KH Hasyim Muzadi | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Bangsa yang Membutuhkan Kumandang Doa

Dihalangi berdoa lebih menyedihkan hati daripada tak terkabulnya sebuah doa.

Oleh KH HASYIM MUZADI

OLEH KH HASYIM MUZADI

"Hamba-Ku telah memperlakukan Aku dengan tidak adil. Ia berdoa kepada-Ku dan Aku merasa malu jika tidak mengabulkan doanya, tapi ia terus bermaksiat kepada-Ku tanpa merasa malu kepada-Ku," firman Allah SWT dalam Hadits Qudsi.

Bangsa Indonesia yang selama ini dikenal amat religius, sangat menjunjung nilai-nilai ketimuran, sarat dengan keagungan adat, memiliki tingkat toleransi yang sungguh tinggi; dalam beberapa tahun terakhir sungguh telah jatuh dalam sumur tanpa dasar dengan setumpuk persoalan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Jangankan berpikir bagaimana keluar dengan selamat, memiliki kesempatan untuk melihat diri sendiri saja sungguh sulit dalam kegelapan sumur tersebut. Pada saat-saat seperti itu, kesadaran betapa kecilnya diri ini, betapa tak kuasanya bangsa ini, dan betapa butuhnya kita akan sebuah pertolongan, datang berdentam dengan kuat di dalam dada.

Kita lantas berusaha mencoba mencari diri sendiri dalam kegelapan dengan lentera kesadaran yang datang mendadak. Inilah kesempatan emas bagi kita mensyukuri karunia kesadaran.

 
Kesadaran betapa jauhnya kita meninggalkan Allah dan betapa sulitnya untuk kembali.
 
 

Kesadaran betapa jauhnya kita meninggalkan Allah dan betapa sulitnya untuk kembali. Tindakan bersyukur yang kita lakukan adalah sebuah karunia yang tentu harus kita syukuri. Karena terlalu jauh kita meninggalkan garis Tuhan, maka kita mulai menyadari betapa sulitnya mencari jalan untuk pulang.

Ketika Ibrahim Alahis Salam ditanya Tuhan, "Fa Aina Tadzhabun" (Hendak ke mana kalian pergi), maka ia lantas menjawab, "Inni Dzaahibun Ilaa Robbi Sayahdiin" (Sungguh hamba pergi menuju Tuhan, maka Ia akan memberi hamba hidayat). Ketika itulah, terasa betapa pentingnya arti sebuah doa untuk pulang kepada Allah.

Mengapa bangsa ini memerlukan doa, karena jumlah problema yang ada jauh melampaui kekuatan yang kita punya, bahkan seandainya pun kekuatan itu disatukan. Apalagi kalau kekuatan yang tercecer-cecer, yang tampaknya dalam hari-hari ini justru anak bangsa saling melemahkan, saling membunuh dalam arti yang luas untuk kepentingan pragmatis, sesaat, sempit, dan amat primordial.

Ketika kita mencoba mengumpulkan satu-satu persoalan yang kita hadapi, lantas muncul kesadaran; sungguh suatu kemustahilan dengan kemampuan orang-perorang akan ada recovery secara cepat dalam kehidupan berbangsa pada tahun-tahun mendatang.

Sebagai orang beragama seharusnya kita kembali kepada Allah dengan segala kesadaran diri yang paling tinggi, bukan sebatas janji yang terucap tetapi harus dengan prilaku.

Nah perilaku apa yang diperintah Allah sebenarnya? Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mereorientasi diri serta bermuhasabah, apa sebenarnya yang paling rusak dalam diri bangsa.

 
Mengapa bangsa ini memerlukan doa, karena jumlah problema yang ada jauh melampaui kekuatan yang kita punya
 
 

Kalau mencermati betapa beratnya persoalan yang kita hadapi, maka perhatian kita langsung tertumbuk ke soal moralitas. Moral adalah fondasi sebuah tahta yang menyangga pilar-pilar negara.

Ketika pondasi ambruk, tentu akan tampak samar karena letaknya di bawah permukaan. Tetapi ambruknya fondasi akan langsung dapat kita ketahui melalui runtuhnya pilar-pilar bangunan. Selanjutnya dengan mudah dapat ditebak. Pondasi yang ambruk dan pilar-pilar yang runtuh telah menyebabkan bangunan amblas.

Dalam kondisi moral rusak berat, sudah barang pasti sebuah sistem tidak akan mampu berbuat apa-apa, apalagi menolong. Ironisnya, kerusakan moral ini telah pula mengakibatkan terpelantingnya pilar-pilar negara seperti hukum, politik, ekonomi, pertahanan, pendidikan, budaya, integritas nasional.

Sungguh tak terbayangkan, kerusakan moral telah mengantarkan bangsa ini kepada sebuah kerusakan menyeluruh, lengkap, sempurna. Sungguh! Tanpa harus diajarkan, semua kita tahu bangsa ini secara formal memiliki sarana dan prasarana hukum.

 
Dalam kondisi moral rusak berat, sudah barang pasti sebuah sistem tidak akan mampu berbuat apa-apa, apalagi menolong.
 
 

Hukum formal ada, hukum kognitif ada, hukum positif juga. Tetapi karena tidak memiliki landasan moral, hukum itu tidak akan bermuara pada keadilan. Inilah bedanya law (al-Hukmu) dengan justice (al-'Adaalatu). Sebagai sebuah norma, law membutuhkan orang untuk memutar law menjadi keadilan.

Ketika orangnya, prasarananya, dan equipment-nya tidak dialiri moral, hukum tak lebih dari sebuah catatan tertulis. Lebih dahsyat lagi, hukum bisa menjadi alat kedzaliman dan penindasan. Pemeo berikut ini akan jadi saksi abadi.

Kalau ada orang kecil kena perkara dia tentu akan ditanya kena pasal berapa? Tetapi kalau orang "gede" berduit terkena perkara ia akan tanya berapa harga pasal itu? Untuk menggambarkan kasus serupa, tentu tak akan sulit. Hukum nyata-nyata berpihak kepada kepentingan.

 
Politik dapat dikatakan bermoral apabila ia berbanding lurus dengan kebutuhan rakyat.
 
 

Hukum positif dan kognitif jadi lumer, karena tidak ada justice morality; moral keadilan. Hukum bisa tegak kalau bangsa ini bersama-sama bersatu dalam bangunan justice. Lantas bagaimana kondisi moral politik? Tak jauh berbeda. Sama-sama rusak secara mengesankan.

Moral politik adalah ketika rakyat memberikan kepercayaan kepada pemimpin untuk berkuasa dan menggunakan amanah kekuasaan untuk kemaslahatan semua (al-Mashaalih al-'Ammah). Produk-produk kekuasaan seharusnya mengalir kepada masyarakat dalam bentuk kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, ketenteraman.

Politik dapat dikatakan bermoral apabila ia berbanding lurus dengan kebutuhan rakyat. Bukan dari rakyat oleh rakyat untuk pemimpin. Politik para pemegang kekuasaan, telah mengalami keruntuhan moral dalam pilar eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif.

Siapa yang bisa memperbaiki? Kalau masalahnya sistem politik, baiklah kita diskusikan tetapi ketika moral politik yang rusak siapa yang memperbaiki? Di era terdahulu, eksekutif leluasa melakukan sentralisasi tindak korupsi. Kini sejak era desantralisasi dan otonomi, kejahatan itu menjangkau ke daerah.

 
Dihalangi berdoa adalah lebih menyedihkan hati daripada terhalangi untuk terkabulnya sebuah doa.
 
 

Lembaga legislatif telah menjelma menjadi makhluk legalisator bukan legislator. Meski terjadi resettlement sistem ketatanegaraan, tetapi tindak pengkhianatan kepada rakyat juga mengalami proses resettlement. Di sinilah kita sadari, betapa hancurnya political morality.

Kini saatnya kita melakukan muhasabah, lalu datang ke Hadlirat Allah dengan doa-doa, mengetuk sambil berharap pintu dibuka. Doa adalah senjata orang beriman. Hentikan bermaksiat, akuilah kita melakukan kesalahan, bersikap jujur kepada Dzat Maha Tinggi. Lantas kita bersiap untuk ridla atas semua yang akan diputuskan Allah untuk kita.

Yakinlah, karena tiada henti kita mengetuk, Allah akan segera membuka pintu bagi kita. Karena sesuai firman-Nya, Ia malu jika tidak bisa memenuhi kebutuhan hamba-Nya.

Jangan peduli apakah kita akan didengar, karena itu justru akan mengurangi kejujuran keikhlasan kita kepada-Nya. "Dihalangi berdoa adalah lebih menyedihkan hati daripada terhalangi untuk terkabulnya sebuah doa."

Disadur dari Harian Republika edisi 30 Januari 2004. KH Hasyim Muzadi (1943-2017) adalah ketua umum PBNU periode 2000-2010.

Akhir Hidup yang Indah

Dahulu menyembah berhala, mualaf ini memperoleh akhir hidup yang indah.

SELENGKAPNYA

Dalam Sehari, Empat Bencana Melanda Indonesia

Bencana yang terjadi didominasi bencana hidrometeorologi.

SELENGKAPNYA

Ketentuan Mandi Bagi Perempuan Istihadhah

Perempuan yang mengalami istihadhah dalam masalah ini harus mandi sebanyak tiga kali sehari semalam.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya