ILUSTRASI Lukisan yang menggambarkan pasukan Turki Utsmaniyah yang diperkuat meriam. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Militer Utsmani dan Perebutan Kekuasaan

Militer Utsmaniyah menghadapi persaingan dengan sesama daulah Muslim.

“Negeri-negeri mesiu” atau gunpowder empires merupakan istilah yang digunakan oleh Marshall GS Hodgson dalam buku The Venture of Islam. Sejarawan dari Universitas Chicago itu merujuk pada tiga imperium Islam yang berjaya di Asia usai pudarnya Imperium Mongol pada abad ke-14 M. Ketiganya adalah Turki Utsmaniyah, Safawiyah, dan Mughal. Masing-masing berpusat di Anatolia, Persia, dan India.

Hodgson menjelaskan, bubuk mesiu mengubah situasi geopolitik dunia jelang era modern. Benda yang mudah meledak itu pertama kali ditemukan di Cina pada abad kesembilan. Kira-kira 100 tahun kemudian, para kaisar menggunakannya untuk persenjataan.

Bangsa Arab mulai mengenal bahan peledak itu sejak bala tentara Mongol menginvasi Asia barat pada awal abad ke-13 M. Pada 1240 M, Hasan al-Rammah menjadi ilmuwan Muslim pertama yang meneliti pembuatan mesiu.

Hasil risetnya termaktub dalam Al-Furusiyya wa al-Manasib al-Harbiyya (Kitab Militer dan Alat Perang Cerdik). Sarjana kelahiran Syam itu menyebut bubuk mesiu, kembang api, dan roket berturut-turut sebagai “salju”, “bunga”, dan “panah” Tionghoa.

photo
Cover Islam Digest edisi Sabtu 31 Desember 2022. Sejarah Militer Utsmani. - (Islam Digest/Republika)

Dalam hal pemanfaatan mesiu untuk kepentingan militer, kaum Muslimin mendahului bangsa-bangsa Eropa-Kristen. Dibandingkan dengan kedua daulah lainnya yang disebutkan dalam tulisan Hodgson, Utsmaniyah adalah pelopor dan cukup sukses.

Setidaknya sejak zaman Bayezid I, kerajaan Islam ini telah menggunakan artileri di pelbagai pertempuran, termasuk pengepungan Konstantinopel pada 1399 dan 1402 M. Keberhasilan Mehmed II menaklukkan Bizantium pun didukung keandalan senjata api dan meriam.

Selama pemerintahan sultan yang bergelar al-Fatih itu, teknologi persenjataan Janissary semakin berkembang. Pada masanya, inilah korps militer paling modern. Mereka adalah pasukan infanteri pertama yang dilengkapi dengan senjata api di dunia.

Kombinasi antara artileri, senapan kopak, dan merium menjadikan Janissary kian ditakuti lawan. Kekuatan mereka nyaris tak terkalahkan dalam setiap palagan. Dalam Perang Varna pada 1444 M, misalnya, pasukan elite Turki itu berhasil menghalau aliansi tentara Salib yang dibentuk kerajaan-kerajaan Kristen Eropa. Begitu pula keadaannya ketika Utsmaniyah memenangkan Perang Mohac pada 1526 M di Balkan.

 
Dalam hal pemanfaatan mesiu untuk kepentingan militer, kaum Muslimin mendahului bangsa-bangsa Eropa-Kristen.
 
 

Belakangan, dua rival Utsmaniyah—yakni Safawiyah dan Mughal—ikut mengadopsi penggunaan senjata mesiu. Bagi Safawiyah, pengalaman pahit dari Perang Chaldiran pada 1514 M memberikan pelajaran yang amata berharga. Dalam peristiwa tersebut, daulah Syiah ini menghadapi pasukan Turki yang tidak hanya unggul secara kuantitas. Lawannya itu memiliki banyak unit artileri.

Usai pertempuran, Ismail I mengalami luka parah. Sesampainya di ibu kota, raja Safawiyah itu langsung menyusun rencana untuk segera mereformasi militernya. Cita-citanya baru terwujud pada masa penerusnya, yakni Tahmasp. Shah tersebut berhasil merealisasikan pasukan artileri Safawiyah yang dipersenjatai dengan ratusan meriam.

Namun, dinasti yang dianggap sebagai peletak dasar Iran modern itu akhirnya tidak sanggup mengatasi rivalnya. Setelah melalui berbagai konflik, pada 1639 Safawiyah harus merelakan sebagian besar Irak kepada Utsmaniyah. Hingga 100 tahun kemudian, wangsa Syiah itu terus saja melemah. Satu per satu wilayahnya direbut negara-negara tetangga dan beberapa kekuatan kolonial Eropa, utamanya Belanda dan Inggris.

photo
ILUSTRASI Sultan Mehmed II al-Fatih baru berusia 21 tahun saat memimpin pasukan Islam untuk membebaskan Konstantinopel. - (DOK WIKIPEDIA)

Pendiri Dinasti Mughal, Mirza Zahiruddin Muhammad, telah mengenal senjata mesiu dan artileri yang biasa digunakan tentara Utsmaniyah. Ia pun ingin memanfaatkannya guna melancarkan misi penaklukan atas Delhi, India. Pada 1519 M, pemimpin yang bergelar Babur itu merekrut seorang ahli senapan dari Utsmaniyah.

Ustaz Ali Quli, demikian namanya, kemudian menunjukkan kepada sang raja perihal sistem standar militer yang diterapkan Utsmaniyah sejak era al-Fatih. Termasuk di dalamnya adalah komposisi artileri, formasi meriam dan pasukan bersenjata api. Babur meniru taktik tersebut ketika mengalahkan pasukan Ibrahim Lodi dalam Perang Panipat I.

Usai pertempuran itu, tamatlah riwayat Kerajaan Delhi dan sekaligus dimulainya Dinasti Mughal. Mughal semakin giat membangun kekuatan militer sejak diperintah berturut-turut oleh Akbar, Shah Jahan, dan Aurangzeb (1658-1707 M). Menurut

Firas Alkhateeb dalam Lost Islamic History, para sultan itu di setiap periode berjasa dalam memperluas wilayah kekuasaan. Ekspansi dinasti ini berhasil menaklukkan seluruh Anak Benua India. Pada masa keemasan, Mughal amat makmur. Nyaris seperempat dari total nilai produksi (gross domestic product/GDP) dunia dikendalikan olehnya.

photo
Sultan Selim I - (DOK Wikipedia)

Persaingan

Sejak masa kepemimpinan Selim I (1512-1522 M), Turki Utsmaniyah terus meningkatkan kapasitas militernya. Dalam menjalankan politik ekspansi, para sultan tidak hanya menghadapi kendala dari berbagai kerajaan non-Muslim di sekitar, tetapi juga sesama daulah Muslimin. Tentunya, persaingan yang paling “ketat” terjadi antara Utsmaniyah di satu sisi dan Safawiyah serta Mughal di sisi lain.

Selim I sukses mengalahkan Mamluk Mesir. Sejak saat itu, Turki mengendalikan tiga tanah suci Islam—Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis—sehingga berhak menyandang titel kekhalifahan. Namun, Safawiyah tidak pernah mengakui hal itu. Begitu pula dengan Mughal.

Barangkali, kerenggangan hubungan antara Utsmaniyah dan Safawiyah dapat dipahami dalam konteks perbedaan mazhab. Yang satu menganut paham Islam Sunni, sedangkan yang lain berpegang pada keyakinan Syiah. Bahkan, satu sama lain saling bersaing sekalipun dengan jalan “merangkul” kerajaan non-Muslim.

Sebagai contoh, aliansi antara Safawiyah dan Habsburg. Persekutuan militer ini dibangun dengan dasar pemikiran, masing-masing memiliki musuh yang sama, yaitu Utsmaniyah. Mulanya, komunikasi antara Shah Ismail dan Raja Charles I hanya sebatas membangun kesepahaman tentang “ancaman” Turki.

Barulah pada era Charles V, aliansi dalam artian yang sesungguhnya terjalin. Pada 1529 M, Utsmaniyah melancarkan pengepungan terhadap Wina, Austria. Dari Toledo, raja Takhta Romawi Suci itu berkirim surat kepada Shah Tahmasp.

Isinya memohon Safawiyah untuk menyerang wilayah Utsmaniyah timur, yang berbatasan langsung dengan negeri Syiah tersebut. Harapannya, serangan itu dapat memecah konsentrasi sultan Turki yang hendak menjebol tembok benteng Wina.

photo
ILUSTRASI Pengepungan kota Wina, Austria, oleh tentara Turki Utsmaniyah. Berkali-kali upaya itu dilancarkan hingga tahun 1683, Utsmaniyah tidak kunjung berhasil. - (DOK WIKIPEDIA)

Tahmasp menjawab surat dari Charles V dengan nada bersahabat. Bagaimanapun, Safawiyah tidak mampu menjalankan rencana semula. Sebab, Persia sedang dilanda konflik internal, termasuk pemberontakan yang digerakkan suku-suku Uzbek di Asia tengah.

Pemusuhan antara Utsmaniyah dan Mughal mungkin tidak setajam yang terjadi dengan Safawiyah. Malahan, sempat terbentuk rencana untuk membentuk aliansi Sunni yang terdiri atas Turki, Mughal, dan Uzbek, untuk menyerbu daulah Syiah tersebut. Namun, hal itu urung terlaksana karena Jahangir lebih dahulu wafat pada 1627 M.

Saat Perang Wina terjadi pada Juli-September 1683 M, bangsa-bangsa Katolik Eropa bersatu padu. Mereka berupaya mempertahankan kota Austria itu dari serangan Utsmaniyah. Dalam keadaan demikian, Mughal menolak membantu kekhalifahan tersebut. Alasan utamanya, Delhi sendiri “sibuk” menghadapi para pemberontak di dalam negeri. Tambahan pula kekuatan kolonial, khususnya Britania Raya, mulai menancapkan kuku kekuasaannya di Anak Benua India.

Seandainya sukses merebut Wina, selangkah lagi Roma jatuh ke tangan Islam. Ada pelbagai faktor kegagalan Utsmaniyah dalam misi penggempuran kota tersebut. Sosok yang acap kali disebut-sebut paling bertanggung jawab adalah Kara Mustafa Pasha.

 
Seandainya sukses merebut Wina, selangkah lagi Roma jatuh ke tangan Islam.
 
 

Wazir agung Turki itu memimpin 100 ribu personel. Mereka dilengkapi pelbagai persenjataan, termasuk meriam-meriam yang mampu melontarkan peluru berbobot ratusan kilogram. Sementara itu, pasukan Kristen yang bertahan di Wina tidak lebih dari 10 ribu personel.

Tampaknya, kemenangan sudah di depan mata. Sultan Mehmed IV sudah menaruh optimisme besar. Akan tetapi, Mustafa Kara ternyata tidak cermat dalam mengenal medan pertempuran. Lanskap Wina yang berbukit-bukit luput dari perhitungannya.

Kelengahan itu dimanfaatkan dengan baik oleh aliansi Jerman dan Polandia. Di bawah komando Jan Sobieski, pasukan Kristen memecah kekuatan bala tentara Utsmaniyah. Tepat pada tanggal 12 September 1683 M, Mustafa Pasha menarik mundur pasukannya dari Wina.

Mehmed IV sedang berada di Beograd ketika mendengar kabar kegagalan misi penyerbuan Wina. Orang-orang di sekitarnya mengusulkannya agar sang wazir dieksekusi mati sebagai hukuman atas kekalahan yang memalukan itu. Akhirnya, sang sultan menjatuhkan vonis itu. Pada hari eksekusi, Mustafa Pasha dicekik dengan lilitan kain hingga tak bernyawa.

photo
Lukisan dua orang tentara anggota korps Janissari pada akhir abad pertengahan. - (DOK WIKIPEDIA)

Mengenal Pasukan Elite Janissari

Dari seluruh korps militer Turki Utsmaniyah pada abad pertengahan, Janissari menjadi yang paling masyhur. Kelompok tentara elite ini dekat dengan sultan. Sebab, tugas utama mereka memang menjaga keamanan dan keselamatan raja dan keluarga istana.

Sejarawan Micah Azzir mengungkapkan kehebatan pasukan ini. Mereka sejak masih belia sudah ditempa dengan berbagai pendidikan dan pelatihan militer. Bukan hanya disiplinnya yang dibentuk, tetapi juga keteguhannya dalam berislam. “Pendidikan yang keras membuat mereka terlatih dalam menghadapi perang,” ujar Azzir.

Mereka dilatih untuk memiliki mental siap tempur. Setiap personel Janissari dilarang keras mengonsumsi dan melakukan perbuatan-perbuatan haram, termasuk menenggak khamar dan berjudi. Dua hal itu acap kali dilakukan sebagian mereka dahulu, ketika belum memeluk Islam.

 
Kandidat terbaik yang lolos seleksi calon Janissari akan dikirim ke istana sultan. Di sana, mereka dibentuk menjadi pengawal.
 
 

Kandidat terbaik yang lolos seleksi calon Janissari akan dikirim ke istana sultan. Di sana, mereka dibentuk menjadi pengawal. Adapun sebagian lain akan menjadi pasukan cadangan yang akan dipekerjakan sementara di bawah pengawasan Utsmaniyah. Termasuk dalam hal ini pegawai pemerintahan hingga tenaga terampil lainnya.

Dengan keunggulan dan keistimewaan pasukan ini, banyak keluarga di daerah penaklukan yang berlomba mendaftarkan putra mereka sebagai Janissari. Dari abad ke-15 sampai akhir abad ke-17, setidaknya ada 200 ribu hingga 300 ribu remaja laki-laki direkrut dengan sistem Devsirme untuk menjadi Janissari. Seiring waktu, para Janissari begitu sukses sehingga mereka tumbuh menjadi salah satu kekuatan sendiri di Kerajaan Turki Ustmaniyah.

Sayang, kemampuan mereka kemudian disalahgunakan untuk memengaruhi kebijakan. Mereka pun terlibat dalam konspirasi politik. Hingga abad ke-17, Janissari telah terlibat banyak kudeta terhadap sultan di istana untuk perebutan kekuasaan.

 
Tugas Janissari disalahgunakan sebagai alat penggulingan kekuasaan. Di sisi lain, korupsi tumbuh di korps Janissari menggerogoti kekuatan militer Kekaisaran Turki Utsmani.
 
 

Tugas Janissari disalahgunakan sebagai alat penggulingan kekuasaan. Di sisi lain, korupsi tumbuh di korps Janissari menggerogoti kekuatan militer Kekaisaran Turki Utsmani hingga terus dikalahkan oleh musuh. “Bahkan para Jannisari ini kemudian melanggar aturan mereka, terlibat dalam hubungan seksual dengan harem sultan hingga merencanakan pemberontakan dan membunuh Sultan Selim III (1789-1807),” ujar Azziz mengungkapkan.

Upaya kudeta yang sama dilakukan Janissari terhadap Sultan Mahmud II (1808-1839). Namun, upaya tersebut gagal dan membuat Sultan Mahmud II marah besar. Akhirnya, pada 1826 Sultan Mahmud II berbalik memerintahkan seluruh pasukannya memerangi Janissari dan membubarkan pasukan elite tersebut. “Lebih dari 4.000 Janissari tewas,” kata Azziz. Menurutnya, itu merupakan akhir yang menyedihkan dari sejarah pasukan elite.

“Sebagian mereka desersi dan lari akibat ketidaktaatan mereka, sedangkan sebagian yang lain dihukum mati,” ujarnya.

Sejarah Militer dan Sistem Ketentaraan Utsmani

Lini-lini militer yang efektif menjadi kunci kuatnya Daulah Turki Utsmaniyah.

SELENGKAPNYA

Menanti Jariah Baru Republika

Republika dalam hal ini harus mempersonifikasi dengan Ibnu Khaldun, bukan yang lain.

SELENGKAPNYA

Masjid Al Jabbar Kearifan Islam di Jawa Barat

Al Jabbar menjadi tempat sujud yang memancarkan cahaya kearifan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya