ILUSTRASI Lukisan abad pertengahan yang menggambarkan situasi Perang Mohac. Turki Utsmaniyah memiliki militer yang kuat di dunia pada jelang era modern. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Sejarah Militer dan Sistem Ketentaraan Utsmani

Lini-lini militer yang efektif menjadi kunci kuatnya Daulah Turki Utsmaniyah.

Ketentaraan berperan penting dalam pertahanan nasional. Suatu negara akan mampu menjawab berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, jika didukung militer yang solid. Sebaliknya, melemahnya angkatan bersenjata dapat memicu kerentanan atau bahkan kehancuran.

Kekuatan militer merupakan salah satu kunci pesatnya perkembangan Turki Utsmaniyah. Dalam rentang sejarahnya, daulah tersebut pernah menghasilkan angkatan bersenjata yang tangguh. Bala tentaranya bukan hanya andal dalam menjaga wilayah negeri, tetapi juga disegani bangsa-bangsa Eropa. Hal itu terjadi khususnya pada masa antara abad ke-15 dan 16 M.

Mulanya, kerajaan Islam tersebut hanya menguasai sebagian kecil wilayah Asia Minor pada akhir abad ke-13 M. Namun, Osman Ghazi mampu membangun dan memobilisasi laskar-laskar bersenjata dari kalangan Suku Turk setempat.

photo
Cover Islam Digest edisi Sabtu 31 Desember 2022. Sejarah Militer Utsmani. - (Islam Digest/Republika)

Adapun Romawi Timur (Bizantium) sejak 1280 terus mengalami perpecahan politik. Imbasnya, kekaisaran itu cenderung tidak siap menghadapi pasukan yang dikomandoi sang pendiri Dinasti Utsmaniyah di Anatolia.

Osman wafat pada 1323 M. Pada saat dirinya meninggal, wilayah kerajaan Islam itu mencapai seluas 16 ribu km persegi di Anatolia barat. Kemudian, kepemimpinan diteruskan kepada putra almarhum, Orhan Ghazi.

Dalam masa pemerintahannya, Bani Utsmaniyah mulai mengadakan reformasi sehingga kekuatan militer yang ada lebih sistematis. Saudara laki-laki Alauddin Pasha itu mencanangkan tiga lini pasukan utama. Ketiganya adalah para prajurit reguler (Sipani), garda depan (Hazeb), dan korps khusus yang disebut sebagai Janissary.

Mereka semua ditempatkan dalam asrama. Di samping itu, setiap personel pun menerima pelatihan militer dan pendidikan keagamaan Islam secara intensif. Perbedaan di antara ketiganya cenderung terletak pada aspek-aspek teknis. Misalnya, setiap prajurit Sipani hanya memperoleh gaji rutin setiap bulan yang mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.

Kemudian, ada pasukan Hazeb. Sesuai dengan namanya, mereka pasti terjun ke medan perang (hizb). Tidak hanya mendapatkan bayaran bulanan, kelompok ini juga berhak atas harta rampasan perang (mal al-ghanimah) apabila sukses meraih kemenangan atas musuh.

photo
Lukisan dua orang tentara anggota korps Janissari pada akhir abad pertengahan. - (DOK WIKIPEDIA)

Terakhir ialah kelompok Janissary atau Yaniceri. Korps infanteri ini memiliki tugas khusus, yakni menjaga keamanan diri sultan dan keluarga istana. Inilah pasukan pengamanan kepala negara (secret service) terbaik di dunia pada masanya.

Karena mengemban tugas istimewa, setiap personel Janissary telah melalui proses seleksi yang sangat ketat. Bahkan, pihak istana sering kali menerapkan Devsirme. Sistem itu adalah sebuah perekrutan yang menyasar para anak lelaki dari kalangan non-Muslim Yunani atau Balkan pada umumnya.

Menurut Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, masih banyak prasangka negatif mengenai Devsirme. Padahal, sistem tersebut tidak berarti “upeti anak”. Ustmaniyah pun tidak merampas anak-anak dari keluarga mereka.

Yang terjadi adalah, lanjut as-Sirjani, anak-anak itu berasal dari kalangan mualaf. Pihak keluarga atau diri mereka sendiri bersedia mengikuti perekrutan tentara elite Utsmaniyah bukan karena dipaksa.

“Anak-anak itu oleh orang tuanya diserahkan kepada Sultan untuk ditempa dengan pendidikan Islam yang baik. Adapun sisanya ialah anak-anak yatim dan terlantar korban peperangan, yang kemudian dipelihara dengan baik oleh pemerintah Utsmaniyah,” tulis sejarawan tersebut.

As-Sirjani menerangkan, pembentukan ketiga lini itu merupakan sebuah cara Orhan Ghazi mereformasi militer Utsmaniyah. Putra Osman Ghazi tersebut menghendaki terwujudnya struktur pertahanan yang lebih taktis dan terorganisasi. Dalam kondisi damai, misalnya, pasukan Sipani harus bisa diandalkan untuk menjaga keamanan nasional. Adapun dalam situasi perang, negara menugaskan kelompok Hazeb untuk melawan musuh. Sementara itu, kaum Janissary selalu setia mengawal keselamatan sultan dan keluarga kerajaan.

photo
ILUSTRASI Lukisan Sultan Mehmed II l-Fatih saat pimpin pasukan untuk menaklukkan Konstantinopel pada 1453. - (DOK WIKIPEDIA)

Era al-Fatih

Penaklukan atas Konstantinopel merupakan capaian besar dalam sejarah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Prestasi itu tidak mungkin terwujud tanpa adanya persiapan yang sempurna. Sejak masa Orhan Ghazi hingga Murad II, kapabilitas militer kesultanan tersebut terus ditingkatkan.

Sampai pada era Mehmed II, angkatan perang Utsmaniyah pun kian solid. Sultan yang naik takhta ketika berusia 19 tahun itu melaksanakan pembangunan militer dengan berbagai kebijakan. Misalnya, penerapan seleksi yang lebih ketat untuk menyaring calon tentara, khususnya yang akan mengisi lini Janissary.

Putra Murad II itu menginstruksikan beberapa komandan dari unit Janissari untuk mendatangi wilayah-wilayah tertentu, khususnya kawasan perdesaan. Mereka ditugaskan untuk memilih atau mengumpulkan para pemuda yang dinilai cakap untuk mengikuti pendidikan militer.

photo
ILUSTRASI Sultan Mehmed II al-Fatih mendayagunakan armada laut untuk mengepung Konstantinopel pada 1453. - (DOK WIKIPEDIA)

Setiap anak muda yang akan dibawa ke Edirne—ibu kota Utsmaniyah saat itu—telah melalui restu orang tua mereka. Sering kali, para orang tualah yang ingin anak mereka didaftarkan sebagai calon tentara Janissari.

Dengan metode “turun ke bawah” (turba) itu, pemerintah dapat menemukan bibit-bibit unggul. Sebagai perantau dari daerah-daerah pelosok, anak-anak muda itu cenderung bermental tangguh ketika mengikuti program kaderisasi. Harapannya, ketika akhirnya bergabung dalam korps Janissary mereka bukan hanya setia, tetapi juga andal dalam mengikuti setiap arahan negara.

Sultan Mehmed tidak pernah ragu untuk mengganti personel yang terbukti kurang disiplin. Hukuman keras tidak hanya dijatuhkannya kepada prajurit level bawah, tetapi juga jajaran panglima. Contoh yang masyhur adalah ketika dirinya memecat seorang jenderal di tengah misi pengepungan Konstantinopel 1453 M.

Laksamana Suleiman Baltoghlu ketika itu memimpin sekira 400 unit kapal perang Utsmaniyah. Mereka bertugas mengepung benteng pusat Romawi Timur (Bizantium) itu dari sisi Selat Bosphorus dan Laut Marmara. Sementara itu, pasukan darat Utsmaniyah di Thrace terus menggempur sisi barat tembok kota Konstantinopel.

Awalnya, pengepungan berjalan sesuai dengan rencana. Namun, armada yang dipimpin Baltoghlu kemudian porak poranda dihantam kapal-kapal bantuan yang dikirimkan pihak sekutu Bizantium. Mehmed sangat kecewa. Hampir saja sultan Turki tersebut menghukum mati Baltoghlu. Belakangan, sang laksamana “hanya” dipecat dari jabatannya dan diasingkan.

 
Meriam menjadi alat andalan bagi pasukan Utsmaniyah. Pada zaman Mehmed al-Fatih, perancang yang terkenal adalah Orban.
 
 

Akomodasi tentara pun dipersiapkan dengan matang. Sultan Mehmed mendirikan pabrik-pabrik untuk memenuhi berbagai kebutuhan pasukannya, seperti seragam, perisai, pelana kuda, dan lain-lain. Tentunya, aspek persenjataan pun ditingkatkan, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas.

Utsmaniyah ketika itu memiliki sentra-sentra penyimpanan dan sekaligus pemeliharaan senjata yang disebut cebehane. Yang utama berlokasi di Edirne. Sesudah Konstantinopel berhasil direbut, cebehane terbesar dibangun di atas lahan bekas Gereja Hagia Eirene, kota setempat.

Meriam menjadi alat andalan bagi pasukan Utsmaniyah. Pada zaman Mehmed al-Fatih, perancang yang terkenal adalah Orban. Desainer yang berasal dari Balkan tersebut sangat ahli dalam merakit senjata laras besar dan panjang itu. Konon, meriam-meriam buatannya memiliki bobot hingga ratusan ton. Perlu ratusan lembu untuk menariknya.

 
Al-Fatih pun memerhatikan aspek spiritual tentaranya. Penguatan keislaman diterapkannya bahkan sejak proses perekrutan seluruh calon prajurit.
 
 

Al-Fatih pun memerhatikan aspek spiritual tentaranya. Penguatan keislaman diterapkannya bahkan sejak proses perekrutan seluruh calon prajurit. Pelatihan militer di barak-barak tidak hanya mengajarkan pelbagai keterampilan praktis, semisal penggunaan senjata dan simulasi strategi tempur. Mereka pun menerima bimbingan dari alim ulama sehingga terstimulus untuk rutin mengamalkan ibadah-ibadah, baik yang sunah maupun wajib.

Tadarus Alquran menjadi kebiasaan yang rutin dilakukan setiap prajurit. Begitu pula dengan shalat tahajud di sepertiga malam. Dalam hal ini, Mehmed memberikan contoh teladan. Sejak akil baligh, dirinya tidak pernah lalai mendirikan qiyam al-lail.

Dikisahkan, pasukan Utsmaniyah akhirnya dapat menguasai Konstantinopel pada 29 Mei 1453. Sesudah itu, Mehmed hendak menyelenggarakan shalat Jumat pertama di kota taklukan tersebut. Pemimpin yang baru berusia 21 tahun itu kemudian bertanya kepada seluruh hadirin di tanah lapang, “Siapakah yang layak menjadi imam shalat Jumat?”

Tiada jawaban. Lantas, seluruh jamaah dimintanya berdiri. Berturut-turut, ia mengajukan pertanyaan, siapakah di antara mereka yang tidak pernah sekalipun meninggalkan shalat wajib, shalat sunah rawatib, dan qiyam al-lail. Sampai pada pertanyaan terakhir, hanya Mehmed yang berdiri. Maka, dialah yang memimpin shalat Jumat perdana di Konstantinopel.

photo
ILUSTRASI Sultan Mehmed II al-Fatih baru berusia 21 tahun saat memimpin pasukan Islam untuk membebaskan Konstantinopel. - (DOK WIKIPEDIA)

Merata

Turki Utsmaniyah menerapkan sistem pertahanan yang berjenjang dan merata di seluruh wilayah negeri. Setiap provinsi memiliki pasukan yang dinamakan eyalet askerleri. Mereka tidak bertanggung jawab langsung kepada sultan, melainkan gubernur.

Tiap eyalet askerleri terbagi ke dalam tiga divisi. Pertama adalah timarli sipahi. Mereka bertugas menjaga wilayah provinsi tempatnya berada. Gaji mereka diambil dari dana provinsi sehingga tidak membebani pemerintah pusat. Pada masa damai, para prajurit ini sering kali bekerja layaknya sipil, semisal dengan menjadi petani.

Kedua adalah azaplar, yakni kesatuan pasukan berjalan kaki. Umumnya, mereka adalah anak-anak muda di bawah usia 30 tahun. Terakhir, akinci sebagai divisi yang cukup unik. Sebab, para personelnya sesungguhnya adalah suku-suku seminomaden yang setia pada sultan Turki. Pada masa perang, mereka dikerahkan untuk menyabotase jalur yang akan dilalui pasukan musuh. Tugas lainnya adalah menjadi mata-mata dan menjaring informasi di wilayah lawan.

Militer Utsmani dan Perebutan Kekuasaan

Militer Utsmaniyah menghadapi persaingan dengan sesama daulah Muslim.

SELENGKAPNYA

Menanti Jariah Baru Republika

Republika dalam hal ini harus mempersonifikasi dengan Ibnu Khaldun, bukan yang lain.

SELENGKAPNYA

Masjid Al Jabbar Kearifan Islam di Jawa Barat

Al Jabbar menjadi tempat sujud yang memancarkan cahaya kearifan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya