Seorang mulaf asal Prancis, Julien Drolon. | DOK YOUTUBE

Oase

Julien Drolon Lalui Seribu Kilometer Menuju Hidayah

Mualaf asal Prancis ini pertama kali mengenal Islam dalam perjalanannya ke luar negeri.

Peristiwa serangan terorisme yang mengguncang Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001 (9/11) menimbulkan dampak multidimensi. Imbasnya tidak hanya terasa di Negeri Paman Sam, tetapi juga seluruh negara Barat. Pada tataran sosial, masyarakat setempat mulai melihat Islam dengan pelbagai stigma buruk.

Sebab, para teroris 9/11 sering kali diberitakan dengan embel-embel “islamis.” Alhasil, Islamofobia merebak. Tidak sedikit orang Barat yang mengalami mispersepsi atau bahkan antipati terhadap agama ini.

Seorang mualaf, Julien Drolon, mengenang bahwa dirinya mulai tertarik mengenal Islam sejak tragedi 9/11. Dalam situasi demikian, warga Prancis itu memilih untuk tidak mudah menghakimi. Ia menyadari, segelintir orang yang berpandangan ekstrem dapat ditemui di komunitas agama apa pun.

 
Julien Drolon mengenang bahwa dirinya mulai tertarik mengenal Islam sejak tragedi 9/11.
 
 

 

Pada saat yang sama, Julien tidak langsung menaruh simpati terhadap Islam. Baginya ketika itu, agama tersebut mungkin saja baik, tetapi hanya untuk kaum Arab. Kepercayaan ini tidak diperuntukkan bagi orang-orang Eropa, begitu pikirnya.

Lelaki yang kini berusia 40 tahun itu berasal dari keluarga Katolik yang cukup taat. Sejak kecil, Julien menyukai hal-hal yang bernuansa religi. Dibandingkan anak-anak sebayanya, ia lebih rajin pergi ke gereja. Bahkan, produser film tersebut ketika itu sudah bercita-cita menjadi seorang pendeta di masa depan.

Saat masa remaja, Julien tertarik pada dunia seni, tanpa meninggalkan ketaatannya beribadah. Ia mulai menekuni musik dan videografi. Belakangan, ketekunannya itu membuatnya dikenal sebagai seorang musisi yang andal.

Lulus dari bangku kuliah, ia memiliki penghasilan yang cukup baik dari bermusik. Bahkan, belasan negara dikunjunginya sebagai pemain band independen. Julien menuturkan, pada suatu kali ia mengikuti tur musik ke negara-negara Asia, termasuk Filipina dan Hong Kong.

Di region Tiongkok itu, Julien tampil dengan totalitas. Ia sangat puas karena sepanggung dengan beberapa musisi idolanya. Hingga dini hari, lelaki itu larut dalam hura-hura. Keesokan paginya, pemuda itu bangun dengan kondisi setengah mabuk.

Sesudah membersihkan diri, entah mengapa Julien merasa perlu merenung. Ia berpikir, kehidupannya baik-baik saja. Kekayaan dan popularitas mulai menghampirinya bak semut mendekati gula. Namun, Julien merasa hatinya hampa.

“Waktu itu aku merasa, hidup semestinya tidak seperti ini—tanpa arah dan tujuan. Aku pun memutuskan untuk kembali menjalani meditasi dan kepercayaan agama,” ujar Julien kepada tim YouTube Toward Eternity, beberapa waktu lalu.

 
Waktu itu aku merasa, hidup semestinya tidak seperti ini—tanpa arah dan tujuan. Aku memutuskan kembali menjalani meditasi dan kepercayaan agama.
 
 

 

Kembali ke Eropa, ia mengikuti sebuah ekspedisi peziarah di Spanyol. Kafilah itu terdiri atas orang-orang Nasrani yang menjalani napak tilas sepanjang seribu kilometer. Rutenya membentang mulai dari perbatasan Spanyol-Prancis hingga pantai barat Iberia.

Julien turut serta dalam perjalanan jamaat tersebut. Sekira 30 hari kemudian, rombongan ini tiba di Santiago de Compostela. Lelaki Prancis itu merasa dirinya terlahir kembali, sampai ketika sebuah kejadian menghentak kesadarannya.

Di kota itu, ia bersepeda seorang diri. Tiba-tiba, Julien berpapasan dengan sesama peserta rihlah tersebut. Melihat pada tanda pengenal, orang yang menabraknya itu berasal dari Brazil. Tanpa bisa dikendalikan, sumpah-serapah keluar dari lisan Julien. Lelaki Brazil itu pun membalasnya dengan caci-maki yang tidak kalah kasarnya.

“Padahal, aku baru saja menyelesaikan rute seribu kilometer. Perjalanan yang awalnya kukira bisa menjadikanku lebih saleh, ternyata tidak mengubah apa pun dalam diriku,” ujarnya mengenang.

Sesudah kejadian itu, Julien menyadari bahwa kesalehan hanya dapat dicapai melalui perjalanan spiritual, bukan hanya jasmaniah. Kemudian, ia mulai mencoba ritual-ritual dari berbagai agama, bukan hanya Nasrani.

Terkesan Islam

Selama beberapa tahun, lelaki poliglot itu mempelajari berbagai kebijaksanaan (wisdom) Timur. Sempat dirinya meninggalkan Kristen untuk memeluk kepercayaan Buddha. Beberapa meditasi khas agama tersebut dijalaninya dengan penuh disiplin.

Akan tetapi, saat sedang sepi dirinya tetap merasakan kehampaan. Mantan jurnalis itu berpikir, beberapa ritual yang dilakukannya semestinya membawanya pada Tuhan. Namun, Julien mengira, Dia tidak juga “hadir” dalam kehidupannya.

Pada waktu itu, ia tetap melakukan berbagai laku spiritual meskipun merasa telah kehilangan maknanya. Di sela-sela kesibukannya, meditasi-meditasi khas agama Buddha itu tetap dijalaninya. Termasuk ketika berada di hotel atau bandara.

Pekerjaannya ketika itu menuntutnya untuk sering bepergian ke luar negeri. Kebanyakan negara yang dikunjunginya berada di Asia dan Afrika. Umumnya adalah negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

 
Julien ingat momen pertama kali ia mengagumi suara azan.
 
 

 

Julien ingat momen pertama kali ia mengagumi suara azan. Saat sedang mengambil gambar di Tanzania, dirinya terkesima dengan kumandang panggilan shalat yang memancar dari masjid-masjid setempat. Padahal, tidak satu pun kalimat-kalimat azan itu dipahaminya.

Kekaguman yang sama juga diungkapkannya saat menyimak azan di Siprus, Turki, ataupun negara-negara Teluk Arab. Baginya, azan tidak hanya beresonansi di telinga, melainkan juga hati dan pikiran. Karena itu, ia amat menikmati setiap kunjungan ke negara-negara Islam.

Dalam perjalanan ke Filipina, pesawatnya transit selama lebih dari enam jam di bandara Abu Dhabi. Tidak ingin waktu yang cukup panjang itu hanya dihabiskan di ruang tunggu, ia pun memutuskan keluar dari bandara. Sebuah taksi disetopnya.

Sopir taksi itu seperti pengemudi angkutan umum pada umumnya. Menyadari dirinya turis, Julien pun meminta saran darinya tentang destinasi wisata yang bisa disambanginya dalam waktu sesingkat dua jam. Sang sopir mengajaknya untuk melihat-lihat masjid terbesar di Abu Dhabi.

“Dalam perjalanan, dia (sopir taksi) menyalakan radio. Lambat laun, aku amat menikmati suara dari radio itu. Rasanya sangat syahdu dan menenteramkan hati. Musik apa itu, tanyaku ke dia,” tutur Julien.

Mendengar pertanyaan itu, sopir taksi ini lantas menepikan kendaraan dan berhenti. Ia lalu menoleh kepada Julien dan bertanya balik.

“Bagaimana, Pak? Untuk Bapak ketahui, ini bukanlah musik, melainkan Alquran,” ungkapnya.

“Apa itu Alquran?” tanya Julien lagi.

Sopir itu kemudian menjelaskan kepadanya perihal kitab suci tersebut dan beberapa aspek ajaran Islam. Julien menyimaknya dengan penuh perhatian. Ia memandang, agama ini ternyata tidak seperti yang distigmakan sebagian orang Barat.

“Agama yang baik, tetapi bukan untukku. Ini agama Arab,” katanya.

Brother, aku harap Anda mendapatkan hidayah,” timpal sang sopir.

Menjadi Muslim

Kenangan akan kejadian di Abu Dhabi itu terus menempel di benaknya. Betapa Islam mengajarkan banyak hal. Ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Lebih dari itu, agama ini memberikan tujuan pada eksistensi manusia.

Kembali ke Prancis, ia semakin merasa sangat membutuhkan Tuhan. Namun, bagaimana berinteraksi dengan-Nya? Pada suatu sore, ia memanjatkan doa kepada-Nya; memohon agar diberikan petunjuk untuk dapat menaati-Nya dengan sebenar-benarnya.

Dengan mata terpejam, Julien bermunajat dalam hati. Secara tidak sengaja, ia memerhatikan layar ponselnya yang sedang memutar video YouTube. Tanpa disadarinya, video yang sedang diputar menampilkan tayangan tentang doa meminta hujan, menurut kepercayaan Islam.

Membaca tulisan di video itu, tiba-tiba tampak olehnya hujan turun. Dari balik jendela, ia melihat rintik hujan. Bagi Julien, inilah jawaban Tuhan. Bahwa Dia tidak akan membiarkannya terabaikan dan sendiri.

 
Dari balik jendela, ia melihat rintik hujan. Bagi Julien, inilah jawaban Tuhan. Bahwa Dia tidak akan membiarkannya terabaikan dan sendiri.
 
 

 

Mulai saat itu, ia serius mempelajari Islam. Sampai pada suatu ketika, Julien berkesempatan untuk mengikuti ceramah seorang dai AS, Yusuf Estes. Saat sesi tanya-jawab, ia pun mengajukan pertanyaan kepada ulama itu, termasuk dalam hal perbedaan antara Bibel dan Alquran.

“Ia (Yusuf Estes) menjawab, bahwa Alquran adalah kalamullah, sedangkan yang lain itu adalah perkataan manusia. Langsung aku teringat kesan pertama yang kuterima dari menyimak tadarus Alquran di Abu Dhabi. Aku merasa, ini benar,” katanya.

Usai acara, Julien masih diberi kesempatan untuk ikut berdiskusi dengan Yusuf Estes. Sekira 30 menit kemudian, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak itulah dirinya resmi memeluk Islam.

“Aku merasa sangat lega. Ini (masuk Islam) adalah karunia paling besar yang pernah ada dalam hidupku,” tuturnya.

 
Aku merasa sangat lega. Ini (masuk Islam) adalah karunia paling besar yang pernah ada dalam hidupku
 
 

 

Ketika mengabarkan keislamannya kepada orang tua, respons yang diterimanya cenderung negatif. Namun, hal itu tidak bertahan lama. Seiring waktu, ibunya mulai bisa menerima keputusannya. Terlebih lagi, wanita itu mendapatkan kesan, anaknya ini semakin baik sesudah berislam.

Pada masa-masa awal menjadi Muslim, Julien mulai didera ujian. Salah satunya adalah, pihak label musik memintanya untuk tidak mempublikasikan keislamannya. Ia bahkan dijanjikan uang dalam jumlah amat besar, sekira 1 miliar dolar AS. Itu asalkan dirinya menyembunyikan iman.

“Aku tolak tawaran itu. Bagiku, tidak ada apa pun itu yang bisa menutupi kebanggaanku dengan keadaanku saat ini, menjadi Muslim,” ujarnya.

photo
Julien Drolon berjabat tangan dengan PM Malaysia saat itu Mahathir Mohamad. - (DOK FACEBOOK)

Kini, Julien menekuni dunia film. Salah satu proyeknya terkini adalah film dokumenter yang berjudul “The Last Hope.” Di dalamnya, ia mewawancarai puluhan mualaf, dan menanyakan kepada mereka kesan tentang sosok Nabi Muhammad SAW.

Tema besarnya adalah rindu Rasul SAW. Al-Musthafa adalah harapan terakhir dan terbesar untuk kemanusiaan pada umumnya. “Insya Allah, karya ini akan diluncurkan pada 2023 mendatang,” ucapnya.

Pengelola Halis Media ini berharap, dirinya dapat terus aktif dalam dunia dakwah digital. Menurutnya, rasa persaudaraan Muslim (ukhuwah Islamiyah) hendaknya terus dikuatkan. Sebab, semua Muslim bagaikan satu tubuh. Bila yang satu terluka, maka seluruhnya akan merasakan luka yang sama.

Militer Utsmani dan Perebutan Kekuasaan

Militer Utsmaniyah menghadapi persaingan dengan sesama daulah Muslim.

SELENGKAPNYA

Sejarah Militer dan Sistem Ketentaraan Utsmani

Lini-lini militer yang efektif menjadi kunci kuatnya Daulah Turki Utsmaniyah.

SELENGKAPNYA

Menanti Jariah Baru Republika

Republika dalam hal ini harus mempersonifikasi dengan Ibnu Khaldun, bukan yang lain.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya