Ilustrasi lukisan Sultan Selim I. DI bawah pemerintahannya, Turki Utsmaniyah mulai menyandang titel kekhalifahan. | DOK Wikipedia

Tema Utama

Sultan Selim I, Khalifah Pertama Turki Utsmaniyah

Pada masa Selim I, pertama kalinya Turki Utsmaniyah menyandang titel kekhalifahan.

Dalam sejarah Turki Utsmaniyah, terdapat dua pemimpin era keemasan. Mereka adalah Selim I dan Sulaiman al-Qanuni. Legasi bapak dan anak itu akan selalu dikenang.

Pada 1453 M, Turki Utsmaniyah berhasil menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium). Sejak saat itu, langkahnya semakin ringan untuk menjadi kekuatan geopolitik yang utama di seluruh dunia Islam. Kerajaan yang berpusat di Anatolia itu kian mengemuka sebagai pengganti Bani Abbasiyah untuk menyandang titel kekhalifahan.

Dalam sejarah Turki Utsmaniyah, Selim I adalah penguasa pertama yang bergelar khalifah. Di bawah pemerintahannya, kesultanan tersebut menguasai tiga tanah suci umat Islam, yakni Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis. Kesuksesan itu dimulai dengan kemenangannya atas daulah Bani Mamluk.

Raja kesembilan dalam sejarah Utsmaniyah tersebut lahir pada 10 Oktober 1470 di Amasya, Anatolia utara. Selcuk Aksin Somel dalam Historical Dictionary of the Ottoman Empire (2003) menjelaskan, Selim adalah anak bungsu Bayezid II, sang penerus Mehmed II al-Fatih. Adapun ibundanya merupakan seorang putri ningrat yang bernama Gulbahar Hatun.

photo
Cover Islam Digest edisi Ahad 18 Desember 2022. Dua Peneguh Utsmaniyah. - (Islam Digest/Republika)

Selim menduduki kursi kekuasaan pada 25 April 1512 M usai mengungguli kakaknya, Pangeran (Sehzade) Ahmet. Dua bersaudara itu telah memperebutkan takhta sejak paruh akhir masa pemerintahan Beyezid II. Beberapa bulan sesudah lengser, ayahanda mereka wafat di pengasingan.

Utsmaniyah tidak hanya menghadapi tantangan dari dalam, melainkan juga luar negeri. Ancaman terbesar datang dari Dinasti Safavid yang menguasai Persia. Rezim Shah Ismail I yang berhaluan Syiah itu berupaya menggerus wilayah perbatasan timur Anatolia.

Pada 1514 M, Selim mengerahkan pasukannya untuk melawan Safavid. Ia sukses menghalau bala tentara Shah Ismail hingga ke Tabriz. Akhirnya, satu per satu wilayah Anatolia timur, Kaukasus, dan Irak utara jatuh ke tangan kerajaan yang berpedoman Sunni itu.

Usai membungkam Safavid, Selim juga mampu merebut Qizilbash di dekat Anatolia selatan. Daulah itu merupakan negeri penyangga (buffer state) yang terletak di antara wilayah Utsmaniyah dan Mamluk. Adapun kerajaan yang dipimpin kaum bekas budak (mamalik) tersebut berpusat di Kairo.

Pada puncak kejayaannya, Dinasti Mamluk menguasai Mesir, Syam, dan sebagian Jazirah Arab. Daerah Hijaz pun termasuk dalam wilayah kekuasaannya. Alhasil, para raja Mamluk ketika itu sesungguhnya berhak menyandang gelar khalifah. Walaupun demikian, mereka tetap mengakui Abbasiyah sebagai pemersatu umat Islam.

 
Pada 24 Agustus 1516, pecahlah pertempuran pertama yang memperhadapkan antara Utsmaniyah dan Mamluk.
 
 

Pada 24 Agustus 1516, pecahlah pertempuran pertama yang memperhadapkan antara Utsmaniyah dan Mamluk. Selim yang memimpin sekira 60 ribu personel pasukan berhasil menyabet kemenangan. Akibatnya, Kairo terpaksa menyerahkan kontrolnya atas Syam—termasuk tanah Palestina—kepada sultan Turki tersebut.

Beberapa bulan kemudian, Selim lagi-lagi mengerahkan pasukan. Kali ini, sasarannya adalah jantung negeri Mamluk, yakni Mesir. Perang pun terjadi di Reydaniyya, sekitar Kairo, pada 22 Januari 1517.

Pasukan Mamluk terus bertahan di Kairo. Sementara itu, bala tentara Utsmaniyah terus menggempur benteng kota tersebut. Lama kelamaan, tembok pertahanan mereka tidak kuasa menahan serangan. Tuman Bay II, penguasa Mamluk Mesir, lalu ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Selim. Kematiannya pun menandakan berakhirnya daulah Mamluk, yang telah eksis selama dua setengah abad.

Kemenangan dalam Perang Reydaniyya membuka jalan bagi Selim untuk meneguhkan kejayaan negerinya di seluruh dunia Islam. Sebab, jatuhnya Mamluk berarti peralihan kekuasaan atas dua kota suci, Makkah dan Madinah. Keduanya mulai saat itu berada dalam kendali Utsmaniyah.

photo
Peta yang menggambarkan wilayah Dinasti Mamluk Mesir sebelum diserang bala tentara Utsmaniyah. - (DOK WIKIPEDIA)

Sebelumnya, para raja Mamluk kerap menamakan diri mereka sebagai hakim al-haramain, ‘penguasa dua kota suci'. Enggan mengikuti jejak mereka, Selim memilih titel yang lebih menunjukkan rasa respeknya. Gelar yang kemudian dipilihnya adalah khadim al-haramain asy-syarifain, ‘pelayan dua kota suci'.

Transisi kekhalifahan dari Abbasiyah—negeri atasan Mamluk—ke Turki dilakukan dengan sebuah seremoni pada 1517 M. Al-Mutawakkil III selaku raja Abbasiyah yang berkedudukan di Kairo bersama dengan rombongannya berangkat ke Konstantinopel. Sesampainya di sana, mereka diterima dengan penuh penghormatan oleh kalangan Utsmaniyah.

Selanjutnya, al-Mutawakkil menyerahkan beberapa perlambang kekhalifahan, termasuk sebilah pedang dan mantel yang diyakini sebagai milik Nabi Muhammad SAW. Benda-benda itu lalu diterima dengan baik oleh Selim. Demikianlah prosesi yang terjadi, sebagaimana tercatat dalam narasi tradisional Utsmaniyah.

 
Selanjutnya, al-Mutawakkil menyerahkan beberapa perlambang kekhalifahan, termasuk sebilah pedang dan mantel yang diyakini sebagai milik Nabi Muhammad SAW.
 
 

Bagaimanapun, cerita itu baru muncul dalam manuskrip-manuskrip yang ditulis pada 1780-an, yakni sesudah Perang Kucuk Kaynarca yang memperhadapkan antara Utsmaniyah dan Rusia. Para sejarawan menengarai, narasi historis itu berkaitan dengan fatwa yurisdiksi Turki atas wilayah Muslim di luar Anatolia.

Dalam arti, ketika itu Rusia mengeklaim perlindungan atas orang-orang Nasrani di wilayah Utsmaniyah. Sebaliknya, Turki pun mengeklaim dirinya sebagai pelindung umat Islam yang hidup di wilayah Rusia. Sebab, Utsmaniyah adalah khalifah bagi seluruh Muslim.

Satu hal yang pasti, Selim sukses membawa kemajuan yang signifikan dalam sejarah kesultanan tersebut. Masa pemerintahannya menandakan permulaan baru bagi Utsmaniyah, bukan lagi “sekadar” kerajaan Islam, melainkan juga kekhalifahan. Dengan demikian, daulah ini menjadi simbol pemersatu Muslimin di seluruh dunia hingga berabad-abad lamanya.

Menurut H Erdem Cipa dalam The Making of Selim: Succession, Legitimacy and Memory in the Early Modern Ottoman World (2017), sejumlah penulis mengenang kepemimpinan tokoh tersebut. Mereka menilai, Selim berkuasa dengan menerapkan prinsip-prinsip ketenteraman dan keadilan.

Ambil contoh, Mevlana Isa, yakni seorang cendekia Turki pada zaman Suleiman al-Qanuni. Ia mengibaratkan era Selim begitu damai, sampai-sampai “domba-domba dan sekumpulan serigala dapat berjalan beriringan tanpa saling bertengkar.”

photo
Lukisan Sultan Selim I memimpin pasukannya dalam Perang Chaldiran. Raja kesembilan dari DInasti Utsmaniyah itu sukses membawa negerinya menjadi sebuah kekhalifahan - (DOK WIKIPEDIA)

Kukuhkan hegemoni

Kekhalifahan Turki Utsmaniyah pada awal abad ke-16 M memiliki pengaruh di tiga benua sekaligus, yakni Asia, Eropa, dan Afrika. Sebagai pemimpin, Selim I mengukuhkan hegemoni kerajaannya di hadapan para jiran. Banyak kerajaan Kristen yang menjajaki hubungan diplomatik dengan kesultanan ini.

Prancis adalah salah satu negara yang menjalin relasi bilateral dengan Utsmaniyah. Bangsa Eropa itu menyadari keuntungan besar yang dapat diperoleh dari hubungan tersebut. Sebaliknya, Turki pun menyambut baik kerja sama demikian. Alhasil, dirinya memiliki “rekan” di Benua Biru, khususnya untuk menekan bangsa Jerman dan sekutu Katoliknya yang bercita-cita ingin “merebut kembali” Konstantinopel.

 
Pada masa itu, Utsmaniyah juga kian meningkatkan kapasitas militernya. Bukan hanya di darat, melainkan juga lautan.
 
 

Pada masa itu, Utsmaniyah juga kian meningkatkan kapasitas militernya. Bukan hanya di darat, melainkan juga lautan. Selim memperkuat armada tempurnya, antara lain, dengan membangun pangkalan di Galata, seberang Konstantinopel. Hal itu dilakukan dengan dukungan patihnya, Piri Mehmed Pasha.

Galangan Utsmaniyah di Galata dapat memproduksi hingga 150 unit kapal. Untuk membiayai keberlangsungan fasilitas itu, Selim meningkatkan pajak atas setiap kapal asing yang berlabuh di bandar-bandar milik Utsmaniyah. Per kapal dikenai hingga 50 ribu koin emas.

Selim tentunya tidak hanya berfokus pada aspek pertahanan, tetapi juga kesejahteraan negerinya. Ia pun menyadari, rakyatnya bukan hanya kaum Muslimin, melainkan juga warga Utsmaniyah yang memeluk Kristen, Yahudi, dan sebagainya. Maka dari itu, kebijakan negara idealnya bersifat mengayomi semua kalangan. Meritokrasi mesti diterapkan, alih-alih favoritisme atas dasar kesamaan agama belaka.

Selim bervisi menjadikan kerajaannya sebagai penghasil mercusuar-mercusuar peradaban Islam. Ia pun mendorong kaum intelektual yang masih bertebaran di berbagai daerah taklukan untuk hijrah ke Anatolia. Para cerdik cendekia yang dibiayainya bukan hanya dari kaum Muslimin, melainkan juga non-Muslim.

photo
Lukisan yang menggambarkan armada Turki Utsmaniyah abad ke-16 M. - (DOK WIKIPEDIA)

Sebagai contoh, beberapa sarjana Kristen Koptik yang akhirnya berkiprah di Konstantinopel—pusat pemerintahan Utsmaniyah—adalah Banub al-Katib, Abu Sa‘id, Yuhanna al-Saghir, Yusuf bin Habul, serta Syekh al-Makin al-Skindari.

Penarikan mereka dari Mesir ke Anatolia barangkali didasari pertimbangan politik juga. Sebab, sosok-sosok itu memiliki pengaruh di tengah masyarakat lokal. Selim menilai, akan lebih bijaksana bila pemerintah mengawasi mereka dari “dekat”.

Di sepanjang hayatnya, Selim hanya mempunyai seorang putra, yakni Sulaiman. Selain itu, kesemua anaknya adalah perempuan. Penampilan Selim agak berbeda dengan para pendahulunya. Ia lebih suka memakai sorban yang berbentuk bulat (selimie), alih-alih yang silindris. Konon, selimie itu meniru tampilan mahkota yang biasa dikenakan raja-raja Persia.

Selim mempunyai karakteristik yang ambisius dan tegas. Kepemimpinannya diwarnai dengan stabilitas politik dan sosial. Ia pun dihormati para prajurit dan jenderal yang memandangnya sebagai sosok pemersatu. Bahkan, kalangan bajak laut Muslim yang menguasai Mediterania barat, semisal Barbarossa bersaudara, pun menaruh respek padanya.

 
Delapan tahun sejak dirinya menjadi raja, Selim pun melancarkan serangan totalnya ke daratan Eropa.
 
 

Delapan tahun sejak dirinya menjadi raja, Selim pun melancarkan serangan totalnya ke daratan Eropa. Langkah itu diambilnya ketika Kerajaan Hungaria dilanda kemelut internal. Ia memimpin pasukannya melintasi daerah-daerah di Balkan pada medio tahun 1520 M.

Bangsa-bangsa Eropa Kristen langsung dirundung cemas begitu mendengar kabar tersebut. Bagaimanapun, ambisi Selim tidak kesampaian. Pada 22 September 1520, khalifah Turki itu terlebih dahulu meninggal dunia.

Menurut keterangan resmi, raja Muslim tersebut wafat akibat sakit infeksi kulit atau semacam bisul yang tidak kunjung sembuh. Dugaan lainnya, infeksi itu dipicu sebaran penyakit anthrax, yang kemungkinan ditularkan oleh kuda-kuda di Balkan.

Berpulangnya Selim ke Rahmatullah tidak menyurutkan kejayaan Utsmaniyah. Bahkan, putranya yakni Suleiman kemudian menjadi raja yang membawa kekhilafahan tersebut pada puncak era keemasan.

Sulaiman al-Qanuni, Sang Penerus Kejayaan Utsmaniyah

Di bawah pemerintahan Sulaiman al-Qanuni, Utsmaniyah meneruskan kejayaan yang sudah dimula dahulu.

SELENGKAPNYA

Kisah Runtuhnya Keluarga Kaya

Surah al-Qalam sempat menceritakan secara detail tentang keluarga kaya pemilik kebun.

SELENGKAPNYA

Menghormati Orang Tua Rasulullah

Alangkah baiknya jika kita tidak berkomentar tentang orang tua Rasulullah mengingat keterbatasan ilmu.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya