesawat Susi Air terjadi di Lapangan Udara Paro. Pesawat tersebut dipiloti oleh Kapten Philips Max Marthin asal Selandia Baru. Pesawat juga membawa lima penumpang, yaitu Demanus Gwijangge, Minda Gwijangge, Pelenus Gwijangge, Meita Gwijangge, dan Wetina W.
Pesawat tersebut membawa lima penumpang dari Lapangan Udara Mozes Kilangin, Mimika, menuju Distrik Paro di Nduga. Begitu mendarat, pesawat tersebut diserang dan dibakar oleh anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) pimpinan Egianus Kogoya.

Pesawat jenis Pilatus Porter dengan nomor penerbangan PK-BVY itu terlihat terbakar di ujung lapangan terbang Paro. “Wilayah tersebut masuk dalam markas mereka (KKB, Red),” ujar Kombes Benny. “Sampai saat ini, kami sampaikan belum ada informasi tentang korban jiwa. Dan personel sudah didatangkan ke wilayah tersebut,” katanya melanjutkan.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan, pesawat rute penerbangan perintis Timika-Paro tersebut tinggal landas normal dari Bandara Timika pukul 05.30 waktu setempat dan mendarat pada pukul 06.17 WIT di Lapangan Terbang Paro.
Setelah beberapa jam, pihak Station Susi Air di Timika mendapatkan info dari Polres Kabupaten Nduga bahwa pesawat dibakar. “Kondisi pilot dan penumpang masih dalam proses pencarian,” kata Adita dalam pernyataan tertulis, Selasa (7/2).
Kapolda Papua Irjen Pol Mathius Fakhiri mengiyakan, pesawat dibakar separatis sesaat setelah mendarat sekitar pukul 06.15 WIT. "Tidak ada (hubungannya dengan kasus Lukas Enembe)," kata Mathius saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa.

Mathius mengungkapkan, penyebab pembakaran itu diduga berhubungan dengan kejadian sebelumnya, yaitu penyanderaan 15 pekerja bangunan yang sedang mengerjakan pembangunan puskesmas di Paro, diduga dilakukan oleh KKB pimpinan Egianus Kogoya. Kepolisian masih berupaya mengevakuasi para pekerja puskesmas dengan menggunakan pesawat.
Evakuasi belum jadi dilakukan, pesawat itu justru telah dibakar. "Kita berusaha untuk evakuasi. Namun, kemarin, pesawat yang kita kirim tadi pagi, ya, dibakar," kata dia.
Kejadian penyanderaan pekerja bangunan tersebut mengingatkan dengan pembantaian 19 pekerja bangunan jembatan di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Nduga, oleh kelompok separatis pada Desember 2018. Peristiwa itu memicu pengungsian besar-besaran warga Nduga. Banyak yang belum kembali ke kampung halaman hingga saat ini.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, personelnya di kepolisian bersama TNI masih terus melakukan pemburuan dan pencarian keberadaan kelompok separatis yang menyandera pilot warga negara Selandia Baru itu. Sigit mengandalkan Operasi Damai Cartenz untuk melakukan pencarian dan upaya penyelamatan tersebut.

“Terkait dengan perkembangan pilot dan penumpang yang diamankan (disandera, Red) oleh KKB, saat ini sedang dalam pencarian. Kami, tim gabungan (Polri dan TNI) dari Operasi Damai Cartenz saat ini sedang melakukan pencarian,” ungkap Sigit, Selasa (7/2). Ia tak menjelaskan pencarian tersebut termasuk bagian dari operasi militer.
Sementara itu, TPNPB-OPM mengeklaim bertanggung jawab atas serangan dan pembakaran pesawat udara Susi Air tersebut. Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengatakan, serangan dan pembakaran itu dilakukan oleh Panglima KKB Kodap III Ndugama-Derakma Egianus Kogoya.
Selain melakukan pembakaran, dan penyerangan, kelompok separatisme bersenjata itu juga menyandera pilot pesawat yang terbang dari Mimika tersebut. Dalam pernyataannya, Sebby mengatakan, TPNPB-OPM tak akan melepaskan sandera kecuali Pemerintah Indonesia mengakui kemerdekaan Papua.
“Kami TPNPB Kodap III Ndugama-Derakma tidak akan pernah kasih kembali atau kasih lepas pilot yang kami sandera ini. Kecuali NKRI mengakui dan lepaskan kami dari negara kolonial Indonesia (Papua Merdeka),” begitu kata Sebby dalam pernyataan resmi KKB yang diterima wartawan di Jakarta, Selasa (7/2).

Selain pilot, lima penumpang juga masih dalam penguasaan TPNPB-OPM. Mereka seluruhnya merupakan warga asli Papua. "Mereka orang asli Papua dan bisa disandera. Kecuali orang asli Papua yang spionase," kata Sebby.
TPNPB-OPM, kata Sebby, meminta pihak militer dan keamanan Indonesia, Polri dan TNI, tak sembarangan melakukan penangkapan dan interogasi terhadap warga Papua di Nduga. “Pilotnya kami sudah sandera dan kami sedang bawa keluar. Untuk itu, anggota TNI Polri tidak boleh tembak atau interogasi masyarakat sipil Nduga sembarang. Karena yang melakukan adalah kami TPNPB-OPM Kodap III Ndugama-Derakma di bawah pimpinan Panglima Bridgen Egianus Kogoya,” kata Sebby.
Penyanderaan warga negara asing ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh kelompok separatis di Papua. Pada 1996, 26 peneliti dalam Ekspedisi Lorentz 95 juga disandera kelompok bersenjata OPM yang dipimpin Kelly Kwalik. Di antara para peneliti itu ada sejumlah warga negara Inggris.
Penyanderaan itu berlangsung selama 130 hari. Pasukan Kopassus yang dipimpin Mayjen Prabowo Subianto kala itu kemudian menggelar operasi pembebasan. Meski para sandera kemudian berhasil bebas, dua di antara mereka dibunuh tentara separatis.
Pada Maret 2020, penyerangan kelompok separatis ke Office Building PT Freeport Indonesia Kuala Kencana, Timika, menewaskan seorang warga Selandia Baru.
Kemendag: Tak Ada Perubahan Kebijakan DMO Minyak Goreng
Sistem rasio DMO terhadap kuota ekspor masih berlaku.
SELENGKAPNYAHari Hijab Sedunia, Apa Artinya Bagi Wanita Muslim
Masih banyak Muslimah yang menjadi sasaran pelecehan dan diskriminasi karena memakai hijab.
SELENGKAPNYA