Penyadang disabilitas saat menaiki MRT di Stasiun Bundaran HI, Jakarta. | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Infrastruktur Kota Inklusif Disabilitas

Pemenuhan hak kelompok disabilitas harus dikawal ketat dalam penerapannya.

NIRWONO JOGA, Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan

Pada 3 Desember mendatang, setidaknya ada dua peringatan yang bisa jadi saling terkait, Hari Disabilitas Internasional (HDI) dan Hari Bakti Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (HBPUPR) ke-77.

Peringatan HDI bertujuan meningkatkan kesadaran atas masalah yang dihadapi kelompok disabilitas, serta memperjuangkan hak dan kesejahteraan kelompok disabilitas di segala bidang kehidupan masyarakat, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.

Salah satunya ialah membangun infrastruktur kota yang ramah bagi kelompok disabilitas. Membangun infrastruktur kota inklusif disabilitas tentu menjadi salah satu tugas Kementerian PUPR.

Sesuai Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (KHPD) yang telah diadopsi Pemerintah Indonesia pada 2006, bertujuan mengedepankan hak dan kesejahteraan kelompok disabilitas dalam implementasi Agenda 2030 untuk Pembangunan (Kota) Berkelanjutan.

 
Pemenuhan hak kelompok disabilitas harus dikawal ketat dalam penerapannya, karena secara peraturan hukum dan penganggaran sudah ada alokasinya.
 
 

Tujuan KHPD, meningkatkan partisipasi warga disabilitas dalam kegiatan masyarakat, mengakhiri diskriminasi, dan menciptakan kesempatan yang sama untuk mereka. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?

Pertama, pemerintah harus memahami cara pandang dan penerapan pemenuhan hak-hak kelompok disabilitas dengan tepat dan benar, mulai dari tingkat eksekutif (penganggaran, perencanaan, dan pembangunan).

Lalu tingkat legislatif (kebijakan, persetujuan anggaran, pengawasan implementasi) dan masyarakat umum (pendamping dan pemantau di lapangan).

Pemenuhan hak kelompok disabilitas harus dikawal ketat dalam penerapannya, karena secara peraturan hukum dan penganggaran sudah ada alokasinya. Pemerintah harus fleksibel dan akomodatif memenuhi kebutuhan kelompok disabilitas dalam mengaktualisasi diri.

Kedua, anggaran pendapat dan belanja daerah untuk membangun fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan dan lingkungan yang ramah disabilitas, harus memadai.

 
Kota memenuhi hak hidup, mengembangkan diri, kesejahteraan, rasa aman, dan aksesibilitas di ruang publik.
 
 

Ini selaras UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pengganti UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.

Sesuai Permen PU No 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, aksesibilitas adalah kondisi suatu tapak, bangunan, fasilitas, atau bagian darinya yang memenuhi persyaratan teknis aksesibilitas, sehingga disabilitas memiliki kesempatan sama dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan di perkotaan.

Ketiga, prinsip penataan infrastruktur kota inklusif disabilitas, yakni kesetaraan, peluang, dan partisipasi penuh. Infrastruktur kota harus mendukung disabilitas yang memiliki keterbatasan mobilitas ataupun keterbatasan pancaindra.

Kota memenuhi hak hidup, mengembangkan diri, kesejahteraan, rasa aman, dan aksesibilitas di ruang publik. Warga disabilitas dapat menyalurkan potensinya dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, dihormati, dilindungi, dan dilayani haknya dalam berkota sehingga menjadi individu yang tangguh dan mandiri.

 
Ketiga, prinsip penataan infrastruktur kota inklusif disabilitas, yakni kesetaraan, peluang, dan partisipasi penuh.
 
 

Keempat, Kementerian PUPR perlu mengaudit infrastruktur ke-PUPR-an bangunan gedung publik/pemerintah, seperti gedung perkantoran, sekolah, pasar, rumah susun, fasilitas sarana olahraga, apakah sudah memenuhi standar minimal layanan ramah disabilitas.

Kemudian, trotoar didukung zebra cross/pelican crossing dengan permukaan trotoar melandai serta dilengkapi lantai pemandu dan ramp. Trotoar juga terhubung ke terowongan bawah tanah atau jembatan penyeberang orang yang dilengkapi tangga berjalan atau lift khusus.

Trotoar menghubungkan ke/dari stasiun kereta api, halte dan terminal bus ke/dari venue olahraga, sekolah, perkantoran, pasar/pusat perbelanjaan, taman.

Komunitas disabilitas harus dilibatkan untuk memberikan masukan perencanaan, mengontrol kualitas proyek, serta menguji kualitas infrastruktur fasilitas ruang publik ramah disabilitas.

 
Trotoar menghubungkan ke/dari stasiun kereta api, halte dan terminal bus ke/dari venue olahraga, sekolah, perkantoran, pasar/pusat perbelanjaan, taman.
 
 

Kelima, pemerintah harus memberikan dukungan berbagai kemudahan fasilitas dan insentif terhadap pengembangan produk industri lokal yang ramah disabilitas, seperti kloset disabilitas, kursi roda canggih, lift khusus pengguna kursi roda, teknologi pemandu remote infrared sign system, blok pemandu tunanetra yang tahan lama, serta aplikasi aksesibilitas disabilitas.

Pencatuman aksara Braille wajib di semua fasilitas publik penting, seperti di lift, mesin ATM bank, halte, stasiun, terminal, pengeras suara di tempat penyeberangan orang, hingga produk rumah tangga.

Kewajiban penyediaan tempat parkir, toilet, lift, dan ruang khusus di bus atau kereta api bagi kelompok disabilitas. Sigap membangun infrastruktur kota inklusif disabilitas merupakan wujud kesetaraan untuk semua.

Christian Pulisic, Jadi Pahlawan AS, Tapi Terancam Tersisih

Kemenangan 1-0 atas Iran kemudian jadi penentu nasib AS di babak 16 besar.

SELENGKAPNYA

Maroko di Ambang Cetak Sejarah

Penjaga gawang Belgia Thibaut Courtois membantah rumor adanya perpecahan.

SELENGKAPNYA

Akhir Cerita Grup Neraka

Grup E dianggap sebagai grup terberat hingga mendapatkan label grup neraka.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya