
Tema Utama
Sulaiman al-Qanuni, Sang Penerus Kejayaan Utsmaniyah
Di bawah pemerintahan Sulaiman al-Qanuni, Utsmaniyah meneruskan kejayaan yang sudah dimula dahulu.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,” demikian ungkap sebuah pepatah. Pengibaratan itu kiranya sesuai untuk Sulaiman I al-Qanuni. Sultan ke-10 dan sekaligus yang paling lama berkuasa dalam sejarah Turki Utsmaniyah itu meneruskan estafet kepemimpinan dari ayahnya yang wafat pada 1520 M.
Di bawah kendalinya, Utsmaniyah mengalami masa keemasan. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan hingga ke yakni Rhodesia, Serbia, Hungaria, dan sebagian Austria.
Di luar bidang militer, Sulaiman mengkaji dan menyusun sistem undang-undang kerajaan. Karena itu, dirinya menyandang gelar al-qanun, ‘sang peneguh aturan.’ Orang-orang Eropa barat menjulukinya the Magnificent, ‘pemimpin yang hebat'.

Khalifah Turki tersebut juga memiliki wawasan budaya yang tinggi. Ia menjadi patron bagi banyak seniman, sastrawan, dan arsitek. Bahkan, putra Selim I itu pun turut menggubah puisi. Dari tangannya, telah lahir salinan mushaf Alquran yang hingga kini tersimpan dengan baik di Masjid Raya Sulaimaniyah, Istanbul.
Namanya harum sebagai pembawa kemajuan bagi Kekhalifahan Utsmaniyah. Dalam masa pemerintahannya, Konstantinopel—kini Istanbul—sebagai ibu kota kerajaan menjelma pusat peradaban Islam. Daulah tersebut memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang menggentarkan bangsa-bangsa Eropa.
Sulaiman lahir pada 6 November 1494 di Trabzon, Anatolia timur laut. Saat berusia tujuh tahun, dirinya mulai tinggal di istana Konstantinopel. Sejak saat itu, putra satu-satunya yang dimiliki Selim I tersebut menerima pendidikan layaknya penerus takhta kerajaan.
Ia mempelajari pelbagai disiplin agama dan umum. Di antara ilmu-ilmu yang diserapnya adalah bahasa dan sastra Arab, sejarah, taktik kemiliteran, serta sains. Dirinya pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang cerdas dan bervisi jauh ke depan.

Saat berusia 26 tahun, Sulaiman naik ke singgasana. Tidak seperti beberapa pendahulunya, ia meraih titel khalifah tanpa mesti berseteru dengan saudara-saudara sedarah. Kira-kira tiga tahun kemudian, raja Utsmaniyah itu menikah dengan Roxelana, seorang mantan budak Nasrani yang dibawa dari Galicia.
Pada awal masa pemerintahannya, Khalifah Sulaiman al-Qanuni mesti menghadapi empat upaya pemberontakan sekaligus. Energinya cukup terkuras untuk mengatasi keempat kup tersebut. Api perlawanan digelorakan sejumlah gubernur yang mengira, wafatnya Selim I menandakan momen separatisme.
Yang pertama adalah Jan Bardi al-Ghazali. Gubernur Syam itu secara terang-terangan berusaha merebut Aleppo atau Halb dari kontrol Konstantinopel. Khalifah tidak tinggal diam. Bala tentara diterjunkannya ke lokasi yang memanas itu. Akhirnya, Jan Bardi dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Yang kedua digerakkan oleh Ahmad Shah. Pemberontak ini menghasut orang-orang Mesir agar tidak menaati peraturan dari Konstantinopel. Padahal, Khalifah sempat memberikan jabatan gubernur untuknya.
Pada awal masa pemerintahannya, Khalifah Sulaiman al-Qanuni mesti menghadapi empat upaya pemberontakan sekaligus.
Nyatalah bahwa Ahmad hendak menjadi penguasa yang independen dari kendali pemerintah pusat. Konstantinopel pun mengirimkan pasukan khusus untuk menyergapnya. Seeprti Jan Bardi, nasib mantan gubernur Mesir itu pun berujung eksekusi mati.
Pembangkangan yang ketiga dilakukan kalangan Syiah Rafidhah pimpinan Bab Dzun Nun. Pada awal tahun 1526 M, mereka memberontak di wilayah Yuzaghad. Gerakan ini nyaris menguasai sebagian Syam dengan memobilisasi sekitar tiga ribu personel milisi.
Khalifah tidak tinggal diam. Dengan strategi yang sistematis, ribuan orang Syiah Rafidhah yang memberontak dapat ditanggulangi. Akhirnya, Bab Dzun Nun dapat diringkus. Kepalanya kemudian dibawa ke Konstantinopel.
Pemberontakan keempat terjadi usai padamnya pergerakan Dzun Nun. Di Qawniyah dan Mar’asy, sejumlah elite Syiah Rafidhah mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah pusat. Jumlah pengikutnya mencapai 30 ribu orang.
Untuk menghadapi mereka, Sulaiman mengerahkan pasukan yang dikomandoi Bahram Pasya. Namun, komandan Utsmaniyah itu lalu terbunuh dalam sebuah serangan pemberontak. Konstantinopel lantas mengutus Ibrahim Pasha guna membujuk orang-orang setempat agar berpihak pada Khalifah. Akhirnya, kekuatan para pemberontak perlahan-lahan dapat dikikis. Pemimpin mereka berhasil ditangkapi.

Setelah sukses membereskan masalah-masalah di dalam negerinya, Sulaiman al-Qanuni pun mulai mengatur siasat untuk berjihad ke Eropa. Pada 29 Agustus 1526, ia memimpin pasukan yang menghadapi bala tentara Hungaria di Lembah Mohac. Dalam pertempuran itu, Utsmaniyah berhasil memetik kemenangan.
Tentu saja, pencapaian itu merupakan kabar buruk bagi kerajaan-kerajaan Kristen Eropa, khususnya yang mendukung Takhta Romawi Suci (The Holy Roman Empire). Sulaiman pun meneruskan ekspansinya ke arah barat. Sasarannya adalah Wina, pusat pemerintahan Austria.
Namun, upaya yang dilakukannya pada 1529 M tidak berbuah positif. Begitu pula dengan pengepungan Wina yang dilancarkannya sekira tiga tahun kemudian. Walaupun berujung kegagalan, ekspedisi militer Utsmaniyah itu tetap menaikkan moral pasukan Muslim hingga beberapa dekade berikutnya.
Selanjutnya, penaklukan Sulaiman menarget Baghdad. Kota yang dahulu merupakan sentra Daulah Abbasiyah itu sedang dikuasai Dinasti Safavid. Pada 1535, Utsmaniyah berhasil mengibarkan bendera kemenangannya di sana. Hal itu pun menandakan teguhnya kekuasaan Turki di seluruh Irak.
Sulaiman dapat berbangga hati bahwa negerinya kini mencakup wilayah di tiga benua sekaligus: Asia, Afrika, dan Eropa.
Sulaiman dapat berbangga hati bahwa negerinya kini mencakup wilayah di tiga benua sekaligus: Asia, Afrika, dan Eropa. Namun, apalah artinya kebanggaan tanpa mencermati tantangan dan potensi-potensi kelemahan. Ia pun menyadari, angkatan laut Utsmaniyah masih kalah daripada aliansi Takhta Romawi Suci.
Memang, kekhalifahan ini mempunyai infrastruktur maritim yang cukup mumpuni. Pelabuhan Konstantinopel, misalnya, berposisi amat strategis dan selalu ramai oleh kapal-kapal dari mancanegara. Salah satu kontributor perekonomian negara pun berasal dari pajak-pajak bandar niaga.
Akan tetapi, kekuatan maritim pun tampak dari armada yang tersedia. Hal itu tidak hanya berkaitan dengan sarana-sarana fisik, semisal kapal-kapal perang dan persenjataannya. Lebih dari itu, para pelaut yang mengoperasikannya pun haruslah andal.

Sulaiman teringat, dirinya telah mendengar kabar tentang kehebatan para bajak laut (corsair) Muslim dalam mempertahankan wilayah pesisir Aljir, Afrika utara. Mereka dipimpin oleh anak keturunan seorang mualaf, yang biasa disebut Baba Oruc. Sejak era ayahnya, Selim I, pelaut berdarah Yunani itu sesungguhnya telah menjalin hubungan baik dengan Konstantinopel.
Sepeninggalan Oruc, Hayreddin Barbarossa tampil sebagai penerus. Sulaiman pada 1534 mengirimkan bantuan materiel dan ribuan personel pasukan kepada corsair tersebut, khususnya dalam menghadapi ancaman Spanyol. Sejak saat itu, satu per satu wilayah di Afrika utara dapat direbut, dan menjadi bagian dari Kekhalifahan.

Pada akhirnya, angkatan laut Utsmaniyah kembali bangkit di bawah pimpinan Barbarossa selaku kapudan pasha. Armada ini amat ditakuti kerajaan-kerajaan Kristen Eropa, kecuali Prancis yang telah menjadikan Kekhalifahan sebagai sekutu politiknya. Bahkan, mantan corsair itu sempat memimpin ekspedisi militer gabungan Turki-Prancis guna menghadapi Takhta Romawi.
Armadanya sukses menyerang bandar-bandar di Teluk Naples. Sasaran selanjutnya adalah Lazio, Terracina, dan bahkan Ostia—daerah yang hanya berjarak sekira 30 km dari Roma. Karena itu, penduduk kota setempat segera membunyikan lonceng-lonceng gereja mereka sebagai tanda bahaya besar.
Aliansi Utsmaniyah-Prancis terbentuk karena pelbagai faktor. Keduanya sama-sama memandang Hungaria sebagai ancaman. Di samping itu, Prancis pun menaruh dendam pada Spanyol, khususnya usai Perang Pavia pada 1525 M. Walaupun tidak terlibat langsung, Sulaiman ketika itu berjasa dalam membebaskan seorang pangeran Prancis dari tahanan raja Spanyol, Charles V.

Raja-raja Eropa menamakan persekutuan itu unholy alliance. Bagaimanapun, Prancis dalam hal ini tidak ambil pusing. Paris melihat bahwa negara-negara di Italia, semisal Venesia, telah lama menikmati keuntungan dari kerja sama dengan Turki. Hasilnya, bandar perniagaan negara-kota itu selalu ramai karena menerima pasokan komoditas berharga dari Asia via Konstantinopel.
Pada 1529, raja Prancis Francis I mengutus delegasi yang dipimpin Antonio Rincon kepada Sulaiman. Melalui negosiasi, Utsmaniyah kemudian menghargai klaim Prancis sebagai pelindung hak-hak umat Kristen di Baitul Maqdis.
Hubungan Utsmaniyah-Prancis toh tidak setara. Dalam arti, Prancis tampak lebih membutuhkan Turki. Tidak berlaku sebaliknya. Maka dari itu, tidak ada kantor perwakilan permanen atau semacam kedutaan besar Turki di wilayah Prancis, utamanya pada era Suleiman. Adapun konsulat Prancis dibuka di Konstantinopel serta beberapa kota kekhalifahan.

Membangun Sarana Peradaban
Khalifah Sulaiman al-Qanuni tidak hanya berhasil membangun kekuatan politik, militer dan ekonomi Turki Utsmaniyah. Putra Selim I itu juga sukses membina kebudayaan. Selama 46 tahun berkuasa, sang sultan membangun beragam proyek yang merepresentasikan kemajuan kultural negerinya.
Konstantinopel (Istanbul), pusat pemerintahan Utsmaniyah, diubahnya menjadi mercusuar peradaban. Pada masanya, kota tersebut memiliki banyak bangunan yang menunjukkan pencapaian arsitektur. Semua konstruksi itu didukung langsung oleh sang sultan.
Sulaiman merekrut arsitek paling berbakat pada saat itu, Mimar Sinan. Semasa hidupnya, sang desainer telah memimpin tidak kurang dari 300 proyek bangunan besar. Termasuk di dalam daftar itu adalah masjid-masjid negara, puluhan madrasah, serta pusat-pusat perniagaan.
Setidaknya, ada dua pembuktian yang ditunjukkan Mimar Koca Sinan pada era Sulaiman, yakni Masjid Raya Sulaimaniyah di Istanbul dan Masjid Selimiye di Edirne, bekas ibu kota Utsmaniyah. Secara tampilan, bangunan yang pertama itu tidak jauh berbeda dengan Hagia Sophia.
Namun, corak khasnya terdapat pada keberadaan menara-menara di sisi-sisinya. Hingga kini, Masjid Raya Sulaimaniyah tetap menjadi yang terbesar di seluruh Istanbul.
Adapun Masjid Selimiye didesain dengan gaya yang lebih orisinal. Bentuknya cenderung menyerupai piramida, dengan pucuk yang berupa kubah oval besar. Ada pula menara-menara tinggi, menjulang bak pensil raksasa di sekitarnya. Banyak ahli sejarah memandang masjid tersebut sebagai terobosan corak khas arsitektur Utsmaniyah.
Saat berkuasa, Sultan Sulaiman merenovasi Kubah Batu (Qubbat as-Sakhrah) di Baitul Makdis. Selain itu, ia juga memperbaiki tembok kota suci ketiga bagi umat Islam itu. Tentunya, perbaikan atas kompleks Masjidil Haram dan Masjid Nabawi pun dilakukan pada masanya.
Tidak hanya seni bangunan, Sulaiman juga menaruh perhatian pada dunia sastra. Ia pun menciptakan puisi, termasuk sajak-sajak cinta yang ditujukannya untuk Roxelana. Saat berkuasa, sang sultan memasukkan kalangan seniman dan filsuf ke dalam angkatan bersenjata, guna memompa semangat dan moril pasukan.
Dia dikenal juga sebagai seorang pemerintah pemerintah yang amat luar biasa. Keberhasilannya dalam menyusun kembali undang-undang yang pertama kali dibuat oleh Sultan Muhammad II alias Mehmet II merupakan salah satu pencapaiannya yang paling prestisius.

Sultan Selim I, Khalifah Pertama Turki Utsmaniyah
Pada masa Selim I, pertama kalinya Turki Utsmaniyah menyandang titel kekhalifahan.
SELENGKAPNYAKisah Runtuhnya Keluarga Kaya
Surah al-Qalam sempat menceritakan secara detail tentang keluarga kaya pemilik kebun.
SELENGKAPNYAMenghormati Orang Tua Rasulullah
Alangkah baiknya jika kita tidak berkomentar tentang orang tua Rasulullah mengingat keterbatasan ilmu.
SELENGKAPNYA